Deep Down Inside

Pia Devina
Chapter #6

Pushing Away

Biasanya, seseorang yang tengah duduk di hadapan Audrey itu selalu tersenyum ceria, cenderung tersenyum genit──begitu biasanya Audrey menyebutnya kalau sedang meledek Faya.

Tapi Faya yang ada di hadapannya kini terlihat kacau, seperti tidak bisa tidur bermalam-malam. Mirip seperti kertas yang baru saja diremas sampai kusut.

Audrey berusaha mengabaikan penilaiannya itu dan lebih memilih untuk menyeruput teh panasnya.

Semalam, sekitar jam setengah satu, Faya menelepon Audrey. Lain halnya dengan sebelumnya──Audrey selalu me-reject telepon dari Faya sebagaimana dia me-reject telepon dari Galang──tadi malam dia memutuskan untuk mengangklat telepon itu.

Dan kemudian Audrey bisa menduga apa yang terjadi berikutnya. Faya membuka percakapan dengan isak tangis. Baru satu menit kemudian dia berbicara dengan suara serak dan meminta agar Audrey mau bertemu dengannya hari ini di Starbucks yang ada di dekat kantor Audrey.

Telepon pun terputus, meninggalkan Audrey sendirian dengan kegelisahannya sendiri.

Benarkah dia memang menganggap Faya bersalah? Apakah kemarahnnya terhadap Faya beralasan?

Pikiran itulah yang membuat Audrey merasa kalau dirinya sudah bertingkah kekanakan. Tapi, tetap saja egonya menyuarakan kalau tindakannya yang menghindari Faya adalah satu tindakan tepat. Paling tepat.

Dan sekarang, saat Faya duduk di hadapannya dengan pulasan blush on Faya yang meluntur karena bolak balik terhapus tissue saat dia menghapus air matanya, membuat Audrey ragu. Namun, Audrey memutuskan untuk tetap diam dan bersikap keras kepala. Setidaknya sampai Faya memberinya penjelasan.

“Gue minta maaf…”

Audrey tidak menjawab. Dia malah sibuk melempar pandangannya pada hilir mudik orang-orang di balik jendela kaca, yang sedang berjalan di trotoar di luar sana.

“Harusnya gue nggak punya feeling itu buat Galang, ya, Drey?” Faya berkata pelan. Dia terisak terus, namun bolak-balik dia berusaha untuk meredam tangisnya itu.

“Gue tau gue salah karena gue nggak jujur. Dan gue minta maaf karena gue udah berani sayang sama Galang…”

Audrey melenguh pelan.

Benarkah apa yang sedang dia lakukan? Membiarkan Faya meminta maaf seperti itu?

“Kalau bisa milih, gue nggak pengin punya perasaan ini. Persahabatan kita selama ini jauh lebih berharga. Terlalu berharga buat dibuang karena seorang laki-laki.”

“Tapi lo ngelakuin itu,” potong Audrey cepat.

Rasanya Audrey ingin menarik kata-katanya barusan saat melihat tangan Faya yang bergetar di samping gelas plastik berisi iced caramel macciato­-nya setelah Audrey mengatakan itu.

Apakah kalimat tadi terlalu menyakiti Faya?

“Gue... gue minta maaf. Lo boleh benci gue. Tapi gue──”

“Yang gue minta dari lo sekarang──,” Audrey menahan napas selama sepersekian detik sebelum meneruskan ucapannya, “──kasih tau gue, kenapa lo bisa tau Galang tunangan sama orang lain sementara gue nggak tau. Dan Galang pun nggak bilang sama gue!” suara Audrey meninggi, tapi buru-buru dia membungkam mulutnya lagi saat beberapa orang di beberapa meja yang ada di dekat mereka melihat ke arah meja Audrey dan Faya yang ada di paling ujung──merapat pada dinding kaca.

Lalu, Faya pun bercerita. Cerita yang susah payah dia ungkapkan di tengah tangisnya.

Beberapa waktu yang lalu, saat Faya ada di parkiran basement apartemennya Audrey, dia tidak sengaja memarkirkan mobilnya di samping mobilnya Galang yang juga akan mengunjungi Audrey.

Saat itu, Galang yang baru saja turun dari mobilnya dan sedang berbicara di telepon dengan mamanya, berdebat tentang ‘perjodohan’ dirinya dengan seorang perempuan bernama Saskia.

Setelah mendengar pembicaraan yang tidak seharusnya didengar itu, Faya memundurkan langkahnya, kembali masuk ke dalam mobilnya… lalu membiarkan tangisnya pecah. Sendirian, dia meratapi perasaan diam-diamnya yang semakin membuat hatinya terasa nyeri.

Cerita dari Faya itu lantas terurai, membuat Audrey sadar, kalau sahabatnya itu bukan hanya menyukai Galang. Faya memang benar-benar mencintai Galang.

***

“Love is what makes two people sit in the middle of a bench when there is plenty of room at both ends.” - Barbara Johnson.

Audrey membaca kalimat itu dengan berujung pada umpatan dalam hati yang ditujukan untuk dirinya sendiri.

Dia bertatapan dengan layar PC-nya yang tengah menampilkan file PDF berisi product information produk infus yang perusahaannya impor dari headquarter perusahaan tempatnya bekerja di Swiss sana. Tapi, entah kekuatan apa yang merasukinya, hingga membuat dirinya berselancar di google selama hampir satu jam penuh.

Pertama, dia membuka online shop langgananannya dan melihat-lihat new arrival casual dress yang ada di sana──dia pun akhirnya memesan sebuah Marina Cap-Sleeve Lace Dress yang entah akan dipakai untuk acara apa. Toh dia pun sekarang tidak punya teman kencan.

Audrey langsung menutup tab online itu selepas kata 'tidak punya teman kencan' melintas di kepalanya.

Lalu, Audrey melihat-lihat hot news di tab yahoo──lagi-lagi tentang perang di belahan bumi bagian Timur Tengah sana, lalu berita tentang ajang Miss Universe. Hingga akhirnya berujung pada berita artis Hollywood yang ber-headline tentang Kim Kardashian.

Lagi-lagi Audrey menutup tab itu, karena dia terlalu malas dengan seseorang yang menurutnya seperti drama queen──padahal dia juga tidak kenal langsung dengan pacarnya Kanye West itu, kan?

Sampai akhirnya Audrey merasa bosan dan membuka akun Twitter-nya di web──entah sudah berapa juta tahun dia tidak mengakses social media-nya itu melalui web. Selama ini dia hanya mengakses akun Twitter-nya melalui smartphone-nya, itupun hanya sekali-kali bila dia tidak sedang berada dalam tahap 'malas untuk mengumbar kesehariannya dan membuat haters-nya di luar sana tahu kalau dia sedang patah hati’.

Wait! Haters?

Memangnya dia punya haters──atau setidaknya orang yang peduli dengan apa yang sedang merundungnya?

Dan kemudian, Audrey ingin bertepuk tangan sambil berdiri, memberikan applause termahal untuk dirinya sendiri saat membaca salah satu akun Twitter berisi quotes populer menuliskan:

“Love is what makes two people sit in the middle of a bench when there is plenty of room at both ends.”

Audrey sampai membaca kalimat itu sebanyak dua belas kali.

Dan pilu pun mendesir lagi.

Jadi, apa yang dimilikinya bersama Galang selama ini bukanlah cinta? Karena kenyataanya mereka berdua tidak sedang dalam tahap ‘two people sit in the middle of a bench’.

“Kamu sudah nge-review product information-nya? Sudah make sure kalau dokumen itu udah sesuai dengan ketentuan BPOM?”

Audrey terlonjak, membuat tubuhnya nyaris terjengkang jatuh dari kursi kerjanya saking kagetnya. Sebuah suara mengagetkannya dari balik punggungnya.

Bu Sofi ada di belakangnya dengan pandangan seperti akan melahapnya hidup-hidup. Mata elangnya yang berkacamata plus itu menatap lurus ke arah monitor Audrey yang sedang menampilkan tab Twitter-nya. Dia belum sempat menutup tab media sosialnya itu!

“Eh... Bu?” Audrey tergagap. Dia buru-buru berdiri di hadapan Bu Sofi──Bu Bos galaknya yang seperti nenek sihir itu──dengan sedikit menundukkan kepala.

Audrey malu bukan kepalang, seperti anak kecil yang tertangkap basah karena telah bermain lumpur di kubangan!

“Selesaikan dokumen itu sebelum jam lima.”

Damn! batin Audrey. Sekarang saja sudah jam empat sore!

“Seharusnya kamu bisa menyelesaikan pekerjaan itu dari tadi bila kamu tidak sibuk dengan Twitter kamu itu,” sang manajer departemen Regulatory Affairs itu mendesis galak, lalu membalikkan tubuh dan berjalan menjauhi meja Audrey.

Sekali lagi Audrey merutuki dirinya sendiri. Seharusnya dia tidak terbawa perasaannya yang sedang labil hingga membuatnya tertangkap basah sedang membaca quote sialan yang semakin membuatnya terpuruk itu!

Sigh! Audrey mendengus keras seraya menjatuhkan kembali tubuhnya di kursi. Ternyata patah hati bisa benar-benar membuatnya merasa sengsara!

Lihat selengkapnya