Dalam perjalanan ke rumah Andri, Radit sengaja membawa motornya dengan kecepatan rendah. Namun saat melewati taman belakang fakultas Keira, ia tanpa sadar menarik rem dan menghentikan motornya di tepi jalan.
Di sana, di bangku yang baru sejam lalu ia duduki bersama Keira, kenangan menyeruak seperti film yang diputar ulang tanpa izin. Ia masih bisa melihat bayangan Keira di sana—tersenyum, tertawa, menatapnya dengan mata penuh cinta. Tapi kini, yang tersisa hanya bangku kosong dan hatinya yang terasa semakin hampa. Semilir angin sore menerpa wajahnya, seolah mengusik luka yang baru saja menganga. Bangku itu menjadi saksi tentang gue dan seseorang yang pernah gue cintai, gumam lirih hati Radit.
'Pernah?' Radit berpikir lagi, dengan senyumnya yang getir, 'lu bukannya pernah gue cintai, Kei. Tapi selamanya! Gue cuma mau lo menjadi wanita terakhir dalam hidup gue.' Radit mengepalkan tangannya. Hanya dirinya dan angin yang menjadi saksi ucapannya yang lirih, penuh harap dan sesal.
Ia menghela napas berat lalu segera memakai helmnya. Jika ia berlama-lama di sini, ia tahu perasaannya hanya akan semakin hancur. Dengan tarikan gas yang lebih kencang dari sebelumnya, ia melaju meninggalkan tempat yang kini hanya menyisakan luka.
Kehilangan pasangan bagi seorang Radit adalah suatu hal yang biasa. Bahkan tidak sedikit yang mengemis cinta saat Radit memutuskan untuk pisah dari para gadis itu. Tapi ternyata, untuk saat ini, kehilangan Keira rasanya berbeda. Radit menyadari, bahwa perasaan itu tidak mungkin hadir jika ia tidak mencintai Keira begitu dalam.
Radit terus mengendarai motor dengan keadaan hati dan pikiran yang begitu berantakan. Di balik helm yang menutupi wajahnya, tanpa diinginkan, air mata Radit menetes begitu saja. Membasahi wajah. Meluapkan penyesalan. Serta merutuki kebodohannya. . Jalanan yang biasanya terasa akrab, kini hanya terasa sunyi dan asing. Lampu merah yang menyala di persimpangan membuatnya berhenti, memberi kesempatan bagi pikirannya untuk kembali memutar adegan perpisahan mereka berulang kali. Seandainya ia bisa mengulang waktu. Seandainya ia bisa menarik kembali kata-katanya.
Namun, seandainya tidak pernah cukup.
Sesampainya di rumah Andri, Radit langsung masuk ke kamar tanpa banyak bicara. Ia mengunci pintu, memasang headset, dan menyalakan lagu dengan volume hampir maksimal. Tapi meskipun suaranya menggema di telinganya, bayangan Keira tetap tak bisa ia hapus. Volume keras sekalipun tidak bisa mengalahkan ingatannya tentang pembicaraan tadi bersama Keira.