Sydney, 2004
Suasana gelap menyambut Sadewa saat membuka pintu apartemen, menandakan teman serumahnya belum pulang. Dia melempar rentengan kunci dan chef jacket di sofa ruang tamu, seraya melangkah menuju dapur. Berbagai post-it baru memenuhi pintu kulkas, tetapi Dewa mengabaikannya. Dia lapar. Hal pertama yang ingin dilakukannya adalah membuat makan malam enak, mandi, dan pergi tidur, bukan membaca rentetan post-it. Chicken rolade yang dibuatnya kemarin malam masih ada. Dewa mengendusnya, mengangkat bahu, kemudian memasukkan makanan itu ke microwave. Dia tengah menunggu makan malamnya selesai dipanaskan ketika mendengar pintu depan dibuka.
“Again?!”
Dewa duduk di kursi bar, menghadap ke microwave, mengabaikan gadis yang baru masuk.
“I’m sick of this, Sadewa.” Gadis itu melemparkan kunci dan chef jacket Dewa ke atas meja bar. “Apa susahnya, sih, naruh barang kamu di tempat yang benar?”
Dewa memutar kursi bar, menghadapi wajah geram gadis itu. “Seharusnya kamu pikirin itu sebelum mindahin barang-barangku ke sini tanpa izin.”
Gadis itu, Ava, memutar bola matanya dengan kesal. “Itu terus yang kamu bahas tiap aku tegur supaya lebih teratur.”
Dewa mengangkat bahu, kembali menghadap microwave.
Ava menggantung mantelnya. Sambil mengucir rambut pirang stroberinya yang sepanjang punggung, dia terus berbicara. “Kita sama-sama kerja sampai malam, Wa. Aku cuma minta nggak ada barang berantakan di mana-mana.”
Bunyi “ting” dari microwave lebih dulu terdengar, sebelum Dewa menanggapi omelan Ava. “Mau rolade ayam?”
“Bisa, nggak sih, sekali aja, kita ngobrol layaknya pasangan normal?” Ava menghela napas lelah. Dia menduduki kursi bar, berhadapan dengan Dewa yang tampak lebih tertarik dengan rolade ayam daripada dirinya.
Dewa melirik gadis itu sekilas, sebelum kembali pada ayamnya.
Ava merebut piring dari hadapan Dewa, membawanya ke bak cuci piring, dan menjatuhkannya di sana. Dia melipat tangan di depan dada, menunggu reaksi Dewa.
Dewa hanya menatapnya tanpa suara, tetap dengan wajah datar, membuat Ava harus menahan diri untuk tidak berteriak frustrasi.
“Kamu benar-benar niat pulang? Aku dapat laporan kalau kamu nggak perpanjang kontrak di Desire for Food.” Ava menatap Dewa tidak percaya. “Are you insane? Kamu salah satu patissier andal di sini, Wa. Berhasil gabung di fancy restaurant! Mau ngelepas semuanya gitu aja dan mulai lagi dari nol? Demi apa? Buka bakery?”
“Kita udah pernah bahas ini.” Dewa berbalik menuju lemari built in, mengambil kotak sereal dari salah satu rak, dan mangkuk plastik, kemudian mengeluarkan susu cair dari kulkas.
“Kita di Sydney, kalau-kalau kamu lupa. Astaga ….” Ava kembali mengitari meja dapur dan berdiri di depan Dewa. “Kita hampir punya segalanya di sini. Apa, sih, yang ada di otak kamu?”
“Sesuatu yang nggak ada di pikiran kamu?” balas Dewa.
“Jelas! Di antara kita berdua, cuma aku yang waras.”
Dewa menghabiskan serealnya dengan cepat, sebelum Ava mengambil mangkuk dan membuang makanannya lagi.
“Please, think again,” Ava merendahkan suaranya. Dia meraih tangan Dewa, menggenggamnya. “Jangan hancurin hidup kita di sini.”
Dewa menghela napas. Dia menyingkirkan mangkuk yang sudah kosong. Tangannya berputar, balas menggenggam tangan Ava. “I can’t do this anymore. I’m not belong here. It’s not my place.”
“What are you talking about?”
“Aku ngerasa asing sama semuanya, Va. Aku capek.”
“Kita kerja, wajar capek.”
“Bukan ini kerja yang aku mau. Kamu tahu itu.”
“Semua chef waras bakal girang banget kalau bisa ada di posisi kamu sekarang.”
“Ya udah, anggap aku emang nggak waras.” Dewa melepaskan tangan Ava. Dia mencuci semua piring kotor di bak cuci piring, mengelap tangannya, lalu melangkah menuju kamar.
“Aku tahu kenapa kamu ngotot pulang.”
Dewa mengenal nada itu dengan baik. Ava bukan tipe gadis pencemburu meskipun banyak perempuan yang mengelilinginya. Hanya satu wanita yang bisa membuat gadis itu uring-uringan setengah mati. Padahal, dia belum pernah melihat wanita itu secara langsung. Saat nada suaranya sudah berubah ketus dan dingin seperti itu, Dewa tahu apa yang akan dibahas Ava selanjutnya.
“For your information,” Dewa memulai, “dia nggak di sana. Dia udah pergi ke kota lain. Apa pun kecurigaan kamu, nggak beralasan sama sekali.”
Ava mendengus keras. “See? Kamu langsung jadi defensif, padahal aku belum ngomong apa-apa.”
“Aku capek. Can we talk tomorrow?”
Ava menyambar tasnya dari meja dapur, berderap ke sisi berlawanan, menuju kamarnya sendiri. “Yeah. Talk to my ass tomorrow.” Gadis itu menutup pintu dengan debam keras.
Dewa juga masuk ke kamarnya, dan mengunci pintu.
***
Ava terbangun, mendengar suara berisik dari luar kamar. Dia menarik bantal menutupi kepala. Apa lagi yang dilakukan Dewa sepagi ini? Matahari bahkan belum terbit sepenuhnya, mengingat cahaya yang masuk ke kamarnya masih remang.
Keributan di luar berlangsung selama kurang lebih sepuluh menit, sebelum akhirnya kembali hening. Walaupun masih ingin tidur, Ava tahu dia tidak akan bisa terlelap lagi kalau sudah terbangun, apalagi karena kaget. Dia menyingkirkan selimut, turun dari kasur, dan memakai mantel kamar. Saat membuka pintu kamar, dia melihat Dewa tengah berkutat di dapur.
Ava menyandarkan bahu di ambang pintu, mengamati Dewa sambil melipat tangan di depan dada. Dewa masih mengenakan kaus putih polos dan celana pendek bergaris. Rambut keritingnya, yang sudah menyentuh leher, tampak berantakan, ditahan dengan bandana hitam. Punggung bidangnya bergerak, seiring apa yang dilakukannya di sana. Pemandangan Dewa tengah bekerja di dapur tidak pernah membuat Ava bosan.
Dewa berbalik untuk meletakkan hasil masakannya di meja bar. Saat mendongak, pandangan mereka bertemu. Ava menahan diri tetap diam. Dia masih kesal dengan lelaki itu dan tidak mau berbaik-baik sekarang. Benar-benar sulit, ketika Dewa menyunggingkan senyum tipis, yang selalu berhasil membuatnya luluh. Lesung pipit di wajah lelaki itu tampak memesona, seperti biasa, membuat Ava makin sebal dan berjuang lebih keras menahan diri agar tidak menghambur memeluk lelaki itu, meninjunya sekali, kemudian mengecup pipinya.
“Pagi,” sapa Dewa. Dia membawa piring berisi tumpukan pancake, menghampiri Ava. “Sarapan?”
“No morning kiss for me?”
Dewa menggelengkan kepala, masih dengan senyum tipisnya, seraya berjalan menuju ruang tamu. Ava mengikutinya. Dewa meletakkan piring di meja bundar, yang sudah diletakkan dekat jendela, dengan dua kursi makan. Tirai jendela sudah dibuka, menampakkan pemandangan fajar Sydney Harbour yang menawan. Sunrise tampak mengintip malu-malu, sementara tetes embun masih membasahi kaca jendela di samping mereka.