Kalian tahu Provinsi Nusa Tenggara Barat? Oke, mungkin banyak yang nggak tahu Provinsi itu dimana. Bagaimana dengan Pulau Lombok? Yup, kalian pasti sudah banyak yang tahu dimana letak pulau Lombok. Sudah beberapa kali gue tanya ke teman-teman kenalan gue di media sosial, hasilnya lebih banyak yang lebih tahu Pulau Lombok dibandingkan Provinsi Nusa Tenggara Barat itu sendiri.
Oh bukan, bukan tentang Lomboknya yang gue mau jelaskan disini. Ini tentang cerita gue. Nama gue Inayah, biasa dipanggil Ina. Umur 23 tahun. Mahasiswi Keperawatan. Pecinta bersih. Keras kepala. Nggak suka menghemat uang alias gue adalah tipe cewek yang nggak bisa menahan diri untuk nggak beli barang-barang cantik yang ada di depan gue, shopaholic. Masih sering pasang-copot jilbab, tergantung suasana hati gue. Gue juga salah satu cewek dari sekian banyak cewek yang protektif ke pacar sendiri. Banyak cowok yang jengah karena sikap protektif gue, jadi gue lebih memilih jalan yang banyak cewek maupun cowok nggak membenarkan sikap gue ini, yaitu playgirl. Dan, gue adalah putri Lombok. Lombok Timur lebih tepatnya.
Mei, 2013.
Gue sedang mematut diri di depan cermin. Baju, oke. Jilbab, oke. Riasan, mantap. Gue sedang senyum sendiri melihat salah satu mahakarya ciptaan Tuhan yang terpantul di cermin itu, yaitu gue. Sangat memesona. Gue memang kecil dibanding semua temen cewek gue di kelas Keperawatan yang tinggi semua, persis seperti Emma Roberts di filmnya yang berjudul Wild Child. Tapi, gue cantik, manis, dan baby face.
Tok. Tok. Tok.
Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunan gue. Gue berdecak kesal. Waktu gue membalikkan badan kearah pintu, gue makin kesal saat gue tahu siapa yang mengetuk pintu. Ida, adik kandung gue satu-satunya, masih kelas 2 SMA. Gue lihat dia berjalan masuk dan langsung duduk di atas springbed gue.
Gue langsung mengernyitkan kening. “Bisa nggak sih lo berdiri dan jangan berantakin springbed gue?” sindir gue kesal.
“Berantakin apa sih, orang gue cuman duduk gini doang kok. Lebay banget sih.”
“Ck!” Gue menghampiri Ida dengan perasaan dongkol. Gue paling nggak suka kalau udah rapihin kamar terutama springbed terus ada yang asal duduk gitu aja yang langsung ngebuat seprainya kusut sana-sini. “Ida, ini tuh udah rapih tahu. Keluar! Heran, lama-lama ni anak bikin emosi aja deh.”
Ida langsung bangkit dan berjalan mencak-mencak kearah pintu lagi. Dia berbalik menghadap gue. “Dipanggil mama, katanya disuruh jamu tamu. Cepetan!”
Gue yang sedari tadi rapihin springbed ngedongkol tanpa melihat kearah dia lagi. “Kenapa nggak lo aja? Udah gede juga.”
“Dih, yang disuruh kan lo. Lagian, dari tadi gue udah kerja rodi tau, lah lo dari tadi ngaca mulu, berasa stepmother di dongeng Snow White ya?” tanyanya dengan nada mengejek.
Sumpah ya, gue nggak suka dengernya. Entah kapan gue bakalan silet aja mulut tuh anak. Adik gue ini nggak pernah mau manggil gue kakak, padahal selisih umur gue dengan dia enam tahun. Alhasil, kami saling panggil gue-lo atau nyebut nama masing-masing aja. Giliran manggil kakak pertama kami, dia malah manggil dengan sebutan abang, yah termasuk gue juga sih. Kami bukan anak Jakarta dan sekitarnya, tapi entah kenapa kami semua manggil kakak pertama itu dengan sebutan abang.
“Suka-suka gue lah. Udah deh, mending lo aja yang ngejamu para tamu!” perintah gue.