“Aku berani sumpah aku nggak ada hubungan apa pun sama Rania! Aku cuma sayang kamu, Kei.” Ucap Radit mengiba.
Keira tetap mengalihkan pandangannya ke mana saja, asal matanya tidak menangkap wajah Radit. Walaupun Radit berdiri sangat dekat dengan dirinya, ia tetap bertahan dengan sikapnya.
“Kei, please! Percaya sama aku.” Radit masih memohon.
“Percaya sama kamu? Setelah apa yang aku lihat cukup membuktikan semuanya, iya?” Keira akhirnya menatap Radit. Tatapannya tajam, dingin, dan penuh kemarahan.
Tatapan itu membuat dada Radit terasa sesak. Selama ini, ia belum pernah melihat Keira menatapnya seperti itu—tatapan yang penuh kebencian.
“Kei, apa yang kamu lihat dan pikirkan belum tentu sama dengan kenyataan!” Radit masih berusaha meyakinkannya. “Please, Kei. Percaya sama aku.”
Ia mencoba menggenggam tangan Keira, tetapi Keira segera menepisnya dengan kasar.
“Aku nggak butuh penjelasan apa pun dari kamu!” ucap Keira tegas, lalu berbalik meninggalkan Radit tanpa memberi kesempatan lagi.
Radit mencoba menahan langkah Keira, namun gagal. Keira terus melangkah menjauh meski Radit terus memanggil namanya.
“Keira!! Tunggu!!”
♥♥♥
“Kei, Keira. Bangun, sayang.”
Suara lembut Mamanya membangunkan Keira dari mimpi buruknya. Ia terbangun dengan napas tersengal, lalu memejamkan mata sejenak, mencoba mengembalikan kesadarannya.
Mimpi? Lagi-lagi mimpi itu.
Keira menghela napas lega. Ia bersyukur apa yang baru saja ia alami hanyalah bunga tidur, meskipun rasanya begitu nyata.
“Mimpi buruk, ya?” tanya Mama, raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran.