Alika meremas ujung tasnya. Ia merasa tegang dan grogi duduk di dalam mobil abangnya. Ini adalah hari pertamanya sekolah di SMA Merdeka. Sebelumnya, ia adalah siswi di sebuah SMA yang ada di Bandung. Karena harus mengikuti kepindahan orang tuanya, ia pun pindah ke SMA di Jakarta.
Saat ini, Alika memikirkan berbagai macam hal yang mungkin terjadi di sekolah barunya nanti. Hal-hal yang sering dibacanya dalam cerita-cerita remaja tentang anak baru berseliweran dalam pikirannya. Apakah ada yang mau berteman dengannya? Apakah ada yang tidak suka kepadanya? Apakah ada yang akan berbuat jahat kepadanya? Serta sederet pikiran buruk lainnya.
Bang Adit melirik Alika. Ia langsung menyadari kegelisahan adik ceweknya itu. Ia pun berusaha untuk menghibur Alika. “Nggak usah tegang, Dek. Kalo ada yang berani macam-macam sama lo, bilang aja sama gue!”
Alika menoleh ke arah Bang Adit. Ia tahu, Bang Adit mengkhawatirkannya. Sedikit perasaan lega menghinggapinya. Namun, ia tetap saja masih merasa cemas.
“Iya, Bang, tapi tetep aja takut. Gue, kan, anak baru, Bang. Nanti kalo Gue ada salah sedikit aja, pasti langsung di-bully.”
“Nggak akan! Selama ada Abang di sini, Abang selalu siap mati-matian belain lo, Dek! Tenang aja!”
Alika tersenyum menatap abangnya. Dia yakin Bang Adit nggak bakal berhenti meyakinkan dirinya sampai ia tenang. “Iya gue percaya. Makasih ya, Bang!”
“Nah, gitu dong! Senyum. Kan, cakep!” goda Bang Adit.
“Ih, apaan sih, Bang!”
Sampai di sekolah, Bang Adit memarkir mobilnya dan membukakan pintu untuk Alika.
“Sok sweet lo, Bang! Nanti ada pacar lo lihat, beuh, abis dah gue!”
“Gue walau ganteng gini nggak punya pacar, Dek!” ucapnya.
“Nah loh kenapa? Lo nggak laku? Atau, jangan-jangan Abang suka sama cowok lagi, nih!”
“Sialan!” kesalnya, lalu meninggalkan Alika di parkiran mobil.
Alika hanya tertawa kecil melihat sikap abangnya itu. Lalu, Alika pun mengejar abangnya. Alika terus berlari kecil untuk menghampiri abangnya, tetapi langkah kaki Bang Adit sangat berbeda dengan Alika. “Dih, Abang jangan ninggalin gue! Gue, kan, nggak tahu sekarang harus ke mana. Gue bingung tahu!”
Akhirnya, Bang Adit menghentikan langkahnya. Ia berbalik ke arah Alika sambil mengembuskan napasnya. “Ya, udah. Ayo ke Ruang Kepala Sekolah sama gue!” ucap Bang Adit. Alika pun menganggukkan kepala dengan semangat.
Selama Alika berjalan bersisian dengan Bang Adit, banyak siswa-siswi memperhatikannya dari atas hingga bawah. Ada yang berbisik, ada juga yang menyapa Bang Adit. Apa seterkenal itu Bang Adit di sekolah ini?
Bang Adit memang sejak awal sudah sekolah di SMA ini. Setelah kedua orang tua mereka pindah tugas dari Bandung ke Jakarta, barulah Alika menyusul abangnya ke sekolah yang sama. Bang Adit tidak pernah cerita soal ketenarannya di sekolah. Namun, bila melihat reaksi orang-orang yang mereka lewati, sepertinya Bang Adit cukup populer di sini.
Setelah sampai depan Ruang Kepala Sekolah, Bang Adit mengetuk pintu Ruang Kepala Sekolah dan menunggu sampai mereka dipersilakan masuk.
“Masuk.” Terdengar suara seorang wanita dari dalam, lalu Alika dan Bang Adit masuk ke Ruang Kepala Sekolah.
“Bu Lili, ini adik saya yang baru pindah dari Bandung,” ucap Bang Adit dengan sopan.
“Oh, Alika ya namanya? Silakan kalian duduk dulu,” ucap Kepala Sekolah.
Kriiinggg ....
“Sudah bel masuk. Adit, kamu masuk ke kelas kamu saja, biar adikmu bersama Ibu,” ucap Bu Lili selaku Kepala Sekolah.
Setelah Bang Adit keluar dari Ruang Kepala Sekolah, kini hanya Alika dan Bu Lili di ruangan itu. Alika merasa ketegangan makin menyelimuti dirinya. Tak lama, Alika dan Bu Lili melewati koridor sekolah yang sepi karena kelas sudah dimulai. Alika dan Bu Lili pun masuk ke kelas XI IPA 1.
Saat Alika dan Bu Lili masuk ke kelas, semua orang menatap Alika. Para cowok menatap Alika kagum, sedangkan beberapa cewek menatap Alika dengan tatapan tak suka. Tetapi, Alika tak menghiraukannya.
“Anak-anak, hari ini kalian punya teman baru, pindahan dari Bandung. Ibu harap kalian bisa berteman baik dengannya,” ucap Bu Lili.
“Saya permisi dulu ya, Bu Nina,” ucap Bu Lili. Bu Nina menganggukkan kepala sambil tersenyum. Lalu, Bu Nina yang berdiri di samping Alika mulai membuka suaranya.
“Oke! Sekarang, silakan perkenalkan diri,” ucap Bu Nina dan kelas pun hening seketika.
Alika menahan napasnya dan memulai memperkenalkan diri. “Nama saya Alika Fasya, panggilan saya Lika. Saya pindahan dari Bandung. Saya harap, saya bisa berteman baik dengan kalian,” ucap Alika dengan gugup.
“Oke. Terima kasih, Alika. Ada yang ingin bertanya kepada Alika?” tanya Bu Nina.
Tiba-tiba kelas XI IPA 1 yang awalnya tenang, langsung ribut, terutama para cowok.
“ID Line, dong, Alika.”
“Udah punya pacar, belum?”
“Nomor sepatu, dong?”
“Lika rumahnya di mana?”
“Pin BBM, dong!”
“Nama Path atau Instagram gitu?”
“Sok cantik.”
“Nanti ke kantin bareng, ya!”
“Jalan, yuk!”
“Alikaaaaaa aku padamu ….”
“Eh, sudah sudah! Kalian ini ya, disuruh bertanya malah ribut nggak karuan. Ya sudah, Alika sekarang kamu duduk di bangku paling belakang, ya. Nggak apa-apa, kan?” ucap Bu Nina.
“Nggak apa-apa kok, Bu,” ucapnya sambil tersenyum dan Alika langsung melangkahkan kakinya ke kursi yang ditentukan oleh Bu Nina.
Alika menduduki kursinya dan membuka tas untuk mengambil buku. Tiba-tiba, suara knop pintu terbuka dan semua siswi di kelas baru Alika berteriak, kecuali Alika karena ia tak tahu apa-apa. Akhirnya, Alika melihat ke arah pintu itu dan ternyata yang datang adalah seorang cowok yang juga berseragam putih abu-abu.
Cowok itu jangkung dan putih. Seragamnya sangat berantakan. Meski demikian, tampilannya yang sangat berantakan itu tak mampu menutupi ketampanan wajahnya. Mata cokelatnya yang dibingkai alis tebal mampu membuat wanita tak berkedip.
“Ya ampun ganteng banget,” gumam Alika pelan.
“Maaf, Bu, saya telat,” ucap cowok itu sambil tersenyum.
“Waduuuhhh ... yang punya sekolah baru dateng, hebat!!!” ucap salah seorang siswa yang ada di kelas Alika, dan seisi kelas menertawakannya.