Pagi harinya, Bunda menyuruh Adit yang baru saja selesai mandi untuk membangunkan Alika. Adit ke kamar Alika dan mengguncang pelan tubuhnya. Alika hanya membuka matanya sedikit, menarik selimut, memunggungi Adit, dan kembali tidur. Beberapa kali Adit berusaha membangunkannya, tetapi reaksi yang ia dapat sama. Adit hampir menyerah, lalu ia melihat sekeliling kamar Alika. Lalu, senyum jail mengembang di bibirnya.
Adit mengambil jam dinding yang ada di kamar Alika dan mengubah jarum jamnya. Lalu, ia melakukan hal yang sama pada jam beker milik Alika. Tak lupa ia menyetelnya tepat satu menit ke depan. Lalu, ia kembali meletakkan jam beker itu di dekat telinga Alika. Setelah selesai dengan rencananya, Adit pun keluar dari kamar Alika dan melanjutkan bersiap-siap.
Kringggggg.
Alika menekan tombol di jam beker itu. Setengah sadar, Alika melihat ke arah jam kecil itu. Alika terkejut. Lalu, tatapannya segera beralih ke arah jam dinding untuk memastikan apa yang dilihatnya tak salah. Jarum jam di dinding pun menunjukkan pukul enam lewat tiga puluh.
“Hah!!! Setengah tujuh! Gawat gawat gawat!”
Alika pun segera mandi seadanya dan memakai seragamnya dengan buru-buru.
“Aduh, Bunda bisa marah besar ini.”
Setelah selesai bersiap-siap, Alika pun menuruni anak tangga menuju ruang makan. Di ruang makan, Bang Adit dan Papa tengah asyik melahap sarapannya.
Alika langsung menarik tangan abangnya. “Abang, ayo jalan, udah telat!”
Adit hanya menatap Alika dan berkata, “Telat apanya? Tuh, lihat jam dinding.”
Alika pun menoleh ke arah jam dinding yang dimaksud, dan ternyata masih pukul enam lewat sepuluh.
Alika pun curiga dengan abangnya ini. “Pasti Abang, deh, yang ngelakuin ini semua.”
Awalnya Adit akan memasang tampang polos menanggapi Alika. Namun, ia tak kuasa menahan tawanya dan membuat Alika yakin bahwa dugaannya benar.
“Abang parah, ya. Gue sampai buru-buru mandi, nih!”
Bang Adit hanya tertawa dan berkata, “Hahaha ... makanya jadi cewek jangan kebo!”
“....”
“Udah, nggak usah ngambek, mau berangkat bareng, nggak? Kalo nggak mau, Abang jalan duluan, ya. Dahhh ...,” ucap Bang Adit yang langsung pamit dan pergi ke mobilnya.
Alika yang melihat Bang Adit beranjak pergi menuju mobilnya, langsung mengambil setangkup roti bakar, lalu pamit kepada bunda dan papanya.
“Abang, tunggu ....”
Selama di jalan, Alika hanya menghabiskan sarapannya dan diam melihat ke luar jendela.
“Dek, udah sampai, nih!”
“Eh, udah sampai, ya?”
“Hahaha … makanya jangan mikirin Dika terus. Nanti juga ketemu, sabar aja, sih!”
“Ha? Terserah lo deh, Bang. Oh, iya, nanti pulang sama gue, kan? Parah aja kalo nggak bareng lagi.”
“Iya, Dek.”
Lalu, Alika keluar dari mobil Bang Adit dan berjalan menuju kelasnya. Saat Alika membuka pintu kelasnya dan berjalan masuk, tiba-tiba .…
Bruuughhh ....
“ALIKAAAAAA ....”
Semuanya menjadi gelap.
Ketika tersadar, Alika sedang berada di UKS dengan Dika.
“Alika? Akhirnya bangun juga lo,” ucap Dika. Wajahnya tampak sangat lega melihat Alika membuka matanya.
“Kok, lo ada di sini? Bang Adit ke mana?” tanya Alika sambil mengedarkan pandangan mencari sosok abangnya.
“Dia masuk kelas. Dia nyuruh gue buat nemenin lo sampai lo sadar,” ucap Dika sambil memegang tangan Alika secara tiba-tiba.
Deg ...!
Boleh melayang, nggak? batin Alika.
Dika yang melihat wajah Alika sangat tegang itu, menyunggingkan senyumnya dan berkata, “Jangan terbang dong, nanti atap sekolah jebol gimana? Ck.”
Dia, kok, bisa tahu isi hati gue, ya? batin Alika.
Alika hanya menahan senyumannya yang hampir merekah.
Alika pun menepis tangan Dika dan berusaha bangun dari ranjang UKS. “Ish, Dik, apa sih. Udah, ah, gue mau ke kelas.”
“Yakin lo udah nggak apa-apa? Ya udah, ayo kita ke kelas,” ucap Dika sambil membantu Alika pergi ke kelas.
Selama di koridor menuju kelas, Alika hanya diam. Tiba-tiba saja Dika merangkul pundak Alika.
Alika sangat terkejut karena perbuatan Dika. Dia langsung menatap Dika. Tetapi, Dika dengan santai hanya berkata, “Jangan ge-er, ini biar lo nggak jatuh aja.”
“Sebenernya gue itu kenapa, sih, Dik? Kok, gue tiba-tiba ada di UKS.”