Samar-samar terdengar musik Croatian Rhapsody yang dibawakan oleh seorang pianis asal Kroasia, Maksim Mrvica. Lagu yang biasanya sanggup menetralkan mood Audrey semenjak dia mengenal lagu itu ketika masih SMA dulu, untuk kali ini gagal berkolaborasi dengan hati dan otaknya agar perempuan itu bisa sedikit merasa lebih baik.
Audrey hanya sanggup menggelungkan tubuhnya di atas tempat tidur, dengan mata yang luar biasa berat dan dada sesak karena semalaman menangis sampai kelelahan. Galang beranjak dari apartemennya tiga jam yang lalu. Lelaki itu kini benar-benar telah memutuskan untuk beranjak pergi dari hidupnya Audrey.
Bom yang ditujukan kepada Audrey terasa terlalu terburu-buru untuk dilemparkan ke arahnya.
Pertama, pengakuan Faya yang tiba-tiba, membuat Audrey shock berat. Faya ternyata jatuh cinta pada Galang. Then it needs to be repeated: jatuh cinta. Bukan hanya rasa suka yang notabene bisa sekilas, tapi rupanya malah menjadi sebuah perasaan terlalu dalam yang ujungnya adalah mempertaruhkan kepercayaan Audrey kepada Faya.
Dan yang kedua──bagaikan ada sebuah gunung es yang didorong ke arah Audrey hingga melesak menubruk tubuhnya──adalah saat Audrey menelepon Galang pasca pengakuan Faya kemarin malam.
Saat ditelepon, dengan suara bergetar menahan emosi dan sedih yang luar biasa, Audrey berusaha berpikiran jernih... dan sedikit berharap kalau apa yang dikatakan oleh Faya adalah sebuah omong kosong.
Dan, dia berharap, setelah menelepon Galang, perasaannya akan kembali normal, karena Galang mengatakan langsung kepadanya, mengonfirmasi bahwa apa yang dikatakan Faya tentang pertunangan Galang dengan perempuan pilihan mamanya adalah bohong belaka.
Tapi yang didapatkan Audrey adalah hal yang berbeda seratus delapan puluh derajat dari apa yang diharapkan olehnya. Ketika Galang mengangkat telepon, Audrey langsung membombardir lelaki itu dengan pertanyaan, “Apa kamu bener-bener akan nikah sama orang lain? Itu bohong, kan? Kamu nggak mungkin nikah sama orang lain, kan? Kamu cinta sama aku, kan?!”
Hening seketika.
“Jawab!” suara Audrey mulai meninggi saat itu. Tapi dia tahu, dia harus meluruskan masalah yang ada. Setidaknya, dia harus pura-pura tegar, itu pikirnya.
Setelah itu, Galang berkata kalau mereka tidak bisa membicarakan masalah ini di telepon.
Tubuh Audrey seketika terasa dihujami peluru. Apa yang dikatakan Galang mengindikasikan kalau cerita tentang pertunangan itu memang nyata adanya.
Sebelum Audrey menutup ponselnya, benda itu meluncur begitu saja dari tangan Audrey hingga mencium karpet di ruang tamu apartemennya.
Mimpi buruknya kini telah dimulai.
DRET, DRET.
Ponsel di meja kecil di samping tempat tidur Audrey bergetar, membuayarkan ingatan Audrey tentang apa yang terjadi kemarin malam.
Tanpa melihat siapa yang memberinya pesan, Audrey bisa menebak kalau Galang yang mengirimkan pesan itu. Galang dengan sejuta kata maafnya──walaupun tadi dirinya dan Galang telah membicarakan masalah ini.
Fixed.
Galang memang akan menikah. Dengan orang lain.
Dada Audrey terasa ngilu. Kenangan selama dua tahun kebersamaannya bersama Galang pupus begitu saja hanya karena Galang yang tidak bisa menolak keinginan orangtuanya!
Audrey meradang. Bukankah seharusnya bila Galang mencintai dirinya, dia akan berusaha untuk menolak pertunangan itu dan memperjuangkan cintanya kepada Audrey?!
Air mata Audrey pecah kembali. Ia menenggelamkan tubuhnya di bawah selimut walaupun sedikit pun dia tidak berniat untuk tidur. Matanya sudah semakin berat, bengkak karena tangis yang tidak kunjung berhenti.
Seharusnya dia tidak seperti ini, tidak bisa tidur hingga pagi hampir menjelang. Pagi ini dia harus tampak fresh karena harus harus pergi ke Jakarta dengan menggunakan mobil kantor untuk mengikuti jadwal konsultasi mengenai registrasi produk baru perusahaannya ke pihak BPOM.
Masalah pekerjaan itu kemudian meluntur detik berikutnya──lagi-lagi tergantikan pilu yang dirasakan luka hatinya yang kini membasah karena mantan kekasihnya yang telah pergi.
***
“Bisa tolong panggilin Galang ke sini?”
Panji tidak mempercayai penglihatannya sendiri. Di dekatnya kini, seorang perempuan dengan setelan formal tengah berdiri di samping mobil Jazz-nya yang terparkir tepat di sebelah mobil Panji.
“Lu nggak nyoba nelepon dia?” spontan saja Panji berkata demikian.
Audrey menarik napas berat. Cahaya matahari yang terik sudah lebih dari cukup untuk mematangkan ubun-ubunnya. Rasanya sakit kepalanya itu tidak perlu ditambah lagi dengan pertanyaan yang tidak perlu diutarakan oleh teman SMA-nya itu kepadanya.
“Ini barang-barang buat Galang?” Panji bertanya lagi sambil menunjuk sebuah kotak berwarna abu-abu seukuran kardus minuman gelas yang sedang dipeluk Audrey.
“Kalau lo nggak keberatan, bisa lo tolongin gue dengan nggak usah banyak nanya dan cukup kasih tau Galang kalau gue ada di sini?” Audrey berusaha berbicara sebiasa mungkin, padahal emosi di dadanya sudah campur aduk tidak karuan.
Setelah Audrey mengusir Galang──maksudnya menyuruh lelaki itu keluar dari apartemen Audrey pasca pengakuan Galang tentang pertunangan lelaki itu──Audrey memblok semua jalur komunikasi yang mungkin dilakukan Galang kepadanya. Setiap telepon dari Galang selalu dia reject. Setiap pesan yang dikirim oleh Galang tidak pernah dibalas oleh Audrey. Dan kalau dihitung-hitung, lelaki itu mungkin sudah mengucapkan sejuta kata maaf untuk Audrey.
Percuma, batin Audrey getir.
Semua ucapan maaf itu tidak akan mengubah kenyataan──kecuali kalau Galang memutuskan untuk membatalkan pertunangannya dan lebih memilih Audrey.
“Kenapa nggak lo nelepon dia aja?” Panji lagi-lagi membuka mulutnya, membuat Audrey mulai gemas karena lelaki itu banyak bertanya.
“Sejak kapan sih lo suka ikut campur sama urusan orang?” tembak Audrey.
Seulas senyum yang tidak dapat diartikan oleh Audrey justru tersungging dari ujung bibir Panji. “Emangnya lo kenal gue? Emangnya lo cukup tau kalau gue pas SMA dulu bukan tipe lelaki yang serba pengin tau?”
Tangan Audrey terasa kesemutan. Dia sudah memeluk kotak besarnya itu selama hampir sepuluh menit──terhitung sejak Panji muncul di parkiran PT Bresinda Utama Karya, kantor tempat Galang dan Panji bekerja, yang ada di Jalan Riau.
Panji yang sekarang memang tidak jauh berbeda dengan Panji versi anak SMA dulu. Perawakannya yang tegap, sama seperti dulu. Bedanya, Panji sekarang agak berisi. Mungkin hasil nge-gym? Audrey bertanya-tanya sendiri di dalam hati. Rambutnya Panji sekarang agak gondrong. Yang paten tetap sama adalah senyum tengilnya──senyum yang selalu menggoda teman-teman sekelas mereka dulu, senyum yang juga pernah membuat Audrey kikuk saat lelaki itu menembaknya di depan gerbang sekolah.
Audrey Vanissa.
Seperti yang sudah Panji bilang, perempuan itu sekarang jauh berbeda──seratus delapan puluh derajat dari Audrey yang dulu Panji kenal.
Dan...
“Gue suka liat lo yang sekarang. Lebih cheers up. Nggak gelap kayak dulu lagi──”
“Gelap?” potong Audrey. Dia menyipitkan mata. “Hei, ex-classmate... maksud lo, kulit gue gelap, gitu?” Audrey bertanya, heran sendiri karena Panji yang sekarang bisa membuatnya gelagapan. Apakah benar karena Audrey yang sudah berubah?
Panji berjalan mendekat ke arah Audrey. Dia tidak membahas apa yang sebenarnya ingin dikatakan olehnya kepada Audrey. Mungkin lebih baik dia tutup mulut tentang apa yang mengganjal di pikirannya selama setahun belakangan ini. Dan mungkin, sekarang dia bisa menjadi teman dalam artian yang sebenarnya dengan Audrey.
Panji pun kemudian mengambil kotak besar berwarna biru muda yang sebelumnya ada di pelukan Audrey.
“Thanks, tapi lo telat ngebantuinnya. Gue udah kesemutan,” Audrey tertawa sedikit, lalu membiarkan Panji mengambil kotak itu.
Kotak yang berisi beberapa barangnya Galang: kemeja, DVD, buku-buku, dan beberapa perintilan lainnya yang adalah milik Galang dan sudah seharusnya keluar dari apartemennya Audrey.
Tidak, Audrey bukanlah seorang anak remaja yang bila putus dengan pacarnya, membuatg semua barang-barang pemberian dari pacarnya yang sudah berubah status menjadi mantan pacar itu. Audrey juga bukan seorang perempuan yang dengan senang hati tetap menyimpan barang-barang pemberian mantan pacarnya untuk dirinya itu.
Audrey hanya ingin berada di zona netral. Mencoba bersikap seperti layaknya perempuan dewasa: barang yang Galang berikan untuknya, akan tetap dia simpan. Barang yang memang milik Galang, akan dia kembalikan.
Tuh kan, batin Panji kemudian. Audrey yang dulu tidak akan bisa bersikap bersahabat seperti saat ini. Audrey yang dulu tidak pernah memancarkan aura menyenangkan seperti ini.
Tapi, ada yang aneh. Semakin Panji menatap lurus Audrey, semakin dia merasa kalau ada yang kurang. Panji merasa seakan ada yang hilang dalam tawa Audrey.