“Tiada seorang Muslim yang ditimpa musibah, lalu ia mengatakan apa yang diperintahkan Allah, (yaitu), ‘Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji‘ûn, Wahai Allah, berilah aku pahala pada (musibah) yang menimpaku dan berilah ganti bagiku yang lebih baik darinya’; kecuali Allah memberikan kepadanya yang lebih baik darinya.” (HR Muslim)
Hatiku riang gembira. Akhirnya tabunganku cukup untuk menyewa flat yang lebih besar untuk menyambut kedatangan istri dan kedua anakku tercinta. “Ah, Hafsya ..., akhirnya kita berkumpul bersama sebagai sebuah keluarga,” bisikku sendirian seraya membereskan barang-barang ke dalam dus, siap diangkut menuju flat yang baru.
Meski badanku lelah karena kesibukan kuliah, ditambah aktivitas beres-beres ini, semangatku membuncah. Sungguh tak sabar rasanya menjemput Hafsya dan kedua anakku. Tak sabar aku untuk bergegas mengecup kening istriku, melihat pipinya yang bersemu merah, dan binar-binar di matanya atau senyuman malu-malunya setiap kami tengah kasmaran.
Tak kuasa juga aku menahan rindu kepada kedua buah hatiku. Apalagi anak keduaku lahir tanpa aku saksikan, karena aku masih studi S2 di Kanada. Ah, semoga anak pertamaku menyadari bahwa aku ini ayahnya saat aku menggendongnya nanti. Maklum saja, dia kutinggalkan saat masih kecil sekali.
“Wait for me, Baby. I’ll be coming home and bring you here with our kids too.” Aku bersenandung dengan nada dan irama yang kacau balau. Kemudian, aku tersenyum sendirian. Ah, biarlah disangka gila, gila mengekang rindu setelah sekian lama terpisahkan dari belahan jiwa dan buah hati.
Handphone yang terletak di atas meja belajarku berbunyi.
“Halo?” sapaku singkat, sambil melipat beberapa berkas yang masih kupertimbangkan akan dibuang atau disimpan.
“Assalamu ‘alaikum, Halim? Ini Mbak Nazlah,” sahut suara di sana.
Oh, telepon dari kakakku di Indonesia.
“Wa ‘alaikum salam, Mbak Nazlah. Apa kabar?”
Suara Mbak Nazlah seperti tercekat di tenggorokan.
“Halim, Mbak telepon membawa kabar buruk untukmu, yang tabah, ya ....”
“Ada apa, Mbak?” potongku langsung, curiga dengan nada suaranya.
Mbak Nazlah menghela napas panjang. “Hafsya, istrimu ..., kecelakaan.”
“Apa?!” Aku teriak. “Kecelakaan apa?!” Aku panik luar biasa. Berita ini bagai petir di siang bolong bagiku.
“Halim ....”
“Bagaimana keadaannya? Bagaimana bisa kecelakaan, Mbak? Katakan padaku, Mbak.” Aku tidak sabar. Dadaku tiba-tiba berdegub tak beraturan.
“Istighfar dulu, Lim .... Sabar .... Ini Mbak baru mau ngomong sama kamu.”
Belum-belum air mataku sudah berderai. Kalau keadaannya tidak gawat, kakakku tidak akan bertingkah semacam ini.
Allah ..., selamatkan Hafsya ... selamatkan belahan jiwaku itu ....
“Istrimu tabrakan. Sebaiknya kamu pulang ke sini.”
“Iyaaa ... aku pasti pulang, tapi ... bagaimana keadaannya, Mbak?”
“Kurang begitu baik, Lim .... Berdoalah .... Semua menjadi mungkin bila Allah berkehendak. Kami tunggu kamu di Jakarta, ya. Cepat pulang ya, Lim.” Mbak Nazlah menyudahi teleponnya dengan begitu cepat.
“Mbak …!” panggilku. Namun, telepon sudah terputus.
Telepon terjatuh. Tubuhku langsung menyandar ke din-ding, kemudian merosot ke bawah. Pikiran buruk sesegera mungkin berkecamuk tidak beraturan. Beragam gambaran mengerikan menghantuiku.
“Hafsya ... jangan tinggalkan akuuu ....” Aku menangis lirih.
Jumat sore di Kanada ini menjadi sore yang kelabu bagiku.
Tanpa terasa tangisku telah membuang waktu beberapa lama. Aku tersentak dan tanpa pikir panjang langsung menelepon Jessica, staf universitas yang menangani overseas students. Semoga dia masih ada di kantornya karena waktu telah menunjukkan pukul 17.30. “Jessica? It’s me, Halim,” serbuku, setelah dia mengangkat telepon. Aku mengenal suaranya. “Yes, Halim? Hey ... what’s up? Your voice sounds scary?” “Jessica, I’ve to go to Indonesia. My wife got car accident, please help me.” Aku tak mampu menyembunyikan tangisku. Jessica termangu beberapa saat, kemudian memintaku datang ke kampus. Aku bergegas menuju kantor Jessica di Center of International Student Office. Air mataku tak mau berhenti keluar. Berkali-kali aku mengusap mataku, namun tak jua air mata itu mau diajak kerja sama untuk berhenti sesaat saja. Aku terlalu khawatir dan terlalu ketakutan.
Allah ... selamatkan Hafsya-ku. Aku mohon.
Doa itu kupanjatkan berkali-kali. Disertai zikir dan puji-pujian nama-Nya, juga shalawat Nabi Muhammad Saw.
Wajah Hafsya terbayang di pelupuk mata. Senyumnya, tatapan mesranya, belaian lembutnya, kata-kata penyejuk hatinya.
Oh, tidak. Jangan tinggalkan aku, Hafsya ….
Sungguh aku suami tak tahu diri karena telah meninggalkanmu sendirian bersama anak-anak selama ini. Egois sekali aku! Egoiskah aku?
Kini kau terbaring di rumah sakit, menderita kesakitan dan aku belum bisa memeluk tubuhmu agar hangat. Aku belum bisa mengecup dahi dan pipimu sebagai bukti rinduku. Aku belum bisa menggenggam tanganmu sebagai penunjuk perlindunganku.
Kakiku rasanya lemas. Kalau terbawa emosi kesedihan ini, pastilah aku telah pingsan, pastilah kakiku kaku di tem-pat dan tak mau melanjutkan langkah karena aku teramat takut menghadapi fakta ini. Fakta yang belum pasti. Mbak Nazlah kurang mau terbuka mengenai keadaan Hafsya yang sebenarnya. Itulah yang membuatku bertanya-tanya dan berprasangka berlebihan.
Pintu ruangan Jessica terbuka dan aku langsung masuk.
Jessica agak terkejut melihat mataku yang merah, sembap, dan membengkak.
“Halim, how’s your wife’s condition?” dia bertanya dengan ragu-ragu.