Palembang, 2004
Mata sipit Lulu makin menyipit ketika melihat ekspresi cerah di wajah Naya, sahabatnya. Sejak tiba di rumahnya satu jam yang lalu, setelah mengikuti les tambahan di sekolah, Naya belum berubah posisi. Masih di atas kasur, sambil memeluk boneka Teddy Bear-nya. Sesekali, senyum malu terukir di sana, membuat Naya membenamkan wajah di punggung Teddy Bear dengan salah tingkah.
“Nay,” tegur Lulu, hati-hati. “Kamu kesambet jin, apa gimana, sih? Dari tadi sibuk cengar-cengir sendiri. Aku mulai takut, lho.”
Naya menggeleng, masih dengan senyum lebar di wajahnya.
Belum sempat kembali melempar pertanyaan, terdengar ketukan di pintu. “Siapa?” tanya Lulu.
“Dewa,” balas suara pelan dari balik pintu, sebelum pintu itu dibuka. Seorang lelaki berperawakan tinggi, tetapi dengan tubuh yang terlalu kurus untuk ukuran tinggi badannya, muncul di ambang pintu. Dewa, adik Lulu satu-satunya, baru akan melangkah masuk. Ketika melihat sosok Naya, dia mengurungkan niat. “Nanti aja,” ucapnya buru-buru, segera berbalik pergi dan kembali menutup pintu. Lulu masih sempat melihat rona merah muncul di wajah cowok itu.
“Kenapa tuh, anak?” gumam Lulu. Dia kembali menghadap Naya, dan dahinya makin berkerut melihat rona yang sama ikut muncul di pipi Naya. “Mukamu kenapa ikutan merah?”