Bahagia bagi orang tua itu sederhana: melihat anaknya bertumbuh dan berkembang dengan baik ke arah yang diidamkannya.
Sejak beberapa hari setelah masuk sekolah menengah pertama, ayah Sota yang biasa dipanggil Cak Jo merasa bahagia. Sederhana saja penyebabnya: Sota tidak mau diantar ketika pergi ke sekolah, dia ingin bersepeda saja bersama Suji. Sepele memang. Tapi demikianlah adanya. Cak Jo yang punya nama lengkap Wijaya Sota (Wijaya dibaca dengan Wijoyo, dengan ‘o’ seperti pengucapan ‘o’ pada ‘botol’), yang berarti kemenangan hidup, melihat anak semata wayangnya yang sangat penakut sudah berani bersepeda sendiri ke sekolah. Gerak gemulai anaknya pun sudah jauh berkurang jika dibandingkan dengan ketika masuk sekolah dasar.
Kebahagiaan seperti ini sebenarnya sudah pernah dia rasakan sebelumnya. Ketika itu, Sota mengatakan tidak mau sekolah lagi karena sering dimintai uang oleh Cemet dan yang lainnya. Itu sempat membuatnya sedih dan khawatir anaknya yang penakut benar-benar tidak mau sekolah. Namun, dia berusaha membujuk dengan mengatakan ada Suji, anak kawannya yang baik. Soal dipalak dia mengatakan Sota tidak akan disakiti jika mereka diberi uang. Dengan bujukan sederhana itu, Sota mau kembali bersekolah bahkan sampai lulus. Dan, itu membuatnya sangat bahagia. Walaupun akhirnya dia tahu bahwa anaknya bukan hanya dipalak tetapi juga dipukuli. Tapi, dia membiarkan selama anaknya tidak mengeluh dan tidak membahayakan jiwanya. Bukan senang, hanya saja dia berpendapat hal demikian bisa melatih keberanian Sota.
Sebenarnya, pembiaran pemalakan itu terkait dengan keinginannya mematahkan ramalan dalam primbon Jawa. Baginya ramalan dalam primbon itu hanyalah dari hasil pengamatan yang tidak seratus persen benar. Ada sekian persen peluang untuk keluar dari ramalan itu. Ramalan itu adalah bahwa sesiapa yang lahir pada wuku kuruwelut akan mendapat sial seumur hidupnya, walaupun ada juga penganut primbon yang percaya sebaliknya – yang lahir pada wuku kuruwelut tersebut akan beruntung dan sukses. Dia sendiri lahir pada wuku itu, tapi oleh orang tuanya dia diajari untuk selalu memikirkan apa yang akan dilakukan agar tidak sial. (Hal ini dikatakan orang tuanya ketika dia sudah beranjak dewasa). Senyatanya dia mendapatkan kejayaan hidup sebagai pedagang sukses berkat wasiat untuk selalu eling lan waspada.
Dulu, dia sempat khawatir jika kesialan orang berwuku kuruwelut yang tertulis pada primbon Jawa itu benar-benar akan menimpanya. Kekhawatirannya pada ramalan primbon kembali muncul ketika mengetahui anaknya memiliki sifat penakut yang luar biasa, dan dia baru sadar bahwa anaknya juga lahir pada wuku kuruwelut. Tapi keinginan untuk keluar dari ramalan itu lebih besar dari kekhawatirannya. Segala cara dia usahakan agar sifat penakut anaknya teratasi termasuk memberikan terapi psikis bagi anaknya.
Meski belum banyak, namun usahanya sudah menampakkan hasil. Itulah yang membuatnya bahagia dan memicu semangatnya untuk merobohkan ramalan primbon semakin besar. Dia yakin bahwa tidak ada manusia yang benar-benar tahu jalan hidupnya di masa depan. Yang bisa dilakukan manusia hanyalah berhati-hati dalam setiap langkah yang akan dan dia ambil. Atas dasar pemikiran tersebut dia merasa tidak berlebihan sudah menamakan anaknya Delanggung Sota, yang berati jalan hidup. Karena itulah, wasiat eling lan waspada dari ayahnya akan dia wariskan pula kepada anaknya, Sota.
Cak Jo merasakan kebahagiaan-kebahagiaan kecil yang menghampirinya semakin bertambah. Pagi tadi, sebelum berangkat sekolah Sota mengatakan akan ikut kegiatan ekstrakurikuler karate. Ingin langsung memeluk Sota rasanya bila Cak Jo tidak berpikir bahwa perlakuan itu sama saja memperlakukan Sota sebagai anak kecil. Itu tidak baik. Memeluk boleh tapi sewajarnya saja. Begitu pikirnya. Karena itu dia menahan gelegak kebahagiaannya.
“Kenapa ikut kegiatan itu?” pertanyaan itu bagi Cak Jo untuk mengukur sampai di mana daya nalar dan pikir anaknya.
“Sota ingin menjadi anak pemberani agar tidak dipukuli orang lain, Ayah. Sebab, kata Pak Guru, bela diri akan membuat kita menjadi lebih percaya diri dan tidak penakut. Sota ingin mandiri dan tidak menggantungkan perlindungan dari Suji atau orang lain terus-menerus, termasuk Ayah dan Ibu.”
Senyum Cak Jo mengembang mendengar jawaban sederhana anaknya. Dia menilai anaknya memang bukan orang bodoh dan tidak lama lagi akan menjadi orang yang bisa melindungi diri sendiri sehingga tidak dijadikan sasaran palakan kawan-kawannya yang jahat. Dengan pertimbangan itu dia mendukung penuh keinginan anaknya mengikuti kegiatan ekstrakurikuler karate.
Getar kebahagiaan di hati Cak Jo perlahan menjadi getar kekhawatiran. Sudah lepas Maghrib dan Sota belum tiba di rumah. Berulang kali dia melongok ke gerbang masuk rumahnya tapi yang ditunggu belum juga nampak. Desakan istrinya agar menyusul Sota ke sekolah semakin menambah kekhawatirannya. Kemungkinan gambaran buruk menimpa Sota digambarkan istrinya berkali-kali dan itu membuat prasangkanya ikut menjadi. Ingatan ramalan primbon bahwa kesialan akan selalu mngintai Sota membuat khawatirnya menggemuruh.
Untuk meredakan kekhawatirannya dia dan istrinya terus menggumamkan rangkaian kalimat doa agar anaknya tidak tertimpa kemalangan, agar anaknya selamat, agar Tuhan melindungi Sota. Tapi, Cak Jo dan istrinya memang bukan orang yang selalu mengandalkan doa semata. Mereka meyakini tanpa usaha, segala doa hanya omong kosong. Dan, segala usaha tanpa dibaluri doa adalah kesombongan pada Yang Maha Menghidupkan. Sebab itu, mau tidak mau mereka memang harus menaruh kemungkinan buruk itu agar segera bisa mengambil tindakan antisipasi. Bergegas Cak Jo bangkit dan menyiapkan diri mencari Sota ke sekolahnya.