DEKUT MERPATI PEMURUNG--The Mourning Dove Calling

Hans Wysiwyg
Chapter #5

Chapter #5 Petaka Gunung Syurga-THE MOURNING DOVE CALLING

Sebuah taksi hitam mengkilat berhenti di depan cluster, Cormoran menjumpai pengemudinya, mereka berbicara beberapa saat, lalu Cormoran membayar tagihannya berikut tip. Lalu ia menelepon taksi lain yang sudah dipesan sebelumnya. "Siap berangkat sekarang," ujar Cormoran di telepon ketika berbalik kembali ke rumah untuk mengambil koper dan tas rangsel berisi semua kebutuhannya selama di Kailash.

"Ada apa Darling, mengapa taksinya pergi?" Mary keheranan melihat Cormoran hanya berbincang sebentar tapi taksinya langsung pergi tidak menunggunya.

"Aku sudah memesan taksi lain, jadi aku batalkan taksi itu, karena aku pikir taksi pesanan kantor itu akan terlambat datang. Tadi dia mengabari terjebak macet di Interstate 405, San Diego Freeway di dekat persimpangan Interstate 10. Jadi aku putuskan memilih taksi dengan rute Sepulveda Boulevard dekat persimpangan Century Boulevard. Kata supir Lyft ini, melalui rute itu, ke salah satu pintu masuk utama LAX-Bandara Los Angeles tidak macet.

Kali ini Cormoran mencoba memperhitungkan segalanya termasuk kemungkinan jika ia dikuntit sejak dari rumah. Berpikir jika rencananya mengganti taksi paling tidak bisa menganggu seluruh rencana orang yang akan berusaha membuntutinya.

Tidak berapa jauh, taksi hitam itu berhenti persis di tikungan yang memisahkan jalan cluster itu menjadi dua jalur kearah berlawanan dengan jalur LAX. "Penumpang mengganti kendaraan," supir itu melaporkan perkembangan terbaru kepada seseorang, lalu ia menyebutkan nama jasa layanan Lyft dengan plat 7XYZ123.

***

Firasatnya kali ini meleset. Kekuatirannya tidak terbukti. Tidak seperti peristiwa keberangkatannya ke Toronto yang penuh spionase, kali ini Cormoran bisa merasakan semuanya normal. Ia segera menepis prasangkanya soal orang dalam yang mencoba mensabotase penelitian serumnya. Di dalam taksi ia sempat membuka laptopnya, membaca enskripsi dengan hati-hati, mengabaikan kewaspadaannya karena merasa tidak lagi dibuntuti. Sebuah spy button tersembunyi di pegangan atas-grab handle di dekat atap berkedip.

"Berapa lama kita sampai ke LAX?" Cormoran berbasa-basi ketika pekerjaan kecilnya selesai.

"Sekitar 13 menit lagi, Sir," jawab si pengemudi ramah.

Cormoran membuka jendela mencoba menikmati sedikit udara bebas, menikmati pemandangan ikonis LAX Gateway Pylons yang berada di dekat persimpangan. Menara cahaya-pylons yang berubah-ubah warna yang menandai pintu masuk ke LAX.

Dan menikmati Jalur Terowongan, Sepulveda Tunnel, saat melewati terowongan bawah landasan pacu LAX, yang cukup unik karena pesawat sering terlihat melintas di atasnya, sesuatu yang jarang bisa dinikmatinya di saat-saat biasa.

Sekitar lima menit kemudian, taksi berbelok melalui jalur World Way, jalan lingkar di dalam bandara yang menghubungkan ke semua terminal 1-8, dan Tom Bradley International Terminal - TBIT. Mengikuti rambu penunjuk ke bagian departures, keberangkatan. Area drop-off di lantai atas terminal.

***

Cormoran memasuki pesawat dengan santai, membawa laptop dan tas kecilnya. Ia segera menemukan kursinya di kelas bisnis, 7A, dekat jendela. 

Beberapa menit setelah duduk dan memastikan sabuk pengamannya terpasang, seorang pria bertubuh tinggi dengan jaket abu-abu melangkah perlahan di lorong pesawat.

"Permisi, Sir," ujar pria itu dengan suara tenang. "Boleh saya letakkan barang saya di atas penyimpanan ini?"

Cormoran hanya mengangguk sambil terus menatap layar laptopnya. Pria itu membuka kompartemen penyimpanan di atas kursi Cormoran dan dengan hati-hati meletakkan sebuah stiker kecil berwarna hitam dengan lambang perusahaan logistik. Gerakannya tampak biasa saja, tapi ada sesuatu yang membuat Cormoran melirik sekilas. Pria itu tersenyum sopan, menutup kembali kompartemen, lalu melangkah ke kursinya di bagian belakang.

Tak lama setelah itu, seorang wanita muda duduk di kursi 7B, di sebelah Cormoran. Wanita itu berpenampilan santai namun elegan, dengan rambut cokelat bergelombang yang diselipkan di balik telinganya.

"Hai," sapanya ceria. "Namaku Emma. Mau ke Lhasa juga?"

Cormoran tersenyum tipis. "Iya, urusan pekerjaan."

Percakapan ringan pun mengalir. Emma ternyata seorang fotografer dokumenter yang sedang mengerjakan proyek tentang budaya Tibet. Ia berbagi kisah tentang tempat-tempat yang telah ia kunjungi, hingga akhirnya pesawat lepas landas dan keduanya terdiam sejenak menikmati pemandangan kota Los Angeles yang menjauh di bawah sana.

***

Penerbangan berlangsung lancar, dan beberapa jam kemudian pesawat mendarat di Bandara Internasional Lhasa Gonggar. Udara dingin Tibet langsung menyambut ketika Cormoran melangkah keluar dari pesawat. Ia menarik napas panjang, merasa segar sekaligus sedikit lelah setelah perjalanan panjang 20 jam dengan hanya sekali transit di Chengdu.

Di pintu keluar bandara, ia disambut oleh seorang pria lokal dengan mobil khas Tibet yang dihiasi selendang kain sutra-Khata yang berwarna cerah, yang biasa dieja sebagai Khada atau Hada. Selendang khusus dalam etiket tradisional masyarakat Tibet yang melambangkan niat baik, keberuntungan, dan rasa hormat.

Pria itu memperkenalkan dirinya sebagai Nyima, sopir yang ditugaskan oleh kantor penelitian Cormoran. Mobil tersebut melaju melewati jalanan Lhasa yang dikelilingi pegunungan bersalju, hingga akhirnya berhenti di depan sebuah hotel tradisional dengan arsitektur khas Tibet.

Lihat selengkapnya