Deep Love; Berhenti Pada Satu Nama

Rahmi Azzura
Chapter #2

Luka yang Tak Terucap

Harusnya kalimat itu gak keucap! Harusnya gue tau kalau dia cuma emosi dan menggertak gue! Harusnya gue enggak ngebiarin dia pergi gitu aja kaya tadi! Aaaarrrrggg!!!

Radit terus merutuki dirinya sendiri. Ia terus menyesali apa yang telah diucapkannya kepada Keira.

Selepas menggambar satu siluet wanita pada sketch book nya, ia beralih ke ruang BEM dan mengambil bola basket miliknya yang sengaja ia simpan di ruang itu, dan membawanya ke lapangan depan fakultasnya. Bola basket itu sudah berada di tangannya sejak lima belas menit lalu. Dilempar berulang kali mencoba untuk memasukkan bola itu ke dalam ring. Beberapa kali bola itu masuk ke dalam ring dengan sangat mulus. Namun sering kali meleset. Panas matahari yang begitu menyengat membakar kulitnya tak ia hiraukan.

Radit kemudian menghampiri salah satu bangku yang berada di pinggir lapangan basket saat lelah terasa mulai memeluk dirinya. Meletakkan bola basket di samping kaki, lalu mengambil handuk kecil yang selalu tersedia di dalam tasnya. Untuk pertama kalinya, si ketua BEM kampus Pelita Bangsa benar-benar merasakan sakitnya patah hati!

Meski ia terkenal mudah dekat dengan para gadis di kampusnya, bahkan tidak sedikit mahasiswi di kampus itu menyandang status sebagai mantannya, tapi untuk saat ini, ditinggalkan oleh seseorang yang begitu istimewa di dalam hatinya benar-benar terasa menyakitkan. Sakit yang ia sendiri tidak pernah merasakan sebelumnya. Rasa sakit yang sedari tadi sedang ia coba hilangkan dengan bergelut bersama bola basketnya. Tapi, sampai lelah menghampiri, rasa sakit itu tak juga hilang.

"Dit, lo masih di sini?" tanya seseorang yang tiba-tiba sudah duduk di sisi kanan tanpa ia tahu sejak kapan sahabatnya itu sudah berada di dekatnya. Radit pun menoleh ke sumber suara.

"Kenapa lo?" tanya Andri, salah satu sahabat Radit, sambil memperhatikan wajah sahabatnya itu. Wajah yang tidak secerah dan sebahagia biasanya. Raut wajah yang sedang memendam rasa sakit bercampur lelah. Begitulah yang ditangkap oleh mata Andri.

"Puyeng sama tugas dari Pak Gunawan di Lab. Komputer atau lagi ada masalah sama Keira?" tebak Andri karena Radit masih saja terdiam.

"Dua-duanya! Lebih kacau lagi bubar gue ama Keira!" suara Radit pecah di akhir kalimatnya. Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri, tapi dadanya tetap terasa sesak.

Lihat selengkapnya