Angin berhembus pelan menyapa tubuhku yang terduduk di sebuah bangku taman menatap ke arah langit yang mulai menampakkan senyum senja berwarna jingga yang menyentuh jiwa.
Suasana hangat di sore hari memang yang di butuhkan olehku yang selalu sibuk dengan pekerjaan di tengah padatnya hiruk-pikuk kota Makassar.
"Eh Fiz? Gak pulang? Udah mau Maghrib nih," sapa Zaky yang tanpa ku suruh telah duduk di sampingku.
Zaky adalah sahabatku sejak kecil, dia selain humoris dan konyol tapi juga bisa memberiku inspirasi di kala rasa gundah, resah, dan gelisah menerpa jiwa yang mulai rapuh akan kejamnya dunia di saat ini.
Pria dengan logat dan Aksen Makassar kentalnya itu memang selalu berkata bahwa. "Hidup itu cuma sekali, jadi nikmati saja dengan rasa bebas dan bernapas lega walaupun itu hanya menatap matahari yang terbenam, simple tapi itu adalah cara termudah untuk bahagia," Renungan kata-kata indah dari pria konyol yang kini ada di sampingku itu selalu memotivasi diriku sampai saat ini.
"Lagi pengen nikmatin senja yang akan berlaku membawa cerita dari para manusia yang di lihatnya hari ini," jawabku sembari merangkul pundak sahabatku itu.
"Ngapain nungguin senja? Senja hanya tersenyum setiap saat namun tak pernah menampakkan raut wajahnya," ujar Zaky kembali yang membuatku menatapnya sekilas.
"Senja takkan tahu bahwa kita selalu menunggunya untuk melepas lelah dan sedikit bernapas lega, seperti kata-katamu dulu kan?" tukasku yang kembali memusatkan pandanganku ke langit yang mulai merah kecoklatan.
Perlahan ku tatap raut wajah dari Zaky yang mulai berubah sendu dan menundukkan kepalanya serta sesekali mengusap air matanya yang jatuh dari sudut kedua bola matanya.
Aku yang melihat hal itunhanya tersenyum kecil dan memukul kecil pipi Zaky yang mulai mendongkakkan kepalanya menatap lurus ke depan.
"Edede! Menangiki," ejekku sembari tertawa kecil.
"Aku kelilipan tadi," jawab Zaky berusaha menyembunyikan kesedihannya.
"Kalau nangis bilang ajalah ngapain malu," ujarku kembali menepuk pundak Zaky.