“Udah lama banget kita nggak jalan bareng kayak gini.“
Audrey yang duduk di jok penumpang di sampingnya Faya, menoleh. “Lagi banyak pikiran, dan lo cuma satu-satunya alternatif buat gue minta untuk nemenin gue.”
Faya yang di telinga kirinya sudah ditambahi dua tindikan baru, mencibir. “Gilirannya kesepian, aja, yang dicariin, gue.”
Audrey terkekeh, “That's the function of you, Fay.”
And I thank God ‘cause we’re getting better in this friendship, Fay. Audrey menambahkan kalimat itu, tanpa dia ucapkan langsung kepada Faya yang sedang sibuk bersiul-siul mengikuti alunan lagu Girl on Fire-nya Alicia Keys yang melantun dari radio mobilnya.
Selang berikutnya, mereka menembus Jalan Cipaganti yang di kanan-kirinya masih banyak dipenuhi deretan pohon hijau.
“Apa kabar kerjaan lo?”
“Gue udah mau resign,” kata Faya, yang lalu dilatarbelakangi dengan suara klakson panjang yang Faya bunyikan ketika ada seorang pengendara motor yang mau menyelip mobilnya dari sebelah kiri. Dia komat-kamit marah-marah, sampai akhirnya dia menoleh ke arah Audrey dan berkata lagi, “gue mau nyoba buat cari kerjaan jadi marketing aja.”
“Di mana? Bandung juga?”
Faya mengangkat bahu. “Nggak. Semarang.”
Audrey melotot kaget. “Jadi lo bilang kemarin-kemarin lo ke Semarang itu, bukan buat ngunjungin sodara lo? Tapi nyari kerjaan baru?”
“Kinda,” jawab Faya santai. “Gue emang apply kerjaan lewat JobStreet[1] sekitar dua bulan yang lalu. Tapi baru proses wawancara pertama bulan lalu. Dan yang kemarin itu wawancara yang kedua.”
“Dua bulan yang lalu?” Audrey bertanya, otaknya sedang berputar cepat. “Saat lo patah hati karena──” Audrey menggantung ucapannya. Ada awkward moment selama tiga detik yang dia rasakan saat dia tidak sengaja mengangkat tentang topik ini.
“Galang?” Faya yang kini ganti menolehkan kepalanya ke arah Audrey. Dia tersenyum. “I’m gonna tell you this. I loved him, once. Gue patah hati. Dan gue tau, gue nggak ingin nyimpen perasaan itu terus-terusan. And I’d prefer to choose my Audrey-temen-gue-yang-paling-menyebalkan daripada seorang cowok yang… well, nggak mungkin juga gue cintai.”
Audrey tertegun selama beberapa saat, memandangi Faya yang kini sudah sibuk kembali dengan jalanan di depannya.
“Are you okay with that?”
“With what?”
“Dengan perasaan lo itu. Apa lo ngerasa baik-baik aja? Lo udah bisa lupain perasaan lo itu?”
Faya berdeham. “You know, it won’t ever been easy. Tapi, emangnya apa yang harus gue lakukan? Merengek-rengek minta orang yang gue suka, suka juga sama gue?” dia terkekeh. Entahlah apakah tawa Faya itu adalah tawa yang sesungguhnya, atau hanya kamuflase. Yang jelas, perempuan itu mencoba untuk mengendalikan perasaannya sendiri.
“Pemikiran itu yang nguatin lo?” tanya Audrey.