Audrey mengerang saat matanya perlahan terbuka. Kepalanya masih berat. Secercah cahaya entah darimana terasa menusuk-nusuk kepalanya, seperti silet yang menyayat-nyayat kepalanya itu.
Astaga! Silet!
Dia langsung menggelengkan kepala keras-keras saat mengingat satu benda itu──salah satu benda yang dia benci karena telah diciptakan di dunia ini.
“Are you okay?”
Tubuh Audrey hampir melompat dan terjengkang dari sofa saat ada seseorang yang berbicara. Dikiranya hantu, mungkin. Karena yang tinggal di apartemen ini hanya dia sendiri.
“Pan... Ji?” Audrey tercengang memandangi Panji yang sedang merapikan piring di atas meja makan mungil di ujung ruangan. Lelaki itu melipat kemejanya hingga lengan dan memamerkan senyum bersahabatnya.
“Sorry gue malah nginep di sini──”
“Nginep?!” Audrey meraung keras, lalu menyambar jas hitam entah milik siapa yang ada di dekat tubuhnya──jas yang ternyata baru Audrey sadari adalah milik Panji.
Ya iyalah, milik siapa lagi coba?
Panji terkikik geli. “Jangan bilang lo nggak inget kalau tadi malem kita──”
“PANJI!” Audrey meraung lebih keras lagi dan menghambur maju mendekati Panji sambil mengangkat tangannya ke udara dan bersiap untuk meninju lelaki itu.
Bukannya ketakutan mendengar suara Audrey yang bernada mengancam, Panji malah tertawa keras-keras. “Hei, apa yang bisa gue lakuin sama lo? Liat tuh baju lo. Utuh tanpa kekurangan sesuatu apapun.”
Audrey gelagapan, lalu dilihatnya dirinya sendiri.
Iya, dress yang dia kenakan tetap pada tempatnya, walaupun dress-nya itu kusut bukan main, seperti tidak disetrika berminggu-minggu. Bahkan, dress yang seharusnya sepanjang betis itu, kini terlipat-lipat hingga di atas lutut.
“Oh…” Audrey berkata pelan, malu setengah mati dengan kekhawatiran konyolnya barusan.
Dia lalu buru-buru mengalihkan keadaan dengan meringis kesakitan seakan sesuatu yang berat masih saja menghantam kepalanya.
“Duduk gih,” Panji memberi intruksi.
“Di sini yang tuan rumahnya kan gue,” omel Audrey, tapi dia otomatis mengikuti perkataan Panji──duduk di kursi yang ada di seberang Panji.
Agak janggal rasanya bila sekarang ada dua orang duduk berhadapan di sana. Meja makan itu biasanya hanya dipakai untuk menopang piring-piring untuk Audrey saja──atau terkadang Faya bila sedang datang ke apartemen itu. Oh, dan Galang. Galang yang memang tidak terlalu sering datang ke apartemennya Audrey dengan alasan: sibuk.
“Nih.”
Audrey melongo seperti orang bego saat Panji menyodorkan secangkir kopi panas, segelas air putih, dan semangkuk sup ke hadapan Audrey.
“Eh?”
“Nggak usah bawel. Itu kopi buat ngatasin hangover lo, air putih biar lo nggak dehidrasi gara-gara kopi itu. Dan sup ini buat perut lo yang kayaknya udah kelaparan.”
“Lo kayaknya pinter juga,” Audrey terkikik geli, kagum sendiri dengan lelaki yang ada di hadapannya itu. Tapi akhirnya dia bilang, “Oh, lo hafal hal beginian karena udah jadi rutinitas lo, ya? Hangover in your every single… umm, morning?” ledek Audrey.
“Whatever you said,” jawab Panji asal, lalu duduk sambil menatap Audrey lekat-lekat.
Audrey salah tingkah, tapi dia berusaha untuk menyembunyikan salah tingkahnya itu dengan pura-pura khusyuk meminum kopinya.
Panji hanya diam──sambil sedikit tersenyum──memandangi Audrey.
“Lo kenapa, sih? Ngeliatinnya nggak usah segitunya juga kali.” Audrey mendelik galak.
“Ge-er lo,” balas Panji tidak mau kalah, lalu menunjukkan senyum jailnya.
Audrey ikutan tertawa, kemudian mulai memakan sup ayam yang membuatnya ngiler.
“Lo bikin ini?”
Panji mengangguk mantap.
“Yakin?”
“Nggak usah meragukan kemampuan masak gue.”
“Jadi lo kayak Chef Juna yang penampakannya kayak begajulan tapi jago masak? Lelaki bertato tapi so damn great dengan kemampuan bikin masakan enak?”
“Lebih tepatnya lelaki ganteng yang jago masak dan digandrungi cewek-cewek,” sahut Panji yang lalu meminum air putih di mug berwarna hitam milik Audrey.
“NORAK!” jerit Audrey sambil mengacungkan sendoknya ke arah Panji. “Ngomong sekali lagi kayak gitu, gue kehilangan nafsu makan, nih!”
“Oh, that is a big disaster.”
Tawa mereka pun lantas menggema ke seluruh ruangan, lalu perlahan tenggelam dalam atmosfer hening yang tercipta di antara mereka berdua.
Audrey sibuk menyantap sup ayamnya, sementara Panji sibuk memandangi Audrey dengan sekelumit tanya yang menggenang di permukaan otaknya Panji. “Lo hidup sendiri di sini?”
Audrey mengangguk sambil sibuk mengunyah wortel.
“Dulu pas SMA, lo tinggal sama kakak lo, kan?”
Lagi-lagi Audrey mengangguk, kali ini diakhiri dengan meminum seteguk air putih dari gelasnya.
“Kok lo tau?” tanya Audrey sambil menggerogoti tulang ayam.
“Yah seenggaknya pas SMA, gue tau dikit tentang cewek yang pernah gue tembak.”