Delapan Bidak

Jimmy Alexander
Chapter #4

Bab 3

Memlilih anggota untuk menjalankan rencana perampokan ini merupakan salah satu bagian paling vital—dan juga paling sulit. Sebab hidup dan mati sangat bergantung dari kepercayaan semua anggota. Selain Nina, Doni hanya memiliki satu teman yang bisa dipercaya. Nama lengkapnya Muhamad Iqbal namun teman-temannya lebih suka memanggilnya Edi dengan alasan yang tidak diketahui seorangpun. Walaupun memiliki wajah yang terkesan bodoh, namun kecerdasannya tidak seperti penampilannya. Edi pernah bekerja sebagai supervisor di sebuah swalayan besar sampai akhirnya harus dikeluarkan karena masalah kedisiplinan. Doni terakhir bertemu dengannya sekitar sepuluh tahun lalu dan ia tidak pernah mendengar kabarnya lagi. Lewat pencarian media sosial Doni mengetahui jika sahabatnya itu saat ini bekerja sebagai perawat hewan di kebun binatang Ragunan. Dari foto-fotonya tampaknya ia memiliki seorang putri yang berusia tujuh-delapan tahun. Awalnya Doni berniat menghubungi temannya melalui ponselnya, akan tetapi akhirnya ia mengurungkannya. Jauh lebih baik ia langsung saja menemuinya di tempat kerjanya. Ia kenal Edi. Edi bisa menghindar bertemu dengan siapapun jika ia merasa tidak nyaman.

Doni tiba di kebun binatang Ragunan pada pukul 11 siang. Ia tidak kesulitan tempat parkir karena hari itu pengunjung cukup sepi. Setelah membayar tiket masuk Doni memutuskan untuk bertanya pada salah satu petugas keamanan yang ditemuinya. Mencari orang di tempat seluas ini tampaknya usaha yang sia-sia. Dari informasi yang diperoleh, Edi yang dicarinya adalah petugas kebersihan.

“Petugas kebersihan?” Doni sempat tertegun. “Mungkin. Orangnya ramping, berkulit gelap, tinggi rata-rata.” Doni memberikan ciri-ciri fisik sahabatnya.

“Iya benar. Orangnya seperti itu.” Petugas satpam itu kemudian memberikan rincian lokasi di mana Edi bertugas. 

Setelah mengucapkan terima kasih Doni bergegas menuju tempat yang ditunjukkan. Sebelum mencapai taman satwa anak yang dimaksud, ia melihat kawannya yang sedang dicarinya.

Mengenakan rompi berwarna hijau, Edi terlihat cekatan melaksanakan tugasnya. Wajah muramnya yang khas kini terlihat lima tahun lebih tua dari terakhir kali Doni melihatnya. Kerasnya hidup ternyata bisa mempengaruhi penampilan fisik seseorang. Doni yakin ia tidak akan mengenali Edi jika ia melihatnya ditempat lain. Kehadiran Doni yang hanya berjarak sekitar 20 meter tampaknya tidak disadari olehnya. Awalnya Doni ingin memanggilnya namun akhirnya ia memutuskan untuk menunggu saja di bangku taman yang berada di sisi jalan sambil menikmati pemandangan sekitar dan orang-orang yang berlalu lalang. Ia tidak ingin mengganggunya. Ia punya banyak waktu. Lagipula terlihat bahwa pekerjaannya tidak lama lagi selesai. 

Doni hanya membutuhkan enam menit sampai akhirnya Edi menyadari kedatangannya. Awalnya Edi tidak mengenalinya, namun ketika Doni melambaikan tangannya akhirnya ia menyadari sahabat lamanya ini datang mengunjunginya.

Edi terkejut dan bertanya-tanya dalam hati maksud kunjungan Doni di tempat ini. Edi memberi isyarat agar menunggunya karena tidak lama lagi pekerjaannya selesai.

Doni mengganguk setuju. Ia mengenal betul sahabatnya ini yang selalu bertangung jawab terhadap pekerjaannya. Setelah menyelesaikan pekerjaannya Edi berjalan santai menghampiri kawan lamanya itu. Wajah muramnya kini berubah ceria namun hatinya diliputi tanda tanya besar. 

Apa yang membuat Doni mencarinya hingga kemari? Mengapa setelah sepuluh tahun berlalu, baru sekarang Doni mau menemuinya?

“Apa kabar Doni?” sapa Edi sambil menjabat tangan sahabatnya.

 “Sudah lama sekali.” kata Doni. Edi mengambil tempat di bangku kayu disamping Doni. Walaupun mereka berdua merupakan sahabat karib di waktu lalu, namun suasana canggung terasa menyelimuti mereka. Perpisahan mereka selama bertahun-tahun ternyata sedikit mempengaruhi hubungan mereka.  

“Setelah sekian lama akhirnya kita bertemu lagi.” Edi tersenyum sambil memandang Doni. "Berapa lama kita tidak bertemu? Sepuluh tahun?”

“Ya. Sepuluh tahun.”

Edi tersenyum. Sambil menatap kearah Doni ia berkata, “Sepuluh tahun itu waktu yang lama. Kau tidak mencariku karena merindukanku bukan?”

Doni tertawa. Suaranya mencairkan rasa canggung yang tadi tercipta. “Kau mengenalku Edi. Bagaimana keadaanmu selama sepuluh tahun ini? Aku jarang bertemu kawan-kawan lama jadi aku tidak mendengar kabar tentangmu.”

“Aku juga jarang bertemu kawan-kawan lama. Jika mereka melihatku di sini mereka cenderung pura-pura tidak melihatku jadi aku juga terpaksa pura-pura tidak melihat mereka. Jadi kurasa cukup adil.” Edi tertawa mendengar perkataannya sendiri. Suaranya tawanya terdengar getir.

Doni hanya tersenyum. Ia memandang daun-daun di dekat kakinya. Ternyata kawannya ini punya masalah hidup yang lebih berat darinya.

“Kau pasti tidak menyangka jika aku bekerja di sini bukan?” Akhirnya kata-kata itu keluar juga. 

Doni sesaat terdiam. Ia hanya memandang wajah sendu itu melampiaskan masalah yang dihadapinya. “Aku mengetahuinya dari facebookmu. Aku hanya mengira kau bekerja sebagai perawat hewan.”

Edi tertawa. “Bagaimanapun aku menghargai kedatanganmu. Kau satu-satunya teman lama yang mengajakku ngobrol.”

“Eh ngomong-ngomong bagaimana dengan anakmu? Siapa namanya?"

“Lisa. Ia tinggal bersama ibunya saat ini. Aku dan ibunya saat ini sudah pisah. Ibunya sudah menikah lagi.”

“Aku dengar kabar itu. Sungguh disayangkan."

“Tak ada yang perlu disayangkan. Semua sudah harus seperti itu.”

“Berapa umurnya sekarang?”

“Delapan tahun.”

“Apakah ia bahagia tinggal bersama mereka?”

“Sesungguhnya dia lebih suka tinggal denganku. Tetapi karena aku belum memiliki penghasilan yang layak, aku dan ibunya sepakat kalau Lisa akan tinggal bersama ibunya.”

“Dan ayah tirinya,” sambung Doni cepat. “Biasanya pria tidak suka jika istrinya membawa anak dari pernikahan sebelumnya.”

“Kulihat ia bisa menerima. Karena ia juga seorang duda dan memiliki seorang anak perempuan yang berumur sepuluh tahun. Jadi setidaknya Lisa memiliki seorang teman.”

“Apakah ia akur dengan mereka?” tanya Doni berbasa-basi.

“Oh tidak. Mereka selalu ribut. Dari masalah pakaian sampai urusan sekolah.”

“Ternyata benar kaum wanita selalu ribut.” Doni menyimpulkan sambil tersenyum.

Edi hanya tertawa mendengar kelakar itu. “Jadi apa yang membuatmu datang mengunjungiku setelah sepuluh tahun? Kau mengunjungiku bukan hanya ingin mengetahui keadaanku bukan?”

Doni bingung harus memulai dari mana. Ia mengusap kepalanya sambil mengumpulkan keberanian.

“Begini Edi, aku ngin kau membantuku—atau lebih tepatnya membantu kita berdua.” Doni berhenti sejenak. Ia melihat sekeliling dengan gelisah. Ia takut pembicaraan mereka terdengar orang lain.

Edi yang mengenal Doni sejak di bangku kuliah sangat mengenali sikap sahabatnya ini. “Kau tidak terlibat dalam masalah bukan?” 

“Oh tidak. Sama sekali tidak,” jawab Doni sambil berusaha meredam sikapnya. Air muka Doni tiba-tiba berubah menjadi serius. 

Edi menegakkan tubuhnya menunggu penjelasan Doni. Tampaknya sahabatnya ini ingin mengungkapkan sesuatu yang penting.

“Aku ingin kau membantuku mengerjakan sebuah pekerjaan dalam satu atau dua bulan kedepan.” 

“Pekerjaan apa? Kuharap lebih baik dari pekerjaanku ini.” 

“Tentu saja. Imbalannya jauh lebih besar.” 

“Pekerjaan apa? Berapa gajinya? Aku takut kau mencari orang yang salah.”

“Aku tidak mencari orang yang salah. Imbalannya satu miliar," ujar Doni dengan yakin.

Edi terperangah heran namun tiga detik kemudian dia tertawa lepas. “Tidak ada pekerjaan dengan imbalan sebesar itu, kecuali kita disuruh merampok bank.”

Doni terperangah mendengar perkataan Edi. Ia sama sekali tidak menyangka temannnya itu tidak sengaja menebak dengan tepat hal yang ingin disampaikannya.

Melihat Doni dengan mimik wajah serius, Edi menghentikan tawanya. Ia mengira ada yang salah dengan sikapnya. Ia sama sekali tidak menyadari jika tebakannya tepat.

“Maaf aku hanya bergurau. Aku tidak bermaksud merendahkan bantuanmu,” kata Edi serba salah. Namun air muka Doni tidak mengalami perubahan. “Pekerjaan apa yang bisa kubantu? Kurasa aku tidak merasa memiliki keahlian yang bisa dihargai dengan nilai seperti itu.”

 “Kau benar sekali. Kita akan merampok bank.” Doni mengucapkanya dengan suara pelan dan cepat. 

Edi tersentak kaget. Ia langsung berdiri sambil memandang Doni. Ia sudah merasakan bahwa apa yang akan dikatakan oleh Doni bukanlah pekerjaan baik-baik, namun ia sama sekali tidak menyangka apa yang baru saja didengarnya. Ia membutuhkan beberapa detik untuk menguasai dirinya. “Perampokan? Kau gila? Kau datang menemuiku setelah sepuluh tahun hanya untuk mengatakan hal ini? Kau bisa saja menjebloskan kita ke penjara dengan ide gilamu itu.”

Lihat selengkapnya