Deep Down Inside

Pia Devina
Chapter #10

Never Try to Forget

“Dulu waktu masih SD, gue pengin cepet-cepet dewasa, biar punya duit. Hidup senang. The end.”

“But in fact, life is not like a fairy tale, isn't it?” jawab Panji.

Audrey mengangguk setuju sambil sibuk memasukkan es krim di tangannya ke dalam mulut. Dia dan Panji sedang berada di bagian depan sebuah taman yang dipenuhi tukang jualan makanan yang mungkin tujuh puluh persen di antaranya termasuk kategori makanan yang tidak lolos pengujian QC[1] di BPOM.

Walaupun Audrey selama ini bergelut dengan salah satu badan pemerintahan terkait kesehatan itu, tapi untuk kali ini, dia akan pura-pura kalau dia bukanlah seseorang yang bekerja di bidang kesehatan. Bukan pula seorang perempuan dewasa yang bisa membedakan mana makanan sehat dan mana yang tidak.

Yang dia perlukan sekarang adalah seperti apa yang sedang dilakukannya sekarang bersama Panji: duduk selonjoran di sebuah bangku panjang di dekat seorang pria paruh baya yang sedang menjajakan siomay. Di sekitar pria itu, banyak anak kecil yang saling menjerit dan berebut adu cepat untuk mendapatkan siomay yang mereka beli.

“Lo punya adik?” tanya Audrey tiba-tiba.

Panji menggeleng. Disuapkannya potongan rujak ke dalam mulutnya. “Dulu gue ngotot nggak pengin nyokap gue ngasih gue adik karena gue takut kasih sayang nyokap gue itu ntar kebagi,” dia terkekeh.

“Emangnya enak, jadi anak tunggal?”

Nope. Gue nyesel udah berpikiran kayak gitu. Seandainya gue tau kalau gue bakal sendirian kayak gini, gue pengin minta adik yang banyak dari nyokap gue.”

“Hmmm... jadi kesebelasan suatu klub bola, mungkin?” canda Audrey sambil menyipitkan mata.

Panji mengangkat sebelah alisnya, “Lo kira nyokap gue nggak paham konsep KB?” tanyanya sok sinis.

“Emang lo pengin punya adik berapa?”

Panji tidak langsung menjawab. Pandangannya lurus ke arah lapangan di seberang sana. Di atas tanah berumput jarang, anak-anak sedang berlarian ke sana kemari mengejar bola. Kaus yang mereka kenakan kini ditambahi noda warna kecokelatan, terkena tanah saat tubuh mereka terguling-guling di lapangan itu.

“Satu cukup, seenggaknya gue nggak kesepian-kesepian amat.”

“Emang nyokap lo sekarang di mana?” tanya Audrey lagi. Es krim di tangannya sudah habis. Dia lalu meraih potongan pepaya dalam plastik dan segera memasukkannya ke dalam mulutnya.

“Bokap lo di mana?” Audrey kembali bertanya.

Saat tidak ada jawaban, Audrey menolehkan kepala.

Sebuah pemandangan membuatnya membisu. Panji terus memandangi anak-anak yang sedang bermain bola itu dengan ekspresi lain. Ekspresi… kesepian?

***

“Are you okay?”

Panji menyerahkan kantong plastik di tanganya ke Audrey sambil memamerkan senyum lebarnya, “Emang lo pikir gue kenapa?”

Memang tidak ada yang aneh. Panji tampak baik-baik saja. Ekspresi yang ditunjukkan laki-laki itu tadi sudah sirna tertutup tawanya.

Setelah tadi Audrey menanyakan tentang di mana keberadaan ibu dan ayahnya Panji, Panji sama sekali tidak menjawab──lelaki itu seperti ditarik ke suatu dunia yang berisi kenangan yang dimiliki oleh lelaki itu.

Audrey tidak mau bertanya lebih lanjut ataupun mencari tahu. Privasinya Panji, begitu pikirnya.

“Udah sore, gue balik dulu, ya,” Panji berkata, masih dengan posisinya yang berdiri di depan pintu apartemen Audrey.

Panji sudah mengganti kemejanya dengan kaus tangan pendek setelah siang tadi dia menyeret Audrey keluar dari apartemen dan menggiring Audrey keluar dari persembunyiannya──menuju ke taman yang letaknya tidak terlalu jauh dari apartemen Audrey itu.

Sedangkan Audrey, mana sempat dia ganti baju sementara tadi Panji menyeretnya begitu saja. Alhasil, dia masih mengenakan dress-nya yang kemarin, dengan meminjam jaket baseball berwarna hitam yang ada di mobil Panji.

“Lo tau nggak?”

“Tau apaan?” Panji menyahut.

“Rasanya siang ini gue belum ngomongin Galang.”

“Barusan lo nyebutin namanya dia,” potong Panji.

Audrey berkacak pinggang. “That's not the point. Maksud gue, terima kasih buat lo yang udah nemenin gue hari ini dan bikin gue sibuk dengan aktivitas nggak penting semacam nontonin anak-anak main bola, yang ternyata cukup ampuh untuk bikin gue mendistraksi isi kepala gue.”

“Walaupun abis gue balik bentar lagi, lo bakal nangis raung-raung di kamar lagi? Atau perlu gue nginep di sini lagi dan nemenin lo, dan──”

IN YOUR DREAM!” Audrey tergelak keras. Dia menggerakkan kedua tangannya ke depan tubuh, memberi tanda agar Panji segera pulang. “Husssh! Sana gih lo balik! Gue mau ngucapin makasih aja, eh malah ditanggepin yang aneh-aneh.”

Panji yang masih berdiri dengan memasukkan kedua tangannya ke saku celananya, tersenyum. “Oke kalau gitu, ntar──”

Ucapan Panji terputus karena Audrey tiba-tiba mengibas-ngibaskan tangannya di depan dada. Sebelah tangan Audrey memegang ponselnya yang sedang bergetar──dia menerima sebuah telepon yang berhasil membuat matanya terbelalak.

“Ini Galang!” desisnya panik. “Tunggu bentar, Ji,” sambungnya sebelum akhirnya dia mengangkat telepon itu.

Panji menunggu──walaupun sebenarnya dia sendiri tidak mengerti mengapa dia harus menunggu Audrey sampai selesai berbicara di telepon dengan Galang.

Kurang dari semenit kemudian, insting Panji mengatakan kalau Audrey akan mencegah dirinya pulang untuk malam ini.

Lihat selengkapnya