Delapan Bidak

Jimmy Alexander
Chapter #5

Bab 4

Doni memandang kumpulan manusia unik di hadapannya. Dengan rentang usia 23 sampai 35 tahun mereka terlihat lebih mirip sekumpulan pengangguran daripada perampok profesional. Doni mengumpulkan mereka di lantai dua sebuah rumah makan. Ruangannya cukup besar dan diperkirakan dapat menampung sampai 40 orang. Ruangan ini biasa disewa oleh kantor-kantor untuk melaksanakan presentasi sekaligus jamuan makan. Dan untuk itulah Doni mengumpulkan mereka.

Dilihat dari gerak-gerik mereka Doni yakin sebagian dari mereka belum pernah masuk ke rumah makan mewah seperti ini sebelumnya. Tidak satupun yang duduk diam, semuanya bergerak mengamati segala sesuatu yang mereka jumpai di sana. Dari akuarium sampai patung naga di sudut ruangan tak luput dari pengamatan mereka.

Tiba-tiba Doni tersadar. Keraguan menyerang dirinya. Apakah tugas seberat ini harus diserahkan kepada mereka? Ia memang meminta Edi mencari orang-orang terbaiknya.

“Edi,” pangggil Doni dengan suara pelan.

Edi menoleh lalu datang mendekat. Ia menggambil kursi dan meletakkannya di samping Doni. Ia bisa merasakan kegelisahan kawannya ini.

“Apakah teman-temanmu ini bisa kau percayai?” Doni memandang Edi dengan penuh harap. Kecemasan tampak membayang di wajahnya.

“Ya. Tentu saja. Mereka semua teman-teman dekatku. Sebagian dari mereka bahkan berhutang budi padaku,” kata Edi menjelaskan.

“Jadi kau sudah mengatakan rencana kita,” kata Doni menyimpulkan.

“Ya. Aku sudah mengatakan garis besarnya. Hanya saja mereka masih penasaran dengan detilnya. Sama seperti aku. Dan untuk itulah kita berkumpul di sini.”

“Tapi apakah teman-temanmu ini punya catatan kriminal sebelumnya atau pernah terlibat tindakan kekerasan lainnya?” tanya Doni masih ingin tahu.

“Tidak ada. Teman dekatku Bakri pernah terlibat beberapa perkelahian namun ia tidak ditahan. Itu hanya masa lalulnya, kini ia sudah berubah.”

“Baiklah kalau begitu. Aku hanya takut jika mereka terlibat kasus kriminal berat seperti pembunuhan. Mereka bisa menyebabkan kesulitan-kesulitan yang tidak perlu nantinya.”

“Dengar Doni.” Edi mendekatkan wajahnya. “Kami mungkin bukan orang-orang seperti yang kau harapkan. Tapi kami berenam saling mempercayai. Kami butuh uang itu dan kami mau berjuang untuk itu. Aku tidak tahu kalau ada yang lebih penting dari kepercayaan.”

Doni terdiam sesaat mendengar kata-kata kawan lamanya itu. Bagaimanapun Edi benar. Kepercayaan adalah yang paling utama. “Aku tahu ini tidak akan mudah Edi. Tapi apakah mereka bisa melakukannya?” “Mereka bisa belajar Doni. Aku yakin mereka bisa.”

Aku harap kau benar Edi. Kita akan membuktikannya.

Kemudian Edi memperkenakan mereka sebagai Bakri, Saleh, Anto, Andre, dan Tarmin.

Bakri, sahabat dekatnya, merupakan rekan kerjanya Edi yang telah dikenalnya hampir tiga tahun teakhir. Dibekali tampang kriminal sejak lahir dan postur kekar, Bakri muda merupakan bekas preman dan petarung jalanan yang ditakuti di kawasan Cengkareng. Nyaris tidak ada yang ditakutinya. Hanya nasib baik saja ia belum pernah dijebloskan ke sel tahanan. Perjumpaannya dengan Edi merupakan salah satu titik balik dalam hidupnya. Edi menyelamatkannya dari narkoba. Ia merasa berhutang nyawa atas itu. Karena itulah ia menyerahkan rasa hormat dan kesetiaannya pada Edi.

Saleh adalah pria bertubuh gempal dengan mimik muka ceria. Seperti yang tercermin dari namanya, merupakan pria yang taat dalam hal-hal yang spiritual. Meskipun tidak bisa dikatakan tampan, nyatanya ia telah menikah 3 kali dan juga bercerai 3 kali. Pekerjaannya saat ini adalah sopir bus antar kota. Menurut pengakuannya, pekerjaannya selama 12 tahun terakhir selalu identik. Ia pernah menjadi tukang ojek, sopir truk, sampai operator alat berat. Kelebihannya yang diakui semua orang adalah ia selalu dapat menghidupkan suasana dan memiliki koleksi lelucon tanpa batas. Ia adalah tetangga Edi. Mereka sering menghabiskan malam dengan permainan catur dan segelas kopi.  

Tarmin adalah pria perantauan berasal dari daerah Bugis. Cukup cerdas dan terkadang memiliki ide-ide yang yang tidak terduga. Ia merupakan kerabat jauh dari Bakri. Saat ini ia belum memiliki pekerjaan tetap dan masih tinggal seatap dengan Bakri. Bakri sering mengajaknya bekerja ke kebun binatang pada saat ramai pengunjung.

Anto juga merupakan teman sekerja Edi sebagai di kebun binatang. Ia baru bekerja di sana selama tujuh bulan. Tugasnya adalah merawat binatang dan membersihkan kandang. Ia bekerja sebagai perawat binatang bukan karena keahliannya atau kecintaannya terhadap dunia satwa, melainkan karena hanya lowongan itu yang tersedia di sana. Ia bahkan setuju bergabung dengan kelompok ini dengan alasan hal itu bisa menjauhkannya dari binatang buas.

Andre awalnya sebagai satpam di salah satu kompleks perumahan. Kebiasaanya yang terkadang tidak disiplin membuatnya dipecat oleh perusahaan outsourcing. Namun karena relasinya yang cukup luas saat ini ia bisa bekerja sebagai satpam di sebuah supermarket di Jakarta.

Nina memperhatikan Edi dan kawan-kawannya dengan seksama. Pakaian, cara berkomunikasi, dan gerak-gerik mereka tak luput dari pengamatannya yang tajam. Tak lama kemudian ia datang menghampiri Doni. Wajahnya tampak menyeringai sinis. “Kau yakin dengan mereka?” Nada suaranya pelan agar tidak terdengar oleh kawan-kawan Edi. 

Doni bimbang. Wajahnya masih memancarkan keraguan seperti yang dilihat Nina.

“Kulihat kau juga tidak yakin dengan mereka. Di mana kau mendapatkan mereka?”

“Mereka semua kawan-kawan Edi.”

Nina menatap Doni keheranan. “Mengapa kau tidak mencarinya sendiri? Kau mempercayakan tugas sepenting ini pada kawanmu?”

“Aku tak punya banyak kawan untuk hal-hal seperti ini,” sahut Doni singkat.

“Aku hanya khawatir saja. Aku ragu mereka nanti akan setia padamu. Sebab bisa saja mereka tidak mematuhimu sebab di mata mereka Edi adalah pemimpin mereka.”

“Tetapi Edi akan mematuhiku,” protes Doni.

Nina diam selama beberapa waktu sambil tetap mengawasi gerak-gerik mereka. “Kuharap begitu Doni.”

Doni mendengus kesal. Ia seakan melepaskan beban yang berat yang hinggap di pundaknya. Ia menatap mereka yang masih sibuk dengan diri mereka masing-masing.

“Baiklah kawan-kawan aku minta kalian bisa duduk dulu. Ada yang mau aku sampaikan.” Doni memanggil mereka dan tak lama kemudian kawanan itupun duduk dengan teratur. 

Kini tujuh pasang mata memandanginya. Tak satupun bersuara.

Sekilas Doni melihat jam dinding di belakangnya. “Sebelum mulai aku hanya ingin bertanya. Kalian pilih mana, apakah kita mulai presentasi atau kita makan siang lebih dulu?”

Tawaran konyol, pikir mereka. Tanpa pikir panjang tujuh perut yang sudah kelaparan itupun memilih opsi kedua.

“Baiklah kalau itu pilihan kalian. Aku juga sudah lapar,” sahut Doni senang. Doni beranjak pergi menemui pelayan di ruangan sebelah. Ia memberikan waktu bagi Nina dan kawan-kawan barunya untuk saling mengenal.

Ruangan yang semula tenang berubah menjadi sedikit riuh. Nina satu-satunya wanita dan memiliki paras cantik segera menjadi pusat perhatian.

“Jadi ibu yang bernama Nina. Doni sudah menceritakan tentang ibu. Namaku Edi.” Edi yang berada tepat di depan Nina membuka percakapan dengan santun kemudian mengulurkan tangannya. 

“Mudah-mudahan ia menceritakan hal-hal yang baik tentangku.” Nina tersenyum.

“Tentu. Aku tak tahu ia punya banyak teman yang cantik,” puji Edi.

“Tidak. Ia punya banyak teman tapi hanya aku yang cantik.” Nina menyambut pujian Edi dengan kelakarnya. Rasa percaya dirinya kini sudah tampak. Dan ini memang senjata utamanya.

Edi tertawa. “Ini adalah kawan-kawanku. Doni meminta aku untuk membawa mereka kemari. Mereka adalah kawan-kawanku yang terpercaya.” Edi memperkenalkan kawan-kawannya kepada Nina. 

Kelima orang itu berebutan bersalaman dengan Nina sambil memperkenalkan nama mereka masing-masing.

Seperti biasa Nina hanya tersenyum saja melihat tingkah mereka. “Panggil saja aku Nina. Umur kita mungkin kurang lebih sama. Kedepan kita akan punya banyak waktu bersama.”

“Yah kuharap begitu. Kita akan saling mengenal lebih jauh,” sahut Edi. Kawan-kawannya hanya mengamati saja Edi berbincang dengan Nina. Kelihatannya mereka masih sedikit enggan untuk masuk dalam obrolan ringan ini.

“Apakah mereka sudah tahu tujuan mereka datang kesini?” tanya Nina pada Edi.

“Sudah,” jawab Edi, “tetapi tidak secara detil. Umumnya mereka mau ikut tetapi mereka perlu mendengar langsung penjelasan Doni. Yah, selanjutnya biarkan mereka yang putuskan.”

Percakapan mereka selanjutnya diisi seputar masalah pekerjaan dan kehidupan pribadi walaupun tidak terlalu mendalam.

“Jadi Nina saat ini masih aktif bekerja sebagai sales?” tanya Edi. “Apakah itu berarti anda akan mengorbankan pekerjaan tetap anda?”

“Mengapa tidak? Jika imbalannya setimpal atau lebih besar aku akan mengambil resiko itu. Lagipula pekerjaanku sales. Jika punya record penjualan yang baik seorang sales tidak perlu takut untuk berhenti. Kami biasa untuk pindah dari perusahaan satu ke perusahaan lain. Itu lumrah saja.”

“Kalau begitu bisa kukatakan Nina lebih beruntung dibandingkan kami. Sebagian besar dari kami belum memiliki pekerjaan tetap. Jadi kami tidak keberatan mau bergabung di sini. Mereka hanya ingin tahu seberapa besar resikonya saja.”

Tepat saat itu pintu di ruangan terbuka dan dua pelayan berseragam masuk membawa makanan pesanan. Doni mengikuti mereka dari belakang.

“Kuharap ini makanan ini cukup untuk kita,” ujar Doni.

Kedua pelayan itu dengan cekatan menyajikan makanan di atas meja. Edi dan kawan-kawannya takjub ketika melihat aneka makanan yang tersaji.

Serigala-serigala kelaparan itu menggeliat dengan tidak sabar. Namun mereka masih diam tidak bergerak. 

“Makanan sebanyak ini bisa untuk seminggu,” bisik Tarmin melihat banyaknya menu yang disajikan di hadapan mereka.

Lihat selengkapnya