Dekat di Hati

nouveliezte
Chapter #4

Raga [2]

"Gak mau. Soalnya dia ngaku-ngaku jadi Kakak. Paling juga aslinya om-om," jawab Grita setelah membaca situasi yang terasa terlalu kebetulan. Kekecewaan menyusup ke hatinya karena mengira pria di hadapannya bukanlah orang yang berkirim pesan dengannya tadi siang.

Pria itu tersenyum sambil mengulurkan tangan, "Kamu namanya siapa?"

"Grita," jawab Grita saat menerima uluran tangan yang mendebarkan dada.

"Raga. Kamu bener anak SMA?"

"Kenapa emangnya?"

"Kamu pendek, jadi aku kira kamu masih SMP," jawab Raga menahan tawa hingga kedua ujung matanya menyipit dan bibirnya tersenyum lebar. Alih-alih merasa diledek, Grita semakin jatuh hati.

Jentikan jari Raga di depan mata Grita membuat Grita tersadar dari angan. Mereka saling tersenyum canggung, walau dengan alasan yang bertolak belakang. Raga tersenyum karena merasa gadis di hadapannya lucu, sedangkan Grita tersenyum karena merasa dirinya baru saja bertingkah sangat tidak elegan.

"Anak kecil emangnya boleh keluyuran sendirian malem-malem gini?"

Grita menoleh ke belakang karena mengira Raga bicara dengan orang lain, tapi tidak ada siapapun kecuali mereka berdua di lorong itu. Tatapannya kembali pada Raga yang masih tersenyum, "Yang dimaksud 'kecil' itu aku?"

Raga tertawa, "Iya, lah. Siapa lagi. Pendek gini, 'kan, berarti masih kecil."

Grita tersenyum miris karena sedang mengasihani dirinya sendiri. Padahal tinggi tubuhnya termasuk normal untuk ukuran remaja seusianya. Namun, dia memaklumi reaksi Raga yang memiliki selisih tinggi sekitar dua puluh sentimeter darinya.

"Mau dianter pulang? Rumahnya di mana?"

"Gak usah. Udah, ya. Aku cuma mau ngasih tau kalau foto Kakak dipakai orang iseng buat ngajak cewek-cewek ketemuan di mal." 

Langkah Grita beralih menuju kasir. Hatinya kesal karena pria tampan yang menawan hatinya menganggapnya kecil, walau hatinya menyayangkan sikap yang terburu-buru memutuskan pergi. Padahal jika bisa mengenal pria itu lebih dekat, mungkin .... Grita menoleh saat menyadari Raga berdiri di sebelahnya. Raga menaruh barang di kasir hingga barang belanjaan mereka tercampur.

"Semuanya jadi Rp 75.600, Kak. Bawa tas belanjanya?" tanya kasir.

Raga mengeluarkan kartu debit dari dompet sambil tersenyum pada Grita, "Aku yang bayar."

Terpesona dengan pria tampan membuat otak Grita lambat berpikir. Entah bagaimana mereka tiba-tiba sudah duduk berhadapan di meja berpayung lebar di depan minimarket. Belanjaan pesanan ayahnya bahkan sudah masuk ke tas kanvas jinjingnya.

Raga menyodorkan sebotol teh oolong yang sama dengannya untuk Grita, "Buat kamu."

Grita mengangguk sambil membuka tutup botol. Masih sulit dipercaya dia benar-benar bertemu dengan pria tampan yang membuatnya mendapatkan nasihat panjang dari kedua orang tuanya sejak matahari tenggelam.

"Yang chat sama kamu di aplikasi itu aku. Nanti kita ketemu lagi, ya, hari minggu."

Anggukan kepala Grita yang tanpa sadar disusul dengan semburan teh yang belum sempat tertelan. Beruntung dia menyemburkan cairan ke arah samping hingga tidak mengotori Raga yang duduk di depannya, tapi rasa malu yang sangat besar membuat wajahnya matang dengan mata melebar hingga mirip udang bakar.

"Kamu punya tisu?"

Gelengan kepala Grita membuat Raga berlari memasuki minimarket. Raga kembali sambil membuka kemasan tisu dan menyodorkan beberapa lembar pada Grita.

"Lap sendiri bisa, 'kan?"

'Muka ganteng, badan tinggi, tapi minus akhlak,' gerutu Grita dalam hati. 'Kenapa harus ganteng, sih? Bikin susah berpaling aja. Eh? Pacar juga bukan. Jangankan pacar, temen juga bukan. Ngenes banget!'

Alih-alih mengambil lembaran tisu dari Raga, Grita menyambar pak tisu yang sudah terbuka di meja. Dia menarik berlembar-lembar tisu hanya untuk mengelap tangannya yang tidak terlalu basah, lalu mengambil lebih banyak tisu untuk menyeka wajah.

Dengan santai Raga menggunakan tisu di tangannya untuk mengelap meja, "Yakin gak mau dianter pulang? Aku bawa motor, jadi kamu bisa nebeng."

Lihat selengkapnya