Di gang buntu dekat pasar terjadi pemandangan tidak wajar; seorang bocah bertubuh kecil mampu mengalahkan bocah dengan tubuh jauh lebih besar dan lebih tinggi. Berkali-kali bocah kecil itu menampar bocah besar, sesekali memukul. Anehnya, bocah bertubuh besar itu hanya duduk menunduk sambil mengaduh dan mengusap-usap pipinya yang memerah kena tampar. Di batas kewajaran, seharusnya bocah besar itu bisa mengalahkan bocah kecil. Namun, itu tidak terjadi. Itu yang disebut aneh oleh mereka yang tidak mengenal bocah besar itu.
Bagi kawan-kawan kedua bocah, hal itu sudah tidak lagi aneh dan sudah menjadi pemandangan biasa hampir setiap hari. Kedua bocah itu sebenarnya kawan satu kelas, jarak rumah mereka pun tidak terlalu jauh. Dan, akar permasalahan perkelahian sepihak itu sudah bisa ditebak oleh kawan-kawan mereka, bila melihatnya: uang. Ya! Uanglah yang menjadi alasan bocah kecil menghajar bocah besar.
“Heh, Sota! Cepat berikan uangmu dan aku akan berhenti menghajarmu!” bentak bocah kecil sambil menginjak pundak bocah besar yang ternyata Sota.
Orang tua Sota memang pedagang kaya. Kekayaan orang tuanya memang bisa memberikan makanan bernutrisi cukup baginya sehingga tubuhnya tumbuh sangat baik tapi tidak dengan mentalnya. Bukan idiot. Sota sekadar mengidap ketakutan berlebih bila berada di luar lingkungannya. Sehingga, pada usianya yang sudah sembilan baru masuk kelas satu sekolah dasar – tanpa melalui taman kanak-kanak. Itu pun setelah dia mendapat terapi psikis dan terapi hipnosis yang lumayan lama. Gerak tubuh Sota juga agak gemulai layaknya perempuan. Hal itulah yang menjadikannya bahan olok-olok kawan-kawannya. Tidak heran bila latar belakang dan kelemahan jiwa dan fisiknya menjadikan kawannya yang badung berani memerasnya.
“Aku sudah tidak punya uang,” jawab Sota memelas.
“Bohong! Kuhajar lagi kamu.”
“Aku tidak bohong. Uangku habis diminta kawan-kawan di sekolah.”
Bocah kecil menggeram sambil mendorongkan kakinya yang menginjak pundak Sota membuat Sota terjengkang. Belum sempat Sota bangkit, bocah kecil itu menyerbunya dan menggeledah semua saku yang ada. Namun, dia harus kecewa karena Sota memang tidak berbohong. Demi melampiaskan kekecewaannya dia melayangkan tinjunya ke perut Sota. Sota meringis.
“Besok bawakan aku uang,” bentak bocah kecil.
“Aku takut dimarahai ayahku.”
“Pokoknya bawakan aku uang atau aku akan memukulimu lagi?”
“I... iya. Aku... aku bawakan.”
Sekali lagi bocah kecil menendang Sota sebelum melenggang pergi dengan wajah marah. Sota meringis lagi sambil memandangi kawannya yang jahat.
Bukan sekali ini Sota dihajar kawan-kawannya. Di sekolah, berulang kali dia diseret kakak-kakak kelasnya ke toilet dan dipalak. Sebenarnya, kawan-kawannya yang baik banyak yang tahu hal itu tapi tidak berani menolong. Bahkan sekadar melaporkan pada guru.
Pernah suatu kali, Suji, kawan sekelas Sota, membelanya tapi dia sendiri justru babak belur kena hajar. Peristiwa itu membuat para guru mengetahui dan mencoba memberikan keadilan pada mereka. Berkat campur tangan para guru, Sota aman dari gangguan kawan-kawannya yang suka memalak. Rasa aman itu sungguh membuat Sota bahagia. Dia bisa jajan di kantin atau menikmati bekal makan dengan tenang bersama Suji dan kawan baik lainnya. Wajahnya juga tampak ceria ketika bermain kelereng atau pesawat terbang kertas di halaman sekolah.
Tapi masa aman itu hanya bertahan kurang dari dua minggu. Setelahnya, Sota kembali mendapatkan tekanan yang lebih hebat. Mungkin kawan-kawannya berhenti memalak demi mencari strategi yang lebih aman dari jangkauan para guru. Di suatu hari, ketika istirahat Sota ditarik kakak kelasnya ke toilet dan diperas dengan ancaman bila memberitahukan pada orang lain akan dihajar di jalanan sepulang sekolah. Sota hanya bisa mengangguk.
Pemalakan itu terus terjadi setiap hari tanpa ada yang mengetahui. Namun, Suji secara tidak sengaja mengetahui perbuatan busuk itu ketika dia kebelet pipis. Dia mendengar suara bentakan di toilet sebelah, sesaat kemudian terdengar suara pintu dibanting. Dia keluar dan melihat ke toilet sebelah itu. Di sana tampak Sota duduk dengan wajah ketakutan. Bagaikan pahlawan cilik, Suji mendekati Sota, mengusap kepalanya dan bertanya apa yang terjadi. Sota menggeleng.
“Jangan takut, Sota. Aku di sini. Apakah kamu dipalak lagi?”
“Ti...tidak.”
“Aku tahu kamu berbohong. Tidak apalah. Tapi, ayo kita kembali ke kelas dan makan bekal yang kubawa.”
Tanpa menunggu Sota menjawab, Suji membimbing Sota berdiri. Tampak ganjil pemandangan itu, Suji yang kecil membimbing Sota yang tinggi besar berdiri.
Sambil makan bekal yang dibawa Suji mereka berbincang tentang ulangan semester yang tinggal beberapa minggu lagi. Suji mengeluh nilai ulangannya yang jelek dan takut bila nilainya nanti jelek.
“Apa kamu tidak belajar?” Sota bertanya sambil mengunyah.
“Aku belajar tapi tidak bisa.”
“Apa yang kamu tidak bisa?”
“Matematika dan Tematik.”
“Aku bisa mengajarimu.”
“Sungguh?”
“Nanti ke rumahku kita belajar bersama.”
“Aku minta izin ibuku dulu.”
Mereka bersepakat. Sepulang sekolah, Sota tidak mau dijemput orang tuanya. Dia mengatakan akan pulang ke rumah Suji dulu baru kemudian akan bersama ke rumah Sota. Orang tuanya senang mendengar itu. Dia berpikir bahwa anaknya sudah mulai menemukan keberaniannya secara normal sehingga dengan wajah cerah meninggalkan anaknya bersama Suji. Itu baik untuk perkembangan kemandirian dan keberaniannya.
Sial itu datang tidak terduga. Setelah pamit pada orang tuanya, Suji memboncengkan Sota melintasi jalanan belakang pasar. Jalan itu adalah jalan aman untuk anak-anak karena sepi dari pengendara motor atau mobil. Selain itu, adalah jalan terdekat ke rumah Sota. Di jalan inilah, Sota dan Suji dicegat kawan sekelas mereka yang dulu pernah memalak Sota. Pemalak kecil itu biasa dipanggil Cemet, anak seorang kepala preman pasar yang biasa dipanggil Cak Kancil. Awalnya Suji hendak melawan, tapi setelah digertak Cemet dengan mengandalkan kebesaran nama ayahnya, nyali Suji menciut – membayangkan tubuhnya kesakitan dihajar lagi seperti dulu ketika menolong Sota. Demi keamanan dirinya dia membiarkan Cemet menarik paksa Sota masuk ke gang buntu belakang pasar itu. Suji hanya bisa memandang kawan besarnya diseret Cemet yang kecil. Dia sempat melihat ketakutan membayang di wajah Sota.
Sebenarnya Suji ingin sekali berteriak minta tolong, tapi ancaman Cemet dan ingatan tentang kekejaman Cak Kancil mengurungkan niatnya. Dari ujung gang dia memandang Sota ditampar Cemet berkali-kali. Meski masih kecil, dia juga sudah punya rasa heran melihat Sota yang sebesar itu hanya bisa mengaduh ketika disakiti Cemet yantg kecil. Seharusnya badan sebesar itu dengan mudah membekuk Cemet. Dari situ dia tidak yakin jika Sota bisa mengajarinya Matematika dan Tematik.