Jakarta, 2004
Kinara Gayatri Adiharja menatap script yang sudah ditulis untuknya oleh tim kreatif. Hari ini dia kembali membawakan acara Pekan Kuliner, meliput acara yang disponsori oleh salah satu perusahaan yang memproduksi kecap.
“Wih, serius nih gue sama Anggara Bhisma?” Naya mengangkat kepala dari kertas di tangannya dengan tidak percaya. Anggara Bhisma adalah seorang chef muda, baru berusia 22 tahun, dan sedang terkenal berkat acara reality show lomba masak tempat dia menjadi salah seorang jurinya. “Gue pikir lo semua bercanda kemarin! Beneran hari keberuntungan banget, ye. Udah bisa makan enak, bareng berondong lucu pula. Duh ….”
“Inget diri, Nay. Terakhir lo heboh makan banyak, nginep semalam di UGD, kan, gara-gara lambung lo sakit. Jangan sampai keulang,” pesan Aisa, pemimpin redaksi lapangan.
“Kalem, lah, Is. Gue tahu, kok, kemampuan nih perut.” Naya menepuk pelan perutnya.
Aisa geleng-geleng kepala. “Lo kayaknya cacingan deh, Nay. Udah makan lebih heboh dari rombongan kuli bangunan, masih aja kerempeng gitu.”
“Sialan lo!” dengus Naya, lalu mencibir. “Bilang aja ngiri, nggak bisa makan sebanyak gue.”
Aisa mengibaskan rambut sepunggungnya. “Gue sih, anggun. Nggak barbar kayak lo.”
“Buset deh, nih dua cewek nggak bisa apa ya, damai sehari?” Bagas, salah seorang kamerawan yang rutin menjadi partner Naya, memotong perdebatan mereka. “Nanti saling kangen, lho.”
Ekspresi sebal Aisa berubah. “Ah, iya nih Naya. Tiba-tiba bilang mau resign. Udah ngajuin surat pengunduran diri pula.”
“Ya gimana. Gue udah suka sama acara ini, tapi penonton nggak, sampai rating-nya turun terus dan Pak Bos kita milih ganti acara.”
“Lo ditawarin acara lain, kan? Kenapa nggak diterima?” Aisa masih tampak tidak rela kalau Naya akan benar-benar berhenti. Meskipun sering adu mulut, tetapi hanya Naya yang bisa bersikap santai menghadapi tingkah galak Aisa kalau sudah di lapangan tanpa maksud merendahkan. Hanya Aisa pula yang bisa mengimbangi tingkah Naya. Selain Lulu yang sudah dikenal Naya sejak SMA, baru Aisa yang tidak mengerutkan dahi setiap dia mulai mengeluarkan ide ajaib di setiap acara mereka.
“Nggak, ah.” Naya sedikit merendahkan suaranya. “Lo tahu sendiri gue udah lama pengin resign. Satu-satunya yang bikin bertahan ya, acara ini. Pas Pak Bos bilang kalau Pekan Kuliner bakal diganti acara lain, gue anggap itu tanda kalau gue udah nggak bisa di sini lagi dan harus move on.”
“Move on dengan balik ke kota asal sama kayak ngaku move on, tapi balikan sama mantan,” cibir Aisa, yang hanya dibalas Naya dengan seringai lebar.
“Berarti, ini hari terakhir lo, ya?” tanya Bagas.
Naya mengangguk. “Lagian, gue juga udah capek. Pengin istirahat.”
“Gaya lo!” Aisa menjitak pelan kepala Naya. “Baru juga dua tujuh, sok mau pensiun.”
Naya mengusap pelan kepalanya. “Emangnya elo, udah jadi robot sampai nggak ngerasain apa-apa lagi. Seneng udah nggak, sebel juga nggak. Datar aja. Mana enak kerja begitu! Kata emak gue, kalau kerjaan udah nggak bikin minat lagi, mending mundur. Cari yang lain.”
“Cari kerja, kan, nggak gampang, Nay,” Bagas mengingatkan.
“Emang. Makanya gue nggak pengin cari kerja lagi.”
“Udah mau kawin ya, lo?” tebak Aisa. “Bukannya lo baru putus dari aktor FTV itu?”
Naya hanya mengedipkan sebelah matanya sebagai jawaban. “Tenang aja. Kalau beneran kawin, gue pasti ngundang kalian, kok. Sekarang, mending fokus aja sama acara terakhir gue ini. Apa yang perlu gue makan? Coto Makassar? Bubur Manado? Tape ketan?”
“Iler lo noh, lap dulu!” omel Aisa. “Ya udah, gue lihat dulu persiapannya Anggara. Lo jangan aneh-aneh!” pesannya, sebelum meninggalkan Naya.
Naya kembali membalasnya dengan cibiran. Kemudian, dia tersenyum kecil melihat kesibukan persiapan syuting acara hari ini. Dia memang sudah bosan dan lelah dengan semua aktivitas di sini. Sebagai presenter acara kuliner, menyenangkan baginya bisa mencicipi banyak makanan dari berbagai daerah, sesuai hobinya. Namun, lama-kelamaan semua itu sudah tidak menarik lagi. Sudah lama hatinya ingin berhenti, tetapi terus dipaksa. Kali ini, Naya tidak mau memaksakan diri lagi. Setelah acara ini, dia resmi mengundurkan diri.
Tidak munafik, begitu mendengar kabar kalau rating acara yang dibawakannya ini terus turun, ada bagian dirinya yang merasa sangat kecewa. Entah apa yang salah. Timnya sudah sering membuat perubahan demi memancing penonton, yang awalnya dia hanya membawakan acara sendirian, sekarang ditambah mengundang bintang tamu dari kalangan selebritas. Satu bulan sekali mereka juga bekerja sama dengan selebritas chef dan sesekali chef profesional, tetapi tetap saja sia-sia. Begitu bosnya bilang kalau acara ini tidak bisa lagi diteruskan, dia seperti mengalami patah hati parah untuk kali kedua. Itulah yang membulatkan tekadnya untuk pergi.
Seperti yang seharusnya dilakukan orang patah hati, satu-satunya jalan untuk sembuh adalah move on. Itu yang sedang dia coba lakukan. Menyusun lagi hidup dari awal memang terdengar sedikit menakutkan. Setidaknya, berada di sana dan kembali ke tengah keluarga setelah semua keruwetan yang dilihatnya di Jakarta akan lebih menenangkan, daripada dia tetap berada sendirian di sini dan tidak melakukan apa-apa.
Panggilan Aisa bahwa syuting akan segera dilangsungkan telah membuyarkan lamunan Naya. Naya menghela napas pelan, kemudian berdiri. Dia akan melakukan yang terbaik hari ini. Lebih dari syuting sebelumnya. Supaya apa yang bosnya lihat sebagai acara terakhir mereka, juga akan menjadi acara terbaik yang diberikannya.
***
Naya tersenyum lebar ketika pesawat yang ditumpanginya mendarat di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II, atau yang lebih sering disebut Bandara SMB II. Begitu turun dari pesawat, hal pertama yang dilakukannya adalah mengirim pesan kepada Ibu dan Damar, kakak laki-lakinya yang menjemput di bandara.