Lucid dream.
Audrey tidak pernah tahu tentang istilah itu sampai suatu saat di masa lalu, saat Audrey masih duduk di bangku kelas dua SMA, kakak perempuannya yang bernama Deira, yang berusia lima tahun di atas Audrey, membahas tentang hal itu kepadanya.
Dulu, Deira yang sedang patah hati karena baru putus cinta dan tidak bisa tidur tenang selama beberapa hari──siapa juga sih yang bisa tidur tenang kalau kalian baru putus dari pacar yang kalian sayang dan hell yeah, sudah mendambakan masa depan bersama orang itu?──meminta Audrey agar adiknya itu tidur di kamarnya untuk menemaninya.
Lewat tengah malam, Audrey yang sepuluh tahun lalu itu masih berusia 17 tahun, kaget setengah mati waktu kakaknya terbangun dengan gerakan menghentak dan membuatnya ikut terbangun. Deira yang baru terbangun itu duduk dengan bahu berguncang dan napas pendek-pendek.
“Lo kenapa, Ra?” Audrey memukul pelan pundak kakaknya yang masih dalam kondisi yang sama──plus tatapannya yang lurus ke tembok.
Audrey langsung turun dari tempat tidurnya dan berjalan ke dekat pintu, tempat saklar lampu kamarnya berada.
“Mimpi buruk, ya?” tanya Audrey lagi, yang lalu berjalan kembali ke arah kakaknya di tempat tidur.
“Lucid dream, Drey,” akhirnya Deira bisa berbicara setelah hampir satu menit cuma duduk bengong dengan ekspresi shock.
Audrey mendongakkan kepala, baru sadar kalau lampu di kamarnya agak meredup──mesti ganti bohlam lagi, pikirnya.
Entah sudah berapa kali dia harus mengganti bohlam lampu di kamarnya itu selama tiga bulan terakhir. Rasanya ada saja yang tidak beres dalam kehidupannya setelah dia dan Deira hanya tinggal berdua. Dia berharap seandainya mama dan papanya masih ada…
Audrey lalu menggelengkan kepala──menghapus pikirannya barusan. Bukan waktu yang tepat untuk memikirkan tentang hal itu, batinnya.
“Lucid dream? Apaan itu?” tanya Audrey sambil menepuk-nepuk bantalnya.
Deira yang masih duduk, menolehkan kepala ke arah Audrey. “Singkatnya: lo mimpi, dan lo bisa ngendaliin mimpi lo.”
“That sounds good, Ra. Kenapa jadi mimpi buruk?” Audrey semakin menenggelamkan kepalanya di bawah bed cover Mickey Mouse yang disulap menjadi selimut. “Lo bisa ngendaliin mimpi lo sesuka hati. Itu kan asyik.”
Deira merenggut selimut Audrey. “Bakalan asyik kalau di mimpi itu kita happy, Drey. Iya, at first gue happy. Gue ketemu cowok gue──mantan cowok gue, maksudnya──”