Delapan Bidak

Jimmy Alexander
Chapter #2

Bab 1

Doni mengaduk kopi panasnya dengan kesal. Bukan karena ia tidak menyukai rasanya, tetapi karena apa yang dilihatnya hari ini. 

Jam dinding sudah menunjukkan pukul 11.37 tapi pengunjung distronya yang datang baru 25 orang. Cukup banyak memang tetapi diantara mereka hanya dua yang jadi membeli. Lainnya datang, lalu pulang dan mungkin tidak pernah kembali lagi. 

Yang terburuk adalah ia tidak mengerti apa yang menjadi penyebabnya. Ia merasa sudah mengerahkan segala kreativitas dan dananya untuk membuat tempatnya terlihat menarik dan kekinian. Merk impor, pilihan yang beragam, dan harga wajar, semua sudah dilakukannya. Berbagai trik pemasaran juga sudah dilakukannya. Dari pemasaran mulut ke mulut sampai cyber marketing. Awalnya hasilnya cukup baik akan tetapi akhirnya kembali sama—nol besar. 

 “Amel juga sudah tidak masuk seminggu ini,” keluh Doni. Ia diam-diam mengakui kalau hal itu karena kesalahannya. Gadis itu terpaksa pergi karena gajinya sudah sebulan lebih tidak dibayar. Ia sudah coba membujuknya tetapi Amel tidak berniat bekerja lebih lama lagi. Orang susah tidak seharusnya menyusahkan orang lain, demikian katanya. Awalnya Doni ingin memarahi gadis itu ketika mendengarnya akan tetapi ia mengurungkannya karena ia berpikir gadis itu tidak salah. Dengan membayar setengah gajinya dan setengahnya lagi akan dilunasi jika ‘aku sudah punya uang’ gadis itupun pergi dengan damai.

Salah satu sahabatnya pernah mengatakan bahwa berdagang itu membutuhkan bakat alami. Tidak semua orang yang dilahirkan bisa menjadi pedagang, katanya. Doni tidak mau mempercayainya, walaupun faktanya ia selalu membuktikan bahwa ia salah.

Sebaiknya aku pergi ke Kafe Kencana. Kafe itu memiliki steak daging yang terbaik. Tanpa menunggu lebih lama lagi ia menutup distronya lebih cepat, mengenakan jaket Tommy Hilfiger berwarna coklat, dan menyambar anak kunci motor Ninjanya. Dalam sesaat ia sudah berada diatas tunggangannya, lalu menggebernya melewati kompleks perumahan dan menghilang di tikungan jalan. 

Seperti biasa pemandangan Kafe Kencana selalu sama dari hari ke hari. Siapapun yang datang makan siang pada pukul 12 harus siap menunggu setidaknya 20 menit untuk dilayani. Bukan karena penyajiannya yang lama tetapi karena pengunjungnya yang padat pada jam-jam kritis tersebut.  

Beruntung bagi Doni ia memiliki kenalan bernama Mona. Pelayan wanita itu selalu berusaha menyediakan satu tempat di pojok jika Doni datang berkunjung. Mona bukan saja pelayan spesial Doni di sini, tetapi terlihat jelas ia sangat menyukai pemuda itu. Wanita bertubuh tambun tersebut bahkan terang-terangan menyatakan isi hatinya, namun Doni selalu menolaknya dengan halus. Sebenarnya wanita itu cukup cantik walaupun tiga tahun lebih tua. Tetapi kegagalannya dalam bisnis membuat gairahnya terhadap wanita juga seakan redup. Ia harus mengakui jika ia mencintai uang melebihi wanita. 

Lihat selengkapnya