Deep Down Inside

Pia Devina
Chapter #4

If It's Possible to Erase the Past

Pertengahan tahun, dua tahun sebelumnya.

TING.

Pintu lift terbuka kembali setelah sebelumnya hampir tertutup sepenuhnya. Audrey buru-buru menekan salah satu tombol demi membantu seseorang di luar sana yang berniat untuk masuk ke dalam lift. Detik berikutnya, pintu lift pun terbuka, diiringi dengan munculnya seorang lelaki yang sedang membawa setumpuk kertas di atas kedua tangannya──dari perut hingga leher lelaki itu.

Kening Audrey mengernyit. Orang itu nggak akan bisa turun sampai lantai bawah tanpa kertas-kertasnya jatuh berhamburan, kalau megang dokumennya segunung gitu, batinnya.

Lelaki berkemeja abu-abu itu tampak tergesa-gesa saat melangkahkan kakinya masuk ke dalam lift, hingga dia hampir tersandung dengan langkahnya sendiri dan nyaris menubruk Audrey yang tengah mematung menunggunya masuk.

Tuh, kan! batin Audrey lagi.

Audrey gemas sendiri kenapa lelaki itu perlu datang di saat genting seperti ini, satu lift dengannya. Sekarang sudah jam sembilan lewat, dan dia harus segera ada di kantor bila tidak ingin manajer bagian Regulatory Affairs di kantornya mengaum kepadanya.

Tadi malam Audrey tidak bisa tidur. Jam setengah tiga pagi dia baru bisa tertidur setelah akhirnya dia memutuskan untuk menyeduh susu hangat yang akhirnya berhasil membuatnya agak mengantuk.

Satu detik yang terasa satu tahun saat dia menunggu lelaki bertubuh tinggi dan berkemeja fit slim berwarna biru cerah yang agak mempertontonkan otot lengan hasil nge-gym-nya──ini tebakan Audrey aja, sih, kalau lelaki itu memang suka nge-gym──masuk ke dalam lift yang isinya hanya Audrey, ketika tiba-tiba...

“WOOO!” Audrey menjerit, namun dengan gerakan spontan tangannya menahan tumpukan dokumen yang hampir tumpah ke wajahnya. Posisi kakinya yang otomatis berkuda-kuda──bahkan di atas high heels yang tingginya tujuh sentimeter yang dipakainya──berhasil mencegah masalah yang mungkin akan terjadi barusan.

Astaga, pagi-pagi sudah hampir tertimpuk tumpukan dokumen? This is a bad sign, keluhnya di dalam hati.

Sorry!” sebuah suara muncul saat lelaki di hadapan Audrey itu menyembulkan kepalanya dari balik gunungan dokumen. Lelaki itu tampak menyesal dengan apa yang baru saja terjadi. Senyum kikuk tersimpul dari bibirnya yang tipis. Kacamata bertepian abu-abu bertengger di atas hidungnya mancung. Lalu, sepasang mata beriris cokelat menatapnya dengan ekspresi yang seakan berkata, “Sorry banget gue hampir bikin tumpukan dokumen ini mendarat di muka lo.”

Audrey berdeham, lalu berkata, “Kayaknya lo butuh bantuan. Perlu gue bawain sedikit dokumen-dokumennya?”

Lelaki itu lantas senyum sumringah. “Sorry banget kalau ngerepotin. But it's okay. Gue bisa sendiri kok.”

Dia jaga gengsi, Audrey menilai──dalam hati tentunya.

Lelaki itu sekarang sudah berdiri tepat di samping tubuh Audrey yang tingginya hanya sebatas bahu lelaki itu. Pintu lift pun berdenting lagi, tertutup rapat.

Lalu, lelaki itu menoleh dan berusaha tersenyum santai ke arah Audrey. Namun peluh di dahinya tidak bisa berbohong kalau dia memang membutuhkan bantuan.

Audrey memiringkan kepala. “Serius nggak butuh gue bantu?”

Lelaki itu terdiam selama dua detik sebelum akhirnya menjawab, “If you don't mind, please?”

Audrey berdecak. Dari tadi, kek, pikirnya.

Setelah itu, dengan gerakan cekatan Audrey mengambil sepertiga tumpukan dokumen milik lelaki itu ke dalam pelukannya. Mereka pun menghabiskan hampir sepuluh menit pertama kebersamaan mereka dengan mengobrol di dalam lift dan berjalan bersama menuju basement.

Lihat selengkapnya