Deep Down Inside

Pia Devina
Chapter #3

And the Bomb is Coming

Akhirnya sore ini Panji Raihandra berdiri di hadapan perempuan itu lagi. Audrey Vanissa.

Dulu, saat Panji duduk di bangku kelas satu SMA, perempuan yang kini mengenakan single-breasted blazer berwarna hitam itu memiliki rambut sebatas leher yang selalu dikucir asal. Dulu, perempuan yang sekarang duduk di lobby kantornya itu selalu mengenakan kacamata persegi berbingkai hitam yang membuat perempuan itu tampak nerd──dia dicap sebagai perempuan kutu buku oleh teman-teman sekelasnya. Dan dulu, perempuan yang sekarang sedang sibuk membolak-balikkan majalah arsitektur di ujung ruangan sana──tepat bersebelahan dengan dinding kaca──adalah perempuan yang pernah Panji tembak untuk dijadikan pacar. Perempuan itu adalah perempuan yang menolak pernyataan cinta Panji──bahkan sebelum Panji menyelesaikan ucapannya, karena perempuan itu belum apa-apa sudah mengira kalau Panji hanya menjadikan dirinya sebagai bahan taruhan di antara anak-anak lelaki di kelas mereka.

Itu memang benar, Panji mengakuinya.

Dulu, saat perempuan itu sedang duduk di kantin sekolah sendirian, Panji dan empat teman lelakinya bertaruh, siapa yang bisa menjadikan Audrey pacarnya, akan ditraktir selama dua minggu penuh di kantin oleh empat orang lainnya. Panji yang memang memiliki track record sebagai tukang gonta-ganti pacar setiap dua bulan sekali, terhitung semenjak dia menjabat sebagai anak SMA, dengan mudahnya mengiyakan taruhan itu.

Besoknya, tanpa pikir panjang, Panji mencegat Audrey di depan gerbang sekolah. Dia memasang tampang cool-nya──atau mungkin tampang sok cool-nya──dan berkata, “Gue suka sama lo. Lo mau nggak, kalau kita──”

“Nggak,” Audrey menjawab judes.

See? Padahal Panji belum menyelesaikan ucapannya.

Satu detik setelah itu, Audrey lantas berlalu dari hadapan Panji, meninggalkan lelaki itu dengan tampang bingung. Empat teman Panji yang berdiri di seberang gerbang sekolah tertawa terbahak-bahak, membuat Panji mengernyitkan kening.

Mungkin sedang sial, pikirnya saat itu. Karena selama ini──bila Panji belum pernah mengalami amnesia dan untungnya memang tidak pernah mengalami hal itu──tidak ada satupun perempuan yang menolak dijadikan pacar oleh dirinya. Tidak ada satupun. Kecuali Audrey.

Waktu pun lantas bergulir hingga mereka berpisah kelas saat naik ke kelas dua. Panji semakin jarang melihat Audrey. Tapi, dari beberapa pertemuan tidak sengajanya dengan Audrey di koridor, atau perpustakaan──bukan, Panji ke perpustakaan bukan untuk mencari buku, kok. Dia mendatangi tempat itu paling hanya untuk mencari temannya, atau gebetannya──atau di kantin, juga pernah di ruang BP[1], Panji mulai menyadari ada yang berbeda dari Audrey.

Sebelumnya, Audrey tampak nerd. Kutu buku. Namun di semester dua saat mereka kelas dua, Audrey kelihatan 'kelam'.

Kenapa Panji menyebutnya begitu? Karena Panji tidak pernah lagi melihat Audrey tertawa. Sama sekali.

Hal itu kemudian membuat Panji bertanya-tanya.

Namun sayangnya, dia tidak pernah berani untuk bertanya langsung kepada Audrey. Hingga akhirnya mereka lulus SMA dan berbeda tempat kuliah, Panji tidak pernah bertemu dengan Audrey lagi.

Sampai setahun yang lalu, Panji bertemu lagi dengan perempuan 'kelam' itu, Di sini, tepat di kantor konsultan perencanaan tempatnya bekerja.

Panji agak shock waktu melihat seorang perempuan yang menggunakan blouse pink soft dan rok hitam di atas lutut yang baru saja melewati pintu kaca. Panji yang memang sedang berbicara dengan salah satu resepsionis yang ada di lobby kantornya──dia lupa waktu itu apa yang sedang ditanyakannya kepada Vera, resepsionis yang sekarang sudah resign──langsung terdiam saat menyadari siapa perempuan yang baru masuk ke lobby itu.

Tidak ada sedikipun yang berubah dari wajah perempuan berambut panjang yang kemudian berjalan ke arah Vera. Suaranya sama, hanya ekspresi wajahnya yang berbeda. Tidak ‘kelam' seperti dulu. Berubah seratus delapan puluh derajat. Perempuan yang baru masuk lobby itu berdiri dua meter di sebelah kanan tubuh Panji──Panji terdiam seribu bahasa, bahkan saat Vera mengajak bicara dirinya sekilas, tatapan Panji tetap terfokus pada si tamu yang baru datang. Vera langsung saja membiarkan Panji dan bergegas menyapa si tamu.

Dan ketika si tamu berkata, “Saya Audrey Vanissa, ada janji bertemu dengan bapak Galang Winanta,” Panji semakin membatu.

Setahun yang lalu, Perempuan 'kelam' itu sudah tidak ada. Tergantikan oleh perempuan cheers up yang sepertinya sangat menikmati hidupnya.

Iya, sepertinya begitu.

Hallo, Drey,” Panji kini berjalan santai mendekati Audrey yang masih menundukkan kepala, melihat gambar-gambar yang ada di majalah di tangannya. Lelaki itu meninggalkan kenangan SMA dan kejadian setahun lalu di belakang kepalanya.

Di sini dia sekarang, tepat di hadapan Audrey yang menatapnya──tanpa tersenyum.

“Oh, hai,” Audrey akhirnya memaksakan sebuah senyum kikuk.

Tahu apa yang sedang terjadi dengan Panji?

Bukan, bukan jantungnya yang menggedor-gedor rongga dadanya karena deg-degan berhadapan dengan seorang perempuan seperti Audrey. Tapi ada hal tak terdeskripsikan yang masih tertinggal sejak Panji masih kelas dua SMA, semenjak Audrey dicap sebagai perempuan 'kelam' di kepala Panji, yang membuat lelaki itu bertanya-tanya.

Dan berhadapan dengan Audrey yang seperti sekarang, Panji semakin bertanya-tanya: sebanyak apakah cerita yang terjadi di kehidupan perempuan yang ada di hadapannya itu?

Audrey bergeser sedikit, mempersilakan Panji untuk duduk di sebelahnya──tapi Audrey meletakkan brown soft leather bag-nya untuk menjadi penghalang antara posisi duduknya dengan Panji di atas sofa yang berwarna marun itu.

“Nungguin Galang?” Panji berbasa-basi.

Basa-basi yang sungguh basi, batinnya.

Audrey menganggukkan kepala, lalu kembali menjatuhkan pandangannya ke majalah yang tadi sedang dibacanya. Oh, setidaknya sekarang dia berusaha untuk membaca dengan benar──lebih tepatnya, pura-pura membaca.

Apa yang ada di kepala Audrey dan siapa yang duduk di sebelah tubuhnya kini agak-agak mendistraksi pikirannya. Dia teringat akan apa yang terjadi satu bulan setelah pertemuannya lagi dengan Panji setahun yang lalu. Lelaki itu menembaknya lagi. Di sini──di lobby ini. Audrey tidak habis pikir, apa sih yang ada di kepala lelaki bernama Panji Raihandra ini?

Panji bisa menebak apa yang sedang dipikirkan Audrey.

Kejadian itu.

Kejadian di atas sofa ini, saat Panji dengan keberanian-entah-darimana meminta Audrey untuk menjadi pacarnya.

Saat itu, ketika Audrey duduk menunggu Galang di sofa ini, Panji yang membawakan kopi dalam paper cup untuk Audrey, mengajak Audrey mengobrol──obrolan santai yang tidak membuat Audrey risih, Sampai akhirnya, meluncurlah kalimat, “Sebenernya gue suka beneran sama, lo. Drey,” dengan gaya bicara yang santai. Terlalu santai.

Sebaliknya, Audrey langsung shock mendengar pernyataan tiba-tiba itu. Sebelum shock-nya mereda, Galang muncul dengan senyum sejuta pesonanya yang ditujukan untuk Audrey. Mereka berdua langsung pamit, meninggalkan Panji yang duduk sendirian.

Setahun yang lalu itu, Panji mengumpat dirinya sendiri tanpa henti. Bisa-bisanya dia menyatakan cinta secara spontan kepada perempuan yang sama, yang pernah menolaknya beberapa tahun yang lalu? Perempuan yang sudah memiliki kekasih bernama Galang Winanta… dan sepertinya memiliki hubungan yang bahagia dengan teman kantornya Panji itu.

Iya, Galang.

Teman kantornya Panji, yang tidak jarang menjadi kompetitornya untuk mendapatkan project-project di kantor tempat mereka berkerja.

“Gue duluan, ya?” Audrey membuyarkan lamunan Panji saat Galang──seperti adegan yang diputar balik seperti tahun lalu──muncul di hadapan mereka.

Lihat selengkapnya