DELANGGUNG

Era Ari Astanto
Chapter #1

Bagian 1

“Adakah yang lebih indah dan membahagiakan dari selain melihat anak-istri bahagia? Tidak! Tidak ada! Bagiku hal itu adalah segalanya; mewujudkannya harus dengan perjuangan dan pengorbanan. Apa pun. Apa pun. Termasuk ketenangan jiwaku sendiri; walau yang kulakukan bertentangan dengan batinku,”

Batin Sota bergolak. Ada pertempuran di sana. Dia merasa bagai terjebak dalam labirin dengan banyak pintu yang dia tahu hanya memiliki satu pintu keluar, itu pun tidak benar-benar aman. Pekerjaan yang dia hindari itu datang lagi di saat tidak tepat dan tidak bisa ditunda; anaknya sakit, istrinya sedang hamil muda dan kondisinya lemah, dan mereka berdua membutuhkan perawatan darinya sampai siap ditinggal bekerja.

Perintah dari majikannya bisa saja ditawar tapi dengan konsekuensi dia akan dipenjarakan atau menjadi buron atau anak-istrinya juga harus menanggung risiko. Namun, jika pekerjaan itu tetap dilakukannya, dia khawatir akan mitos bahwa perbuatan orang tua akan berimbas pada si jabang bayi yang tengah dikandung istrinya.

Dia menarik napas panjang dan mengembuskan dengan tangkas – seolah terburu membuang beban yang terasa semakin menyesaki dadanya. Semua memang bisa saja terjadi seolah tanpa nalar, lirihnya. Perlahan dia memejamkan mata dan menarik napas panjang, mencoba menguatkan hatinya, lagi.

Apa yang akan dikerjakannya tidak dia inginkan, sebenarnya. Tapi, ancaman dari Haribanda malam tadi tidak bisa dianggap main-main: keselamatan anak-istrimu dan juga nyawamu ada pada keputusanmu. Selama ini dia memang tidak benar-benar memberitahu istrinya tentang pekerjaan yang dilakoninya. Dia hanya mengatakan bekerja pada Haribanda, seorang berpengaruh yang tengah naik daun.

Perihal pekerjaan yang dilakoninya kini sangat bertentangan dengan riwayat mentalnya di masa lalu. Kini, bisa dikatakan, dia adalah preman. Padahal dulu dia akan merasa sangat ketakutan di luar lingkungan keluarganya atau sekadar bertemu dengan orang lain. Entah apa istilahnya. Yang jelas dia teramat takut bila berada di luar lingkungan keluarganya. Atau, mungkinkah klenik leluhur tentang hari lahirnya akan membuktikan kebenarannya? Entahlah.

Setelah memasang wajah cerah dan senyum merekah, dia menghampiri istrinya, mengecup keningnya, dan memeluknya sebentar. 

“Aku tidak tahu kamu mendapat tugas apa, Sayang. Tapi tidak bisakah ditunda barang sehari?” istrinya, Astrid, bertanya dengan wajah tampak tidak rela Sota pergi.

“Jika semua sudah beres aku akan segera pulang, Sayang.”

Tidak ada tanggapan. 

Astrid menunduk. Butir bening pasti terjatuh seandainya tidak segera diseka.

“Jangan sedih, Istriku. Harusnya kamu sudah terbiasa dengan pekerjaanku ini.”

“Kasihan Oci. Dia sedang sakit.”

Sota tidak menjawab. Sebenarnya dia pun merasa berat meninggalkan anak dan istrinya dalam keadaan seperti ini. Dia ingin membahagiakan dengan menuruti keinginan mereka saat ini. Tapi, keselamatan mereka tentu lebih penting sehingga harus menerima pekerjaan yang sebenarnya sudah lama ingin dia tinggalkan.

Sota mendesah resah tapi segera menyamarkannya dengan senyum. “Oh ya, aku ingin lihat Oci?” Sota mengalihkan topik pembicaraan.

Segera digandeng tangan istrinya dan mengajaknya ke sebuah kamar. Di atas tempat tidur dengan seprei dan selimut bergambar Hello Kitty tampak gadis kecil terbaring. 

Wajahnya tampak merona akibat demam. Melihat itu rasa tidak teganya semakin pekat. 

Lihat selengkapnya