Rumahku hening.
Aku mencari kedua anakku. Dua-duanya sedang tidur. Langsung kupeluk dan kukecup mereka. Anak pertamaku langsung menangis karena merasa disentuh oleh orang asing. Ah, rupanya dia tak ingat bahwa aku ayahnya. Anak keduaku yang masih bayi, tentu belum mengerti siapa diriku. Dia masih terlelap kala kukecup. Mereka ditemani oleh beberapa orang saudara di rumahku. Aku tak memedulikan tangisan anak sulungku. Tetap kupeluk dan kuciumi dia sambil menangis. Kupeluk anakku itu dengan pelukan lembut seorang ayah sambil kubelai kepalanya. Sungguh pertemuan dengan anakku itu amat mengharukan. Pelukan erat itu serasa menjadi obat pele-pas rindu. Beberapa saudara yang tinggal di rumahku untuk menemani anak-anak, menawariku makan dan minum. Namun kutolak. Akhirnya, aku hanya meminum segelas teh manis hangat yang dibuatkan untukku.
“Terima kasih,” kataku kepada Sabihah, sepupuku.
Setelah seorang tanteku membantu menidurkan anakku, aku beranjak dari kamar itu dan berbaring di kamar yang lain dengan maksud menenangkan jiwaku. Depresi mental yang tampaknya aku alami setelah melihat kondisi Hafsya, amat berat. Sekuat tenaga aku hendak menenangkan pikiran, tetap saja sulit.
Pikiranku tetap terfokus pada keadaan istriku yang sedang berbaring di rumah sakit. Aku terus saja gelisah dan menangis lagi. Menangis tak henti-hentinya.
Aku bangkit dari tempat tidur. Percuma saja upayaku untuk memejamkan mata. Sia-sia. Air mata mengganggu ketenangan rasa kantuk yang ingin kuundang. Ingin sekali aku terlelap sejenak untuk melupakan semuanya. Melupakan kengerian yang baru kualami.
Kudekati meja yang sering dipakai istriku untuk mengerjakan tugas kuliahnya. Aku duduk di hadapannya. Menatap beberapa frame foto berisi kebahagiaan kami.
Foto kami saat pernikahan, foto tatkala Hafsya mengandung anak pertama, dan fotoku di Kanada, yang rupanya sudah diletakkan pula dalam frame, untuk mengobati kerinduan Hafsya kepadaku.
“Hafsyaaa!!!” raungku lagi.
Kukecup berulang-ulang fotonya.
Sampai kapan kau akan berbaring tak berdaya seperti itu? Itu menyiksa jiwa ragaku, karena aku tak kuat menyaksikannya dan lebih tak kuat lagi membayangkan harus hidup tanpamu.
Rasa pesimistis diam-diam menelusup. Yah, melihat tingkat keparahan luka istriku, terus terang aku pesimistis dia akan selamat. Rasanya inilah jalan jihadnya menuju pelukan-Nya.
Inikah waktunya kami berpisah?
Sepotong kertas yang mencuat dari dalam laci mengusikku. Rasa penasaran membuncah. Kubuka laci dan kulihat kertas-kertas itu. Tadinya kupikir itu tugas-tugas kuliah istriku, tapi begitu kubaca kalimat-kalimat pembuka dalam kertas-kertas tersebut, barulah kupaham apa itu.
Jembatan rindu kami berdua.
Jembatan yang menghubungkan Jakarta-Kanada, berupa surat-surat penuh kata-kata kasih antara kami, saat Hafsya mengandung anak kedua kami.
Di surat-surat kasih kami melalui e-mail yang telah Hafsya print itulah, kami menumpahkan semua emosi kerinduan, kecemasan, dan harapan.
Pecah lagi tangisku di kamar yang sunyi itu.
Surat-surat itu berserakan di hadapanku. Setumpuk air mata menggumpal di sudut-sudut mata. Kuteringat lagi proses perkenalan kami, pengenalan kami, dan pernikahan kami. Sebuah proses kehidupan yang takkan pernah kusesali.
Masih kuingat siluet wajahnya dari sisi tempatku duduk, kala aku menghadiri kajian Ustad Syaifullah beberapa tahun lalu. Wajah yang meneliti tulisan dalam lembaranlembaran jurnalnya. Sesekali dia mencatat isi ceramah Ustad Syaifullah yang bertema kehidupan rumah tangga.
Masih kuingat pula paras keterkejutan di wajahnya, waktu dengan lancangnya aku meminta secarik kertas darinya.
“Maaf, boleh saya minta selembar kertas?” sapaku kepadanya.
Dia lalu mengangguk singkat, merobek selembar kertas, menyerahkannya kepadaku, dan kembali mendengarkan ceramah dengan serius.
Aku menerima kertas itu. Namun sejurus kemudian, aku menyapanya lagi, “Eng ... ada pulpen lagi?”
Dia tak mengucap sepatah kata pun, tapi menyerahkan sebuah pulpen biru, yang diambilnya dari dalam tas. Aku menerimanya seraya mengucapkan terima kasih.
Kemudian sambil mencatat, sesekali aku melirik gadis itu.
Gamis hitam dan berkerudung panjang biru laut. Wajahnya manis, teduh, dan anggun.
“Cantik juga" aku membatin.
Namun, segera saja aku tenggelam dalam kajian Ustad Syaifullah. Aku mencatat dengan saksama poin-poin yang perlu, kemudian setelah halaman tersebut habis dan aku membaliknya, aku tertegun.
Ada tulisan dalam bahasa Prancis.
Aku tidak akan mungkin melupakan kejadian sore itu.
Kita bertemu dan saling memandang. Kau memegang tanganku
dan kau ucapkan kata cinta itu. ooh, sungguh aku telah
jatuh cinta kepadamu.
Demikianlah kira-kira bila diterjemahkan.
“Hahaha!” Aku tertawa terbahak-bahak waktu itu. Beberapa orang di dekatku melihat dengan tatapan aneh, termasuk si gadis cantik yang memikat hatiku itu. Aku menutup mulutku rapat-rapat. Kusembunyikan dengan cepat kertas yang berisi tulisan itu. Untungnya aku pernah belajar bahasa Prancis semasa sekolah dulu. Sedikit-sedikit aku pahamlah.