Delapan Bidak

Jimmy Alexander
Chapter #6

Bab 5

Doni tersentak dari tidurnya. Wanita yang berada disisinya meliriknya dengan kaget lalu kembali menatap majalah Cosmopolitan di tangannya. Doni melihat ke depan, lalu melirik jam tangan Daniel Wellington miliknya. 

Masih 75 menit lagi. 

Bulan lalu ia sudah melakukan penerbangan ke Palu dan ia merasa perjalanan tiga jam masih terasa lama baginya. Celakanya ia tidak tahu bagaimana menghabiskan kejenuhan saat ini. Ia memutar tubuhnya ke belakang mencoba mengamati seluruh rekan-rekannya. Hanya Edi yang masih terjaga, matanya menatap sisa-sisa gumpalan awan yang terbelah oleh sayap pesawat.

Ia mungkin teringat anak perempuannya. 

Seorang balita di depannya menatapnya tak berkedip. Doni mencoba tersenyum tetapi anak itu tetap menatapnya tanpa ekspresi. Doni mencoba membayangkan percakapan imajiner yang mungkin terjadi di antara mereka.

“Hai nak aku Doni, siapa namamu?”

“Aku Bella.”

“Apa keperluanmu datang ke Palu?”

“Aku mengunjungi ayahku. Kalau kamu?”

“Aku datang untuk merampok bank.”

“Hati-hati kamu bisa masuk penjara.”

“Aku tidak akan masuk penjara.”

“Kalau begitu kamu akan terbunuh.” 

“Aku juga tidak akan terbunuh.”

“Kamu keliru.”

Doni tersenyum dengan imajinasinya sendiri. 

Tepat saat itu suara pramugari mengumumkan bahwa pesawat sebentar lagi akan mendarat di Bandara Mutiara Sis Al-Jufri Palu.

Nina, Edi dan kawan-kawannya menggeliat bangun. Ketika mereka mengarahkan pandangan mereka melalui kaca pesawat, tampak pemandangan yang mengerikan. Sisa-sisa bencana gempa bumi masih terlihat dengan jelas. Suatu kawasan pedesaan yang dulu hijau kini berubah menjadi gundukan tanah akibat likuifaksi. Rumah-rumah terlihat bertumbangan tak beraturan, lainnya hilang ditelan bumi. Semakin dekat pemandangan itu terlihat semakin jelas dan mengerikan. Semua penumpang menahan nafas merasakan kengerian yang terjadi pada saat itu.

Beberapa detik kemudian kemudian tubuh mereka tersentak ketika roda pesawat Boeing 737 mendarat dengan mulus. Semua penumpang merapikan pakaian yang kusut dan bersiap untuk turun. 

Doni sekali lagi menoleh ke belakang. Sekedar memastikan kondisi seluruh anggotanya.

Petualangan siap dimulai.

Cuaca panas 32 derajat celcius menyambut mereka ketika turun dari tangga pesawat dan menapak bumi. Cuaca panas di kota ini berlangsung nyaris selama setiap hari. Bahkan ada yang berkelakar bahwa dalam setahun hujan di kota ini bisa dihitung dengan jari tangan. Nina yang hampir seluruh hidupnya dihabiskan di ibukota butuh waktu untuk menerima fakta ini.

Udara dingin air conditioning menerpa wajah dan tubuh mereka ketika mereka memasuki bandara. Nina memberitahu bahwa ia harus ke ruang pengambilan bagasi dulu, karena ia satu-satunya di rombongan yang menitipkan barang di bagasi. Para portir berlarian tidak sabaran berniat membantu mereka. Salah satu portir bahkan sedang mendekati Nina hendak menawarkan bantuan dengan sedikit memaksa. Doni memberikan isyarat dengan tangannya sehingga portir itu mundur menjauh. Pesona kecantikan yang dimiliki Nina tampaknya menjadi daya tarik tersendiri.

“Kita tidak bisa terlalu dekat dengan siapapun di kota ini. Orang-orang tidak boleh mengenal wajah kita,” gumam Doni ketika mendekati Nina.

Mereka menatap langit-langit Bandara yang runtuh di beberapa bagian. Bahkan lantai-lantainya juga ada yang pecah. Cukup beruntung Bandara ini masih dapat beroperasi melayani penerbangan. Mereka baru menyadari bahwa pengaruh gempa bumi meluas ke semua tempat. 

Hal yang paling menyenangkan dari Bandara Mutiara ini adalah letaknya yang berada di pusat kota. Di sepanjang perjalanan mereka mengamati sisa-sisa kerusakan akibat gempa yang terjadi pada 28 September tahun lalu. Sejumlah toko, rumah penduduk, gedung perkantoran yang mereka lewati hancur. Bahkan aspal jalanan yang mereka lewati rusak di beberapa bagian. Jika selama ini mereka hanya bisa melihat di televisi atau di media online, kini mereka menyaksikan langsung sisa-sisa kerusakan tersebut. 

Seluruh penumpang mengamati terlihat mengamati pemandangan yang baru bagi mereka. Kecuali Doni, ketujuh orang ini memang belum pernah ke kota ini sebelumnya. Para pendatang yang berkunjung ke kota ini memang jarang datang dengan tujuan wisata atau tujuan relatif kurang penting. Umumnya orang-orang yang datang karena tujuan pekerjaan, bisnis, atau kepentingan keluarga. Dan semua penumpang itu punya kesan pertama yang berbeda-beda tentang kota ini. 

Nina yang duduk di kursi depan mengamati mobilitas warga di sepanjang jalan yang dilewati. “Bagaimana keadaaan warga di sini setelah gempa? Kulihat mereka sudah bekerja dan beraktivitas seperti biasa,” tanya Nina pada sopir yang duduk di sampingnya.

“Sebagian dari yang terlihat memang sudah seperti itu. Tetapi sebagian warga yang tempat tinggalnya hancur atau rusak tinggal di tempat pengungsian sementara. Ada lokasi-lokasi tertentu yang digunakan untuk lokasi pengungsian sementara. Sebagian besar kantor pemerintahan sudah dibuka namun sebagian lagi belum karena kantornya mengalami kerusakan yang cukup parah dan sewaktu-waktu bisa roboh sehingga dapat membahayakan pegawainya. Toko-toko juga sudah buka.” Di sepanjang perjalanan sopir itu bercerita tanpa henti tentang bencana yang terjadi. Sikapnya yang ramah dan tutur katanya yang santun membuatnya cepat dekat dengan penumpang. 

 Akhirnya kedua taksi bandara itu berhenti di sebuah ruko bercat kuning yang terlihat kusam yang di apit oleh gedung kantor asuransi dan sebuah minimarket. Nina dan kawan-kawan memandang ruko itu. Terlihat seperti lama tidak ditinggali. Ada bercak air di dinding depan. Di lantai dua terdapat teras dengan kanopi di atasnya. 

Setelah mereka menurunkan semua barang-barang bawaan mereka, Doni mengeluarkan uang dari dompetnya dan membayar taksi itu.

“Terima kasih pak,” kata Sopir itu. “Jika butuh bantuan kendaraan anda bisa menghubungi saya.” Sopir itu mengeluarkan kartu namanya dan memberikannya kepada Doni.

Sambil tersenyum Doni menerima kartu nama itu. “Pasti pak. Jika kami perlu kendaraan bapak akan kami hubungi. Terima kasih.” kata Doni berbasa basi.

Selanjutnya Doni menghampiri kawanan yang tidak sabar ingin melihat tempat hunian yang baru. Mereka seperti anak sekolah dasar yang baru datang ke sekolah setelah liburan panjang.

Aroma pengap dari dalam bangunan mengambur keluar ketika pintu dibuka. Debu dan sarang laba-laba terlihat menggantung di mana-mana. Ruko itu merupakan bangunan dua lantai dengan panjang 12 meter. Saleh dan Edi memeriksa halaman belakang sedangkan yang lain bergerak ke lantai dua. Mereka membuka jendela-jendela dan pintu-pintu membiarkan udara segar mengalir masuk mengisi ruangan. 

Hanya butuh usaha sedikit saja untuk membuat tempat ini menjadi nyaman, pikir Nina. 

Namun apa yang membuat mereka terkejut bukanlah sedikit heran adalah mobil Toyota Innnova hitam dan mobil Suzuki APV putih terparkir di dalam ruko. Kedua mobil itu terlihat berdebu karena sudah ditinggal.                                                            

“Ini mobil operasional kita,” kata Doni memperkenalkan. “Kita akan melarikan diri dengan menggunakan mobil ini.” Ketujuh kawannya ikut-ikutan mengurubungi kedua mobil itu. 

“Apakah kita akan mengangkut 20 miliar dengan mobil ini?” tanya Saleh menunjuk minibus APV. 

“Tidak. Kita akan menggunakan mobil sewa. Kita akan menggunakan mobil ini untuk mengangkut uang ke tempat persembunyian kita,” kata Doni memberi penjelasan.

 “Apakah aku yang bertugas membawa mobil ini?” tanya Saleh menunjuk mobil Innova.

“Tidak. Kau yang akan mengemudikan yang satunya. Kau akan bertugas membawa mobil pengangkut uang,” jawab Doni. “Kuncinya ada di dalam.”

Saleh membuka pintu mobil dan menyalakan mesinnya. “Aku harap mobil ini tidak bermasalah pada saat kita mengangkut uang itu.”

“Oh, tidak. Mobil ini memang hanya mobil bekas tetapi mesinnya sama sekali tidak ada masalah. Aku sudah mencobanya selama tiga hari. Mobil ini baru berumur lima tahun jadi kondisinya masih sangat bagus.”

 “Apakah mobil ini muat untuk mengangkut uang sebanyak 20 miliar?”

Doni membuka pintu samping dan ikut melongok ke dalam minibus itu. “Tentu saja muat. Tapi kita harus melepas bangku tengah dan belakangnya,” jawab Doni memberi instruksi.

“Mungkin cukup kursi belakang saja.” Saleh mencoba memberi saran.

“Jangan. Aku tak yakin uangnya akan muat. Apalagi kalau uangnya terdapat pecahan lima puluh ribu bisa jadi mobil ini akan penuh sesak.”

“Kalau tidak muat kita bisa memindahkannya sebagian ke mobil satunya,” usul Saleh.

Lihat selengkapnya