Deep Down Inside

Pia Devina
Chapter #11

You're Back, Memory

Tiga minggu berlalu sejak Panji menghabiskan dua harinya di akhir pekan bersama Audrey. Selama waktu yang singkat itu, dia menyadari, banyak titik gelap di dalam benaknya yang seakan malah disorot oleh lampu neon dan menjadi highlight di kepalanya.

Termasuk, cerita tentang kedua orangtuanya Panji—satu topik yang terangkat ketika dirinya dan Audrey duduk-duduk di pinggir lapangan, melakukan hal yang tidak biasanya dilakukan oleh dua orang dewasa seperti mereka. Dan, saat itu pula Panji tertegun ketika Audrey menanyakan di mana keberadaan orangtuanya Panji.

“Untuk pola atap asimetris yang seperti ini, akan ada banyak kendala nantinya di lapangan—”

Seorang pria di depan sana sibuk menjelaskan. Pointer di tangannya menghasilkan cahaya berwarna merah di whiteboard besar yang kini tengah menampilkan sebuah design perkantoran yang menjadi current project tempatnya bekerja saat ini.

Sudah setengah jam pria yang mengenakan kemeja bermotif kotak-kotak dan tampak kelonggaran dengan kemejanya itu, berkoar-koar di ruang meeting, bersama empat orang pria—termasuk dirinya—dan seorang perempuan berwajah oriental yang sibuk dengan pensil karbon di tangannya. Oh, juga seorang wanita berusia empat puluh lima tahunan dengan rambut yang tersisir rapi—terlalu rapi hingga terlihat sangat kaku seperti kebanyakan hairspray—yang sedang menatap lurus ke arah pria di depan sana.

“Jangan lupa dengan system drainage-nya juga,” celetuk seseorang kemudian.

Selang berikutnya, semua fokus perhatian orang-orang yang ada di ruangan menatap Leni, si perempuan oriental yang katanya sedang dekat dengan Keith, lelaki yang sedang duduk di paling ujung, yang sedang tersenyum memandangi Leni yang sedang berbicara penuh semangat, mengutarakan apa yang ada di dalam kepalanya.

Sampai akhirnya…

HHH!

Perhatian semua orang kemudian teralih kepada Panji yang duduk di barisan kiri, di paling tengah—yang rupanya, tanpa disadari sendiri olehnya, sedang menghela napas keras. Terlalu keras.

Are you okay, Panji?”

Panji lalu menegakkan punggungnya, merasa malu saat Bu Sonya mendelik ke arahnya dari balik kacamata bulan sabitnya. “Sepertinya kamu sedang banyak pikiran,” sindirnya, yang lalu menyesap kopi hitamnya.

Suasana langsung hening kemudian. Bila Bu Sonya yang adalah vice president perusahaan tempat Panji bekerja sudah memasang tampang sinis seperti itu, jangan harap sisa waktu meeting akan diselingi dengan canda tawa.

I’m okay,” Panji berkilah. “Maaf, saya hanya sedikit agak kelelahan.” Dia mencoba untuk tersenyum, melirik beberapa orang temannya yang sedang celingak-celinguk was-was.

“Okay, go on, Endro,” Bu Sonya berkata kemudian—masih dengan tetap mempertahankan suara sinisnya saat berbicara kepada pria berkemeja kotak-kotak yang mulai melanjutkan presentasinya dengan kaku.

Panji merapatkan kedua matanya selama tiga detik, berusaha menetralkan pikirannya—membuang jauh-jauh akan kenangan masa kecilnya bersama ayah dan ibunya.

Saat dia kemudian meraih cangkir kopinya, tidak sengaja pandangannya tertumbuk dengan Galang, yang juga tengah melihat ke arahnya dengan tatapan seakan berkata, “We both need to talk, you bastard!”

***

Panji melemparkan pandangannya ke kejauhan, menembus dinding kaca yang hampir memenuhi sebelah dinding ruang kantornya di lantai dua. Sambil meneguk kopinya yang entah sudah cangkir keberapa sepanjang hari ini, pikirannya kembali ke masa lima belas tahun yang lalu. Saat dia masih mengenal arti liburan bersama. Walaupun liburan untuk yang terakhir kalinya.

“Habis dari sini, kita kemana, Ma?”

Seorang anak laki-laki berusia dua belas tahun berjalan di belakang punggung ibunya yang mengenakan dress floral hingga sebatas lutut. Wanita itu tidak menoleh, masih sibuk menggerak-gerakkan kipas kainnya di dekat wajahnya. Suara gemerincing terdengar saat tangan kanan wanita itu bergerak-gerak, dengan cluch bag berwarna merah yang terapit ke bagian dalam lengan kirinya.

Panji, anak laki-laki itu mengedarkan pandangan, menjelajahi apa yang ada di Museum Danar Hadi yang ada di Kota Solo ini. Di dinding, terdapat figura-figura yang berisi foro wanita-wanita bule mengenakan batik. Foto-foto yang Panji yakini, adalah foto-foto asli dari gadis-gadis Belanda, saat Indonesia masih dijajah oleh bangsa Belanda—setidaknya itu yang dia pelajari dari mata pelajaran sejarah dari SMP tempatnya bersekolah di Jakarta.

“Habis ini kita makan. Kamu ikutin aja Mama, nggak usah banyak tanya, Panji.”

Panji bergeming sesaat, masih melangkahkan kakinya. Berjalan melalui batik-batik tulis dan batik cap yang dipajang, dengan desain-desain rumit yang dia yakini, tidak bisa dia buat sendiri.

Seorang pemandu perempuan berkata panjang lebar pada seorang wanita yang ada di dekat Rayhani, ibunya Panji yang kini sedang berdiri di depan deretan batik yang warnanya seperti cokelat batang pohon mangga yang ada di pelataran rumah Panji—begitu pikir anak itu. Mebel-mebel ukiran Jawa ada di berbagai penjuru, lengkap dengan aroma sedap malam dan melati yang memenuhi museum.

“Papa mana, Ma?”

Akhirnya dia bertanya kepada Rayhani. Lagi, wanita itu tidak menggubris perkataan anaknya dan malah menyibukkan diri dengan ponsel di tangannya.

“Hallo, Mas? Di mana? Aku baru sampai sama Panji.”

Oh, Papa menyusul, begitu kesimpulan Panji.

Jadi, setelah tadi pagi Panji dan Rayhani mendarat di Solo—Rayhani memberitahu anak satu-satunya itu kalau mereka akan berlibur, dengan Daryanto, suaminya, yang akan menyusul juga ke Solo malam hariya.

Sebenarnya Panji lebih memilih untuk menghabiskan satu minggu liburan sekolahnya di rumah neneknya yang adalah ibu dari ayahnya yang tinggal di daerah Depok. Tapi untuk kali itu, Rayhani mendesak Panji untuk ikut berlibur ke Solo bersamanya. Akhirnya, Panji mau-tidak mau mengikuti keinginan ibunya.

Selama setengah jam kemudian──waktu yang dalam pikiran Panji adalah waktu untuk menunggu ayahnya yang mungkin baru sampai di bandara──Panji lebih banyak memilih diam dan mengikuti ibunya yang berjalan mengelilingi museum itu. Lalu, seorang pemandu pun mengantarkan mereka ke tempat di mana pengunjung bisa melihat dengan langsung proses pembuatan batik, entah itu batik tulis ataupun batik cap.

Panji yang jarang sekali mengenakan batik, kecuali bila sedang ada acara penting di keluarganya, terpana dengan canting-canting yang tersebar di sekelilingnya. Canting-canting yang yang dicelupkan ke malam, orang-orang yang kemudian meniup masing-masing canting di tangannya, hingga akhirnya jadi motif batik yang tidak dia mengerti. Tidak Panji pahami, tapi tetap saja berhasil membuat Panji terkesima.

Tidak lama kemudian, ponsel yang digenggam Rayhani berdering lagi.

“Papa, Ma?” Panji akhirnya bertanya lagi, membuat ibunya itu akhirnya menoleh kepadanya.

Satu detik, dua detik. Rayhani hanya terdiam, menatap lurus ke arah anaknya yang baru saja menginjak kelas satu SMP itu, yang kini tinggi tubuhnya sudah menyamai tinggi Rayhani.

Aroma bunga-bungaan di tempat itu masih menguar, memenuhi atmosfer ketika Rayhani berkata, “Bukan Papa, Panji. Maaf Mama bohong sama kamu. Orang yang sebentar lagi akan datang, bukan Papa. Papa dan Mama akan bercerai.”

Lihat selengkapnya