Delapan Bidak

Jimmy Alexander
Chapter #3

Bab 2

Seusai pertemuan dengan Paman Angga dua bulan lalu Doni langsung berangkat ke Palu. Ia berada di sana hampir sebulan. Ia sedang mengemban misi khusus. Pengintaian. Ia melakukan pengintaian secara terinci tempat-tempat yang akan dijadikan sasaran kejahatan.

Dua hari setelah kepulangannya dari Palu ia mendapat tugas lainnya. Ia harus merekrut sebanyak tujuh orang untuk membantu menjalankan aksinya. Satu wanita dan enam pria. 

Ini tugas berat. Mengajak seseorang untuk melakukan aksi kejahatan bukanlah pekerjaan ringan. Ia tidak pernah menjadi seorang kriminal. Bagaimana caranya menemukan teman-teman terpercaya yang bersedia melakukan tindakan kriminal?

Awalnya Doni ingin menyatakan ketidaksanggupan atas permintaan pamannya ini namun dengan cepat ia berubah pikiran. Ia yakin pamannya akan balik bertanya: Jika kau tidak sanggup mencari orang-orang yang bersedia melakukan pekerjaan ini, bagaimana kau bisa melakukan pekerjaan ini dengan benar?

Doni mencoba membuka nomor-nomor kontak yang ada di ponselnya. Ia berharap paling tidak akan menemukan satu atau dua nama yang bisa diajaknya. Tapi hasilnya nihil. Ia tidak pernah terjun dalam dunia kejahatan, jadi ia tidak punya teman-teman di dunia itu. Satu-satunya cara adalah menemukan teman yang terpercaya yang punya masalah keuangan seperti dirinya kemudian mempengaruhinya. Sama seperti yang dilakukan Paman Angga padaku.

Paman Angga memintaku untuk mencari seorang wanita. Ini tugas yang lebih berat daripada melakukan kejahatan itu sendiri. Kriteria yang diberikan juga cukup berat—cantik, percaya diri, dan suka tantangan. 

Setelah mencari-cari daftar nama di ponselnya dengan sia-sia, Doni coba membuka lembar-lembar memorinya. Ia bahkan mengerahkan alam bawah sadarnya untuk melakukan tugas berat ini. Akhirnya setelah sepuluh menit kemudian secara mengejutkan sebuah nama melintas di benaknya.

Namun tiba-tiba ia ragu. Ia belum begitu mengenal wanita ini. Ia hanya teman Stella yang dikenalkan kepadanya. Itupun sudah lama—tiga tahun lalu. Bagaimanapun wanita itu cocok dengan syarat yang dibutuhkan pamannya. 

Doni coba memikirkan nama yang lain. Akan tetapi ia tidak berhasil. Ia memandang jam dinding di kamarnya. Ini sudah tengah malam pantas saja ia sudah mengantuk. Akhirnya ia mengambil kesimpulan—jika sampai besok pagi ia tidak menemukan nama lain, berarti wanita itulah yang ia cari. 

 

———

 

Sudah seminggu ini Nina merasa kesal dengan David. Bagaimana tidak, pimpinannya itu baru saja menjadi mengangkat Ryan menjadi supervisornya. Ryan—bocah ingusan yang baru bekerja selama satu setengah tahun di dealer mobil ini kini telah menjabat manajer penjualan—posisi yang telah dijanjikan oleh David kepadanya dua tahun lalu. Nina bukannya tidak merelakan posisi itu untuk orang lain. Ia hanya merasa Ryan belum layak untuk itu. Nina terkadang harus menemaninya dalam setiap sesi penjualan. Ryan bahkan belum memiliki keahlian dan kepercayaan diri dalam melakukan penjualan terhadap calon pembeli. Dan ini sudah berlangsung selama satu setengah tahun. 

David beralasan bahwa penunjukan itu dilakukan atas perintah dari kantor pusat. Fakta sesungguhnya bahwa Ryan merupakan merupakan ‘titipan’ kantor pusat untuk magang di sebuah kantor cabang. Menurut kabar angin ia bahkan dipersiapkan untuk jabatan lebih tinggi di kantor pusat. David hanya meminta Nina hanya perlu menunggu sekitar satu tahun lagi untuk posisi itu. 

Apapun alasannya Nina tidak peduli. Ia sudah lelah. Kesabarannya habis. Ini sudah kali ketiga David mengingkari janjinya. Jika ia bersabar menunggu, bisa saja David akan dimutasi terlebih dulu dan janji itu tinggal isapan jempol belaka. 

Nina sudah bekerja di perusahaan ini selama 5 tahun. Cukup lama menurut pengakuannya. 

 Nina memiliki Ia memiliki wajah cantik yang sedikit antagonis. Terkadang terlihat sedikit angkuh. Kemauannya keras dan tidak mudah ditaklukkan. Usianya sudah 29 tahun dan terlihat mandiri. Kemampuannya dalam berkomunikasi membuatnya terpilih sebagai sales terbaik selama tiga tahun berturut-turut. Ia juga memiliki keberanian yang umumnya dimiliki lelaki. Namun salah satu kekurangannya yang diakuinya adalah ia cepat merasa bosan jika ia sudah mampu melakukan suatu hal. Ia ingin tantangan baru. Ia ingin lebih dari apa yang sudah ia dapatkan selama ini.  

Jam dinding berbentuk persegi di atas menunjukkan pukul 11.46. Itu berarti kurang dari lima belas menit waktu untuk istirahat siang. Nina sudah merasa lapar. Dengan cepat ia menghabiskan sisa banana milshake yang terletak di ujung mejanya dan membaca tumpukan brosur penjualan terbaru yang kemarin sudah dibacanya—bukan karena ada yang terlupa, tetapi ia hanya menghabiskan sisa waktunya saja sebelum jarum jam menyentuh angka dua belas. 

Ketika waktu istirahat hampir tiba, Nina segera meraih kunci Honda Jazznya dan berniat kabur sebelum David datang dan memberikan pekerjaan lain. David memang biasa muncul dan memberikan perkerjaan di saat-saat menjelang istirahat siang. Ia sudah berencana menghabiskan waktu istirahatnya di Sumuko Resto yang baru dibuka. Kafe ini sempat tutup selama sebulan lebih dan saat ini adalah waktu yang tepat. Nina tidak ingin mengajak siapapun. Ia hanya ingin sendiri saja. 

Nina baru berjalan dua langkah dari tempatnya ketika langkahnya harus terhenti oleh kedatangan seorang pria yang baru saja masuk. Pria itu berbadan tegap dan mengenakan kaos putih ketat. Dagunya dihiasi dengan brewok tipis yang menambah penampilan maskulinnya. Ia terlihat celingukan sesaat dan akhirnya menebarkan senyum lebar ketika melihat orang yang dicarinya. Ia melambaikan tangan dan berjalan menghampiri dengan wajah riang.

“Nina Amalia,” sapa pria sambil tetap mempertahankan senyumnya. “Masih sama seperti tiga tahun yang lalu. Cantik dan elegan.” Pria itu mengulurkan tangannya yang hangat.

 “Terima kasih Doni. Cantik iya, tapi elegan kurang tepat,” balas Nina tertawa sambil menjabat tangan pria didepannya. Nina langsung mengenali pria itu. Stella sahabatnya, mengenalkannya tiga tahun lalu pada suatu acara event promo di sebuah mall di Surabaya.

Doni hanya tertawa saja mendengarnya. Ia selalu menyukai rasa percaya diri pada wanita ini. “Apa kabar selama tiga tahun ini?” Doni mencoba membuka diskusi.

“Aku baik-baik saja seperti yang kau lihat. Tidak ada yang berubah dalam hidupku. Masih orang yang sama seperti yang kau temui tiga tahun yang lalu,” jawab Nina dengan suara datar sesuai dengan suasana hatinya saat itu. “Aku justru penasaran apa yang dilakukan orang Surabaya di ibukota ini?” 

“Aku tidak di Surabaya lagi. Aku sudah setahun di Jakarta.” ucap Doni. “Stella memberitahuku kalau kau masih kerja di tempat ini. Aku mengira kau sudah pindah kerja ke tempat lain.”

Nina mendesah dengan nafas berat. “Sebenarnya aku berharap begitu. Tapi seperti yang kau liat, aku masih di sini. Dan mungkin akan tetap di sini sampai sisa hidupku.”

Doni tertawa. “Jangan berkata seperti itu. Mohon maaf sudah mengganggumu. Tapi kulihat kau hendak pergi. Ada janjian dengan orang lain?” Doni merasa ia datang di waktu yang salah.

“Aku hanya berniat makan siang saja. Tapi aku tidak janjian dengan siapapun.”

“Baguslah kalau begitu. Bagaimana kalau aku ajak makan siang? Ada hal penting yang penting yang akan aku bicarakan.” 

Untuk sesaat Nina terdiam. Ia menatap mata Doni dengan perasaan bertanya-tanya. “Hal penting apa? Katakan saja.”

Seketika Doni tampak gelisah. Ia menengok ke sekelilingnya. Sepertinya ia takut ada yang mendengar. Ia ingin mengatakan sesuatu yang sangat rahasia. “Aku tak bisa mengatakan di sini. Orang lain bisa mendengarnya.” Wajah itu terlihat serius. Ada ketakutan yang memancar dari situ.

Kini giliran Nina yang menjadi gelisah. “Apa ini menyangkut diriku?” tanya Nina keheranan. Ia sama sekali tidak bisa menebak apa yang akan dikatakan Doni. 

“Ya. Ini melibatkan dirimu—atau lebih tepatnya ini akan melibatkan dirimu.”

Nina menerutkan dahinya. “Kau bersikap aneh Doni. Kau tiba-tiba muncul lama tiga tahun dan sekarang berkata seperti ini? Kau hanya membuatku penasaran.” Nada suara Nina mulai berubah. Kali ini ia memandang Doni dengan pandangan penuh kecurigaan. 

Doni sadar tanpa sengaja ia membuat sahabatnya ini mulai waspada. Dengan segera ia mulai mengubah nada suaranya. “Oh, sesungguhnya ini cuma tawaran pekerjaan saja. Tapi aku ingin mengajakmu makan siang dulu setelah itu baru kita ngobrol.”

Nina masih belum beranjak dari lantai yang dipijaknya. “Pekerjaan? Pekerjaan apa? Katakan saja kalau cuma masalah itu. Tidak ada yang perlu dirahasiakan,” ujar Nina dengan tidak sabar. Dahinya berkerut bingung.

Doni terlihat serba salah. Tentu saja ia tak bisa mengatakannya di tempat ini. Bahkan jika ia mengucapkan kata ‘perampokan’ atau ungkapan apapun yang bisa diartikan sama, ia yakin wanita ini akan langsung menolaknya. Mereka baru saja bertemu dan tidak mungkin langsung mengatakannya. Bukan seperti ini caranya. Ia perlu waktu dan tempat yang tepat untuk mengatakan hal seperti ini. 

“Apakah kita membicarakan tentang uang?” tebak Nina.

Doni tersentak dengan tebakan Nina. Ternyata wanita bisa mencium aroma uang disekitarnya. “Tepat sekali Nina,” bisik Doni sambil mendekat. “Uang dalam jumlah banyak.” Ia tersenyum puas melihat kedua mata Nina tiba-tiba membelalak kaget seperti mata belalang. 

Nina hanya melongo dengan mulut setengah terbuka selama dua detik. Ia merasa denyut adrenalinnya tiba-tiba bergejolak kencang. 

Doni yang melihat reaksi Nina hanya mengangkat kedua tangannya. “Jika kau tidak berminat mungkin aku bisa mencari orang lain.” Dan dengan gerakan dibuat-buat Doni memutar tubuhnya dan hendak berlalu dari situ. 

 “Hei Doni, apakah kau suka sukiyaki?” kata Nina sambil mengejar Doni. Sikapnya tiba-tiba berubah ramah.

Doni membalikkan tubuhnya. “Aku suka apa saja,” jawab Doni senang. Taktik kecilnya berhasil.

“Aku tahu tempat makan yang enak.”

“Kau datang kemari membawa mobil?”

“Tidak. Aku kemari naik taksi.”

“Kalau begitu kita naik mobilku saja.” Usulan Nina diterima dengan senang hati oleh Doni.

 Nina berjalan menuju tempat parkir di halaman belakang. Doni berjalan mengikutinya sambil geleng-geleng kepala. Doni menarik satu pelajaran penting. Ternyata semua wanita itu sama saja. Mereka hanya mencintai uang.

Sesaat kemudian mereka berdua sudah berada di kabin mobil beraroma lavender. Mereka bergerak pelan di keramaian jam istirahat siang. 

 “Aku tak menyangka sales terbaik Toyota bisa memiliki mobil Honda.”

Lihat selengkapnya