Keira cukup terkejut karena mendapati Radit yang telah menunggunya di depan kedai makanan yang tadi ia pesan.
“Pesanan kamu.” Ucap Radit sambil menyerahkan kantong makanan milik Keira.
“Lho, ko ini lebih banyak dari yang aku pesan? Si mamang salah kali, nih!” kata Keira setelah memeriksa isi kantong yang baru saja Radit berikan.
“Enggak. Itu sengaja banana rollnya aku pesen lagi. Aku tahu, yang kamu pesan itu enggak akan cukup buat kamu berdua sama Amel. Udah, bawa sana!”
Bukan pergi meninggalkan Radit, Keira justru memilih untuk duduk di salah satu kursi kantin yang tersedia. Tanpa diminta, Radit mengikuti langkah Keira dan duduk di hadapannya.
“Sini tangannya yang tadi kena kopi.” Pinta Radit.
“Buat apa? Ini enggak apa-apa, kok!” tolak Keira secara halus.
Tanpa bicara apapun, Radit menarik tangan Keira dengan pelan, menggulung lengan sweeter yang Keira kenakan, lalu mengolesi salep yang sudah ia minta dari ruang unit kesehatan kampus.
“Kalau enggak segera diobati, khawatir nanti jadi luka lepuh. Kopi tadi panas banget, kan?” Jelas Radit setelah selesai memberikan salep di tangan Keira.
“Kenapa, sih Dit?”
“Kenapa gimana maksudnya?”
“Kenapa lo harus seperti ini di saat kita bukan apa-apa lagi? Kenapa lo masih bisa bersikap seperti ini ke gue?” tanya Keira dengan tatapan matanya yang tak beralih dari lengannya yang baru saja diobati.