Deep Love; Sekali Lagi Aku Mencintaimu

Rahmi Azzura
Chapter #6

Rindu yang Tak Berpulang

Radit menatap Keira dari kejauhan, seperti yang sudah berulang kali ia lakukan. Malam ini, ia kembali ke perumahan Keira, memarkir motornya di tempat yang cukup tersembunyi, memastikan bahwa Keira tidak akan menyadari keberadaannya. Namun, ia bisa melihatnya dengan jelas—dengan bantuan teropong kecil yang selalu ia simpan di dalam tasnya.

Di balkon kamar, Keira duduk diam, menatap langit. Sesekali ia melirik layar ponselnya, lalu menyekap wajahnya dengan tangan. Radit melihatnya menghapus air mata. Dada Radit terasa sesak. Awalnya, ia hanya berniat berada di sana sebentar, tetapi melihat Keira seperti itu membuatnya enggan pergi. Ia tetap berdiri di sana, membiarkan rindu dan rasa bersalah menguasainya.

Ia baru benar-benar pergi setelah melihat Keira mematikan lampu kamar—kebiasaan yang Radit hafal betul sebelum tidur. Dengan perasaan yang semakin kacau, ia mengendarai motornya tanpa tujuan. Bayangan Keira terus menari di kepalanya, bersama potongan kenangan yang tak henti-hentinya mengusiknya.

Di sebuah warung pinggir jalan yang masih buka, ia berhenti dan memesan kopi hitam. Dingin malam tidak mampu menyaingi dinginnya yang merambat di dalam hatinya. Perpisahan itu sudah berlalu cukup lama, tapi luka yang tertinggal tetap terasa nyata.

Hingga menjelang subuh, Radit memutuskan pergi ke puncak. Tempat yang selalu menjadi pelariannya setiap kali pikirannya penuh. Ia duduk di warung kecil yang buka dua puluh empat jam, ditemani secangkir kopi, wedang jahe, semangkuk mi instan, dan sisa bungkus rokok yang hampir habis.

Dari sana, ia melihat hamparan lampu kota yang berkilauan di bawah, seolah bintang jatuh ke bumi. Pemandangan yang dulu sering ia tunjukkan pada Keira. Tempat ini menjadi saksi bisu resminya hubungan mereka, menjadi saksi betapa setianya Keira mendengarkan semua keluh kesahnya. Tapi malam ini, hanya ada dirinya sendiri. Keira hanya ada dalam ingatan, dan Radit membenci kenyataan itu.

Ia tersenyum pahit. Selama ini, ia selalu mengabaikan kata-kata yang mengatakan bahwa seseorang baru akan menyadari sesuatu berharga setelah kehilangannya. Kini, ia memahami makna kalimat itu dengan segenap perih di dadanya.

Saat tiba di rumah menjelang pukul enam pagi, Radit langsung berhadapan dengan ibunya, Bu Lana, yang sedang menyiapkan sarapan.

"Sepagi ini baru pulang? Dari mana kamu semalam?" tanya ibunya, nada khawatir jelas terdengar.

Radit melepas jaketnya dan menghela napas. "Ke tempat yang bisa bikin Radit sedikit tenang, Bund. Maaf ya udah bikin Bunda khawatir."

Bu Lana mengamati wajah putranya. "Ada masalah di kampus? Sampai harus pergi menenangkan diri begitu?"

Radit terdiam. “Masalah kecil, sebenarnya. Tapi rasanya sakit banget, Bund.” Jawab Radit dalam hati.

"Nggak ada yang serius, Bund. Tenang aja." Pada akhirny, hanya kalimat itu yang mampu ia lontarkan.

Jawaban itu tak sepenuhnya dipercaya oleh ibunya, tapi ia memilih untuk tidak mendesak. Radit baru saja hendak menaiki tangga menuju kamarnya ketika suara ibunya kembali menghentikannya.

Lihat selengkapnya