Dua minggu kemudian.
Audrey merasa tenggorokannya tercekat saat dia mengakhiri ingatannya dari sepuluh tahun yang lalu itu.
Diminumnya lagi beberapa teguk air putih di dalam gelas yang ada di tangannya. Mimpinya yang berhasil membangunkannya lima menit yang lalu, membuatnya teringat akan apa yang pernah kakaknya katakan tentang lucid dream itu──something or whatever it is yang juga berhasil membuat Audrey terbangun dari mimpinya dengan kondisi panik.
Mimpinya tadi itu benar-benar terasa nyata. Saat dia dan Galang...
TING, TONG.
Audrey terenyak saat seseorang menekan bel apartemennya yang ada di daerah Buah Batu, Bandung. Jantungnya hampir copot saat suara nyaring itu tiba-tiba mengagetkannya.
Sejak kemarin malam, setelah seseorang datang ke apartemennya untuk memaki dirinya habis-habisan, jantung Audrey terasa berfungsi abnormal. Setiap pergerakan sedikit saja yang membuatnya kaget, terasa bisa membuatnya terkena serangan jantung dengan mudah, kapan saja.
Mungkin, mimpi buruk yang Audrey alami tadi juga sebagai akibat dari shock yang menyerangnya kemarin malam.
TING, TONG.
Dengan malas, Audrey beranjak dari stool-nya dan beringsut menuju pintu. Sebelum membuka pintu itu, dia melirik jam di dinding ruang tamu yang dicat berwarna krem. Baru jam setengah sembilan malam. Tapi, matanya terasa sangat berat, seperti diganduli bola besi di kelopak matanya itu.
Audrey tidak bisa tidur nyenyak karena dua hal:
Pertama. Karena apa yang terjadi kemarin malam.
Dan kedua, karena perkerjaannya. Selama beberapa hari ini Audrey harus berkutat dengan pekerjaanya di kantor. Bosnya yang killer, menyuruhnya lembur untuk membereskan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk audit di kantornya minggu depan.
TING, TONG.
Bel itu berbunyi lagi. Audrey memutar knop pintu... and there he is, standing in front of her, dengan membawa plastik putih di tangan kanannya.
“Bir? Atau soda?” lelaki tinggi bersuara bas itu bertanya, lalu tertawa kecil.
Audrey ikut-ikutan tertawa. Dipandanginya sekilas lelaki itu: jeans belel, kaus putih bertuliskan 'L.A', sepatu loafers berwarna cokelat... dan rambut yang dipangkas rapi.
“Wooo... dalam rangka apa lo potong rambut?” Audrey otomatis bertanya. Biasanya lelaki di hadapannya itu tampak awut-awutan──in a good way, tapinya──dengan rambutnya yang agak gondrong.
“Dalam rangka menata hari baru gue,” canda lelaki itu.
Saat lelaki itu tersenyum, bekas luka sepanjang satu sentimeter yang ada di dekat mata kirinya tampak jelas──bekas luka yang katanya didapat lelaki itu setelah jatuh dari sepeda waktu dia masih kelas enam SD, yang anehnya malah menjadi daya tarik sendiri bagi Audrey.
“Norak!” Audrey terkikik geli. “Bahasa lo itu, bisa nggak yang agak bagusan dikit?”
Mereka berdua masih sibuk tertawa-tawa saat kemudian muncul seseorang di belakang mereka.
Ekspresi Audrey seketika menegang──hal yang membuat lelaki berkaus putih di hadapannya Audrey menoleh ke belakang, ke arah Audrey memandang.
Di sana, di dekat mereka, seorang lelaki yang sangat-sangat-sangat familiar di mata Audrey sedang melihat ke arah Audrey, lalu ke arah lelaki berkaus putih. “Kayaknya lagi pada sibuk,” lelaki yang baru datang itu berkomentar.
Kerongkongan Audrey terasa panas. Satu pertanyaan lantas menari-nari di dalam kepalanya: kenapa lelaki itu datang ke apartemennya… sekarang?
***
Panji duduk di belakang setir mobilnya dengan gelisah. Musik-musik di CD yang dia putar di mobilnya, tidak bisa meminimalisir gelisah yang dengan kurang ajarnya menghampiri dia, di saat dia ingin memperbaiki suasana hatinya dengan bertemu Audrey.
Galang ada di apartemennya Audrey, di lantai empat gedung apartemen ini. Berulang kali Panji ingin melangkahkan kakinya, keluar dari mobilnya, lalu mendatangi apartemennya Audrey dan menyeret Galang untuk keluar dari sana sekarang juga. Dia tidak ingin membayangkan apa yang Audrey dan Galang lakukan di atas sana──terlepas dari semua pembelaan Audrey yang mengatakan kepada Panji kalau dia berhubungan kembali dengan Galang hanya untuk menyakiti Saskia.
Satu alasan yang semakin dipikirkan, semakin terdengar tidak masuk akal. Dan semakin membuat Panji murka, hingga ingin rasanya dia melajukan mobilnya saat ini dan kebut-kebutan di jalan tol untuk sekadar meluapkan emosinya.
Sebuah ide gila──kecuali dia ingin membunuh orang lain atau dirinya sendiri karena kecelakaan lalu lintas.
Demi Audrey──Panji meyakinkan dirinya sendiri untuk tetap percaya pada Audrey──dia mengurungkan niatnya untuk menggedor pintu apartemennya Audrey dan menyeret Galang keluar dari sana. Dengan dongkol setengah mati, Panji memutuskan untuk masuk ke dalam mobilnya, mencoba berpikir jernih dan melakukan hal yang paling masuk akal untuk saat ini.
Tapi… gagal.
Di tengah kusutnya pikiran di kepalanya, satu hal tetap mengganggunya dan rasanya hampir membuat kepalanya Panji akan meledak: dia tidak ingin membiarkan Audrey jatuh ke dalam pelukan Galang lagi──persetan dengan semua alasan yang dipakai Audrey untuk tetap berhubungan dengan lelaki bajingan itu.
Sepuluh menit yang lalu, Panji bergumam sendiri dalam hatinya. Tangannya mengepal erat di setir mobilnya.
Sepuluh menit yang lalu, seharusnya Panji benar-benar meluncurkan tinjunya ke wajah Galang, bukannya membiarkan Audrey mempersilakan mantan kekasihnya yang adalah suami orang itu, masuk ke apartemennya Audrey.
Mengingat hal itu, Panji merasa dipecundangi habis-habisan.