Sembilan tahun yang lalu.
“Namanya Saskia.”
Audrey mengerutkan wajah, memandangi selembar foto yang ditunjukkan oleh Deira. Seorang perempuan menggunakan blouse berwarna pink tengah tersenyum di antara sekumpulan orang yang mengenakan kaus putih bertuliskan Artemis──Audrey lupa singkatan dari Artemis itu apa, tapi yang jelas, Deira bilang kalau Artemis itu adalah nama untuk acara pentas seni di kampusnya Deira yang diadakan dua minggu yang lalu.
“Jadi, Saskia ngerebut Aldi dari lo?” tanya Audrey sambil berusaha mencari apakah lelaki yang namanya Aldi, ada di foto itu ada atau tidak.
Tidak ada.
Audrey sering melihat wajah Aldi di ponsel kakaknya. Tapi, rupanya lelaki itu tidak ikut berfoto di sini. Begitu juga dengan Deira. Padahal, dari cerita Deira, Deira adalah koordinator seksi acara pada kegiatan pentas seni tersebut. Seharusnya Deira eksis, dong?
Deira melemparkan pandangannya ke luar jendela──salah satu jendela yang ada di bagian tengah rumah mereka di daerah Cikutra, yang kini selalu sepi karena hanya ditinggali oleh mereka berdua──kehidupan finansial mereka sekarang hanya ditopang oleh uang pensiun dan asuransi orangtua mereka. Setidaknya, mereka bisa bertahan hidup sampai beberapa bulan ke depan Deira lulus kuliah, lalu mencari pekerjaan.
“Kalau misalnya Aldi milih dia, kenapa lo harus sesedih ini, sih?”
Audrey tidak pernah merasakan bagaimana jatuh cinta. Dengan seragam abu-abu putih yang dikenakannya, dia bahkan belum tahu bagaimana rasanya mempunyai seorang pacar. Bukan berarti Audrey tidak ingin berpacaran seperti cewek-cewek lain di sekolahnya. Tapi Audrey selalu merasa kalau kondisinya berbeda.
Tidak tinggi. Tidak berkulit putih seperti model iklan di TV. Tidak juga cantik.
Audrey lalu membenarkan letak kacamata bundarnya dan melipat kedua kakinya di atas sofa kulit berwarna cokelat.
“Lo... nge-drop kayak gini gara-gara lo cinta sama Aldi?”
Deira menoleh ke arah Audrey sekilas, namun dia langsung bangkit dari duduknya di sebelah Audrey dan berjalan ke arah jendela yang terbuka.
Deira sudah berusia 22 tahun, jadi di dalam kepalanya sudah ada rancangan-rancangan masa depan yang dia mimpikan. Tidak seperti Audrey yang menganggap hidupnya statis dan hanya berpusar dalam masalah sekolah-sekolah-dan sekolah. Oh, dan membaca buku-buku tebal semacam ensiklopedia.
“Saskia emang ngerebut Aldi dari gue.”
“Aduh, Kak. Kan rebut-rebutan pacar itu, udah biasa, kan?” Audrey mengomel, tidak habis pikir mengapa kakaknya harus semurung itu karena seorang lelaki, juga karena seorang perempuan yang merebut pacar kakaknya itu.
Duh, ribet! Audrey terus mengomel dalam hati.
Beginilah Audrey. Semenjak orangtuanya tiada, dia mulai bersikap tertutup dan cenderung tidak punya teman di sekolah. Tapi bila sedang bersama Deira, Audrey bisa menyuarakan isi kepalanya kapan saja. Karena hanya Deira satu-satunya keluarga yang dimilikinya──seseorang yang bisa diajak bicara oleh Audrey. Seseorang yang paling Audrey percayai.
“Saskia benci sama gue,” kata Deira, lirih.
Audrey mendongakkan kepala, lalu menunduk lagi sekilas untuk melihat ke arah foto yang masih ada dalam genggamannya, kemudian menatap lagi kakaknya yang masih berdiri diam di dekat jendela.
“Kenapa harus benci sama lo? Dia kan cuma temen kuliah lo.”
Deira membatu. Langit malam di luar sana membuat sosok Deira menjadi agak gelap──ruang tengah di rumah itu memang hanya disinari lampu yang agak redup bila sudah malam. Bila sudah malam seperti sekarang, mereka berdua tidak terlalu suka dengan lampu neon sekian puluh watt yang bisa membuat mata mereka silau──juga tidak suka dengan ruangan yang gelap sepenuhnya.
Selang berikutnya, Deira berjalan di atas laminated parquet dan beranjak menuju kamarnya yang ada di sisi kanan ruangan. “Hati-hati kalau jatuh cinta, Drey,” sambungnya, lalu membiarkan pintu berdebam di belakangnya.
Audrey tertegun.
Memangnya jatuh cinta bisa membuat seseorang merana seperti Kak Deira, ya?
Mulai saat itu, Audrey mempertanyakan ucapan kakaknya pada dirinya sendiri.
***
“Kak! Kak Deira!”
Entah sudah keberapa kali Audrey memanggil-manggil nama kakaknya itu dari ruang tamu.
“Udah hampir jam setengah tujuh. Lo nggak kuliah?!”
Tidak juga ada jawaban.
Audrey menyelesaikan akitivitasnya menuangkan susu cair ke dalam gelas di atas meja makan──untuknya dan untuk kakaknya──lalu mengoleskan selai kacang di beberapa helai roti untuk sarapannya pagi ini.
“Kak! Bentar lagi gue mesti berangkat nih! Ayo bangun!”
Masih tidak ada jawaban juga, sampai akhirnya Audrey memutuskan untuk membangunkan kakaknya itu──tidak peduli apakah dia harus menyiramkan air ke wajah Deira agar kakaknya itu segera bangun, atau dia harus berteriak di telinga Deira, atau kalau perlu memukul-mukul panci agar kakaknya itu segera beranjak dari tempat tidur.
Semalam dirinya dan Deira memang baru tidur jam dua malam setelah selesai menonton film DVD berjudul Juno, sebuah film produksi tahun 2010, yang bercerita tentang Juno dan bayinya──Juno melahirkan bayinya itu di usia belia, dan dari sana lah konflik dimulai.
Audrey sempat mengomel kenapa Deira mengajaknya nonton selepas tengah malam seperti itu, padahal tadi malam adalah Senin pagi, yang artinya menjadi mimpi buruk bagi Audrey dan Deira, karena mereka hanya bisa tidur beberapa jam saja sebelum pagi menjelang dan mereka harus sudah siap untuk beraktivitas kembali.
“KAK DEIRA!”
Teriakan Audrey semakin keras. Dia membuka pintu kamar Deira yang dicat putih dan berjalan dengan berderap karena gemas kakaknya tidak bangun juga.
Di atas tempat tidur, Deira masih tidur setengah menelungkup.
“Lo kayak mumi deh! Gue bangunin dari ta──”
Jantung Audrey terasa berhenti berdetak saat menyadari apa yang terjadi…
“DEIRA!!!”
Teriakan Audrey melengking ke seluruh penjuru ruangan. Dengan disergap panik yang luar biasa, Audrey berusaha untuk mengguncang-guncang tubuh Deira. Kakaknya itu tidak sadarkan diri dengan mulut berbusa.
***