Delapan Bidak

Jimmy Alexander
Chapter #7

Bab 6

Keesokan harinya, selesai sarapan, ketujuh lelaki berkumpul di ruang tengah—siap menerima instruksi. Doni mengambil pulpen dan kertas yang sudah disiapkannya. 

“Di mana Nina?” tanya Doni ketika ia melihat ada anggotanya yang kurang.

Tak satupun yang sempat menjawab karena mereka melihat wanita yang dicari menuruni tangga dengan santainya. Anak rambutnya yang masih basah menandakan ia baru saja selesai mandi. Saleh dan Bakri hanya menelan ludah.

Doni yang sedikit gusar hanya memelototi wanita itu tanpa mengeluarkan suara. Ia tidak menyukai siapapun yang tidak menghargai kedisiplinan. Nina mengetahui hal itu hanya diam saja dan memilih untuk tidak terlalu mempedulikannya. 

 “Ayo kita semua kumpul di sini.” Doni mengajak mereka untuk berkumpul mengelilingi meja yang biasa digunakan untuk makan. Ia akan memulai sesi paling penting tentang penjelasan rinci rencana-rencana yang akan mereka nanti. 

Semua duduk mengitari meja dan diam menunggu pengarahan dari Doni.

“Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, perampokan yang akan kita lakukan nanti tentu saja memiliki resiko besar. Hal ini harus kukatakan kembali agar kita bisa memahami resikonya. Jika tertangkap kita bisa dihukum duapuluh tahun atau bahkan hukuman mati. Karena itu kita harus merencanakan ini dengan hati-hati. Kalian harus menjalankan apa yang rencanakan.” Doni menghentikan sejenak kata-katanya, ia ingin memastikan orang-orang yang mendengarkannya bisa memahami penjelasannya. 

“Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, tidak ada pembunuhan di sini. Kita juga sedapat mungkin berusaha menghindari tindak kekerasan yang tidak perlu. Kita akan merampok salah satu bank besar di sini. Dan seperti yang sudah aku janjikan kalian masing-akan mendapatkan satu miliar.” 

Kata-kata terakhir itu walaupun sudah pernah mereka dengar sebelumnya namun terasa membakar semangat mereka. Tampaknya Doni tahu betul bagaimana menghilangkan keraguan mereka. 

“Aku akan membagi kalian dalam tiga tim. Tim pertama terdiri dari Edi dan Bakri. Kalian berdua akan kutugaskan ke Bank Kartika Donggala. Di sana kalian akan melakukan penginputan setoran 20 milyar. Tim kedua terdiri dari Tarmin dan Anto. Kalian bertugas melakukan penculikan orangtua pimpinan cabang di rumah dinas. Sedangkan tim ketiga terdiri dari aku, Nina, Saleh, dan Andre. Tim ketiga akan beraksi di Bank Kartika Palu. Nina bertugas melakukan penarikan uang 20 milyar di kasir, aku akan memastikan Pak Binsar melakukan transaksi otorisasi, Saleh bertugas sebagai sopir mobil pengangkut uang, dan Andre akan berperan sebagai polisi pengawal uang.”

Ketujuh orang itu tetap diam memperhatikan tanpa berkedip. Doni mengambil pena dan mulai mencatat poin-poin penting yang menjadi perhatian.

“Jika ada yang mau bertanya, langsung saja. Tidak masalah. Oke kita lanjutkan. Situasi di lapangan nanti bisa sedikit berbeda dari apa yang kita rencanakan di sini. Jika kalian menguasai dengan baik simulasi-simulasi yang akan kita lakukan nanti, aku yakin kalian dapat mengambil tindakan tepat dalam situasi yang berbeda dari yang kita sudah latih di sini. Kita mulai dari Bank Kartika Donggala. Aksi akan kita mulai dari sini karena dari tempat inilah yang akan menentukan aksi kita selanjutnya. Seperti yang sudah aku bicarakan sepintas di Jakarta sebelumnya tugas teman-teman di Kantor Cabang Pembantu Donggala adalah menyiapkan uang yang akan kita tarik di Bank Kartika Palu. Mungkin dari kalian ada yang bertanya kenapa kita tidak menariknya saja di Kartika Donggala? Bukankah bank itu lebih sepi dibandingkan dengan kantor induk? Jawabannya pertama karena kita tidak punya alasan kuat untuk melakukan penarikan dana sebesar itu di sana. Sebagian besar bencana gempa bumi itu terjadi di kota Palu. Jadi akan terlihat mencurigakan jika kita menarik dana di Donggala untuk kegiatan operasional di Palu. Tidak ada yang melakukan seperti itu. Penarikan dana dalam jumlah besar umumnya dilakukan di kantor induk, bukan di kantor unit seperti Donggala.”

Sejauh ini penjelasan Doni tampaknya bisa dipahami. 

“Alasan kedua karena penarikan itu butuh persetujuan atau otorisasi dari seorang Pimpinan Cabang. Aku akan berada di ruangan Pak Binsar untuk memastikan dan memaksa dia melakukan itu.”

Doni memandang Edi dan Bakri. “Kalian berdua akan menjalankan aksi pada Jumat siang karena kantor sepi pada saat itu. Nasabah-nasabah di sana hampir semuanya adalah warga lokal. Dan warga lokal tidak ada yang datang ke bank pada jam itu. Sebagian pergi shalat Jumat, sebagian lagi istirahat siang di rumah atau toko. Pegawai bank yang muslim juga akan pergi. Yang tersisa hanya pegawai wanita dan pegawai non muslim. Jadi pada jam 12 hingga jam 14.30 kantor itu praktis kosong. Itu sudah menjadi semacam tradisi puluhan tahun di sana. Inilah keuntungan kita. Hal inilah yang memungkinkan kita bisa melakukan tindakan ini. Pada saat itulah kalian masuk.”

“Kau yakin tidak ada nasabah yang akan masuk pada jam itu?” tanya Edi.

Doni menggeleng. “Aku sudah meneliti tempat itu selama sebulan.”

“Tapi kita tidak boleh mengasumsikan bahwa keadaannya selalu seperti itu. Bagaimana jika kami sudah di dalam dan melakukan transaksi tetapi tiba-tiba ada nasabah yang datang?” tanya Edi.

“Pertanyaan bagus. Jika itu terjadi kalian harus melakukan transaksi kembali. Ambil lagi slip setoran dan datang lagi ke kasir. Buat saja seakan-akan ada setoran yang terlupa. Mudah saja.”

“Apakah mereka tidak akan curiga?” 

“Tidak. Itu hal yang biasa. Kenapa mereka harus curiga? Selama ini tidak ada perampokan bank di Palu apalagi di Donggala. Mereka akan tahu terjadi perampokan jika kau sudah menodongkan pistolmu ke wajah mereka.”

Keduanya diam sejenak. Mereka mulai memahami perkataan Doni. Bagaimanapun mereka harus bertanya sejelas-jelasnya tentang segala kemungkinan yang menurutnya akan terjadi. “Lalu apa selanjutnya?”

 “Pada saat kalian berdua sudah berada di dalam, kalian harus melakukan dua hal dengan sekaligus. Pertama, Bakri harus bisa melumpuhkan satpam dengan segera dan kedua Edi harus bisa mencegah kasir menekan tombol alarm panik.” Doni berhenti sejenak untuk memastikan keduanya paham setiap detil yang dibahasnya.

“Alarm panik?”

“Ya. Alarm itu biasanya di pasang dekat kasir. Apabila terjadi perampokan mereka akan menekan alarm itu sehingga sirene akan berbunyi nyaring. Kalian harus bisa mencegah kasir melakukan itu atau usaha kita akan gagal total. Di sinilah kalian akan mengeluarkan pistol kalian. Ingat ini adalah hal terpenting dan paling vital. Kalian paham?” Doni mengucapkan dengan suara lebih lambat. Ia memastikan kedua kawannya itu memahami pentingnya tindakan mereka nanti.

Kedua orang itu mengangguk paham. Untuk sejenak Bakri memejamkan matanya, mencoba membayangkan situasi yang akan dihadapinya. 

“Kurasa aku akan gugup. Aku tak pernah membayangkan ini,” kata Bakri.

“Karena itulah kalian mesti latihan. Kita akan sering melakukan simulasi perampokan itu berulang-ulang sampai kalian yakin bisa melakukannya dengan benar. Tanpa latihan berulang kalian tidak akan bisa melakukannya. Kita punya cukup waktu di sini. Kita tidak akan beraksi sebelum kalian yakin bisa melakukannya. Sebenarnya ini tidak sesulit yang kalian pikirkan. Kalian hanya belum pernah melakukannya.”

 Edi dan Bakri saling berpandangan.

“Pikirkanlah bahwa nasib kita semua bergantung dari tindakan kalian,” kata Doni penuh harap. 

 “Bagaimana dengan satpam itu? Apa yang mesti aku lakukan dengan satpam itu?” tanya Bakri.

“Oh maaf, aku hampit lupa. Setelah kau menodongkan pistol lemparkan borgol padanya dan suruh ia memborgol dirinya sendiri. Dia harus memborgol tangannya dibagian belakang tubuhnya agar ia tidak bisa menggunakan kedua tangannya. Hati-hati jangan terlalu dekat dengannya, ia bisa saja melumpuhkanmu dengan tangan kosong. Suruh berbaring di lantai. Kau paham?”

“Ya. Seperti adegan di film?”

“Ya. Seperti adegan di film,” jawab Doni yakin sambil menatap Bakri.

Bakri mengerutkan dahinya. “Itu memang asumsi kita, tapi dia bisa saja memberikan perlawanan bukan?”

“Itu memang bisa saja terjadi. Karena itu kau harus bisa menjaga jarak. Ia tidak akan melakukan itu. Kusarankan agar kau melakukannya dengan jarak tidak kurang dari satu meter.”

“Apakah tidak lebih baik jika kita membiusnya saja?” usul Bakri.

Doni diam. Ia berpikir sesaat. “Ya. Itu usul yang baik. Tapi kau harus pastikan tangannya terikat dengan baik. Jangan melakukannya sendiri.”

Bakri mendesah dan menyandarkan tubuhnya ke kursi. “kenapa kau memilihku untuk melakukan tugas ini?”

Doni tersenyum. “Karena kau yang paling kuat dan bertubuh paling besar di antara kalian,” kata Doni, “lagipula kau lebih menyeramkan dari yang lain.”

Bakri ikut tertawaa geli. 

Edi memejamkan matanya beberapa detik. Ia mencoba membuat simulasi dalam pikirannya. Ketika ia membuka matanya ia menatap Doni. “Apakah bank itu punya toilet?” 

“Tentu saja semua bank punya toilet.” jawab Doni sambil tertawa.

“Pintunya terletak di bagian belakang atau di bagian depan?”

“Aku tak tahu. Aku tidak sempat memperhatikannnya. Kenapa?”

“Aku punya ide yang menarik.”  

Doni hanya menatapnya sambil menunggu kata-kata Edi selanjutnya.

“Bakri bisa berpura-pura terkunci di toilet. Selanjutnya aku menghubungi satpam untuk meminta pertolongan. Setelah Satpam pergi memeriksa pintu toilet aku bisa membiusnya di situ tanpa ketahuan yang lainnya,” usul Edi. 

 “Usul yang menarik,” ujar Doni sambil mencoba membayangkan kejadian itu, “tapi kita akan memastikan itu menjelang hari pelaksanaan.”

Edi mengangguk paham.

“Setelah kalian melumpuhkan satpam, kalian segera menunci pintu dan gantung tulisan ini di pintu dari bagian dalam.” 

Doni mengambil selembar kertas di meja dan kemudian menuliskan sebuah kalimat.

MOHON MAAF JARINGAN KAMI SEDANG OFFLINE. 

“Untuk apa ini?” tanya Edi kebingungan.

“Tulisan ini akan mencegah orang lain masuk ke dalam bank.”

Nina mengambil kertas itu dari tangan Doni dan memandangnya selama beberapa detik. “Apakah orang-orang bisa memahami ini?”

“Ya, tentu saja. Pengumuman seperti itu biasa diberikan kalau bank mengalami kendala-kendala teknis sehingga tidak bisa melakukan pelayanan transaksi.”

“Baiklah. Aku hanya khawatir saja pengumuman seperti ini dapat menimbulkan kecurigaan.”

“Kurasa tidak. Beberapa bank lain di Donggala bahkan menutup kantor pada jam istirahat, termasuk hari Jumat. Jadi kurasa bukan hal aneh jika Bank Kartika melakukan hal serupa pada kondisi tertentu.”

Doni berpaling pada Bakri. “Setelah itu sita semua ponsel mereka. Pastikan tidak ada yang bisa menghubungi orang lain. Lakukan dengan cepat. Jika kalian lalai menyita ponsel mereka, mereka bisa menghubungi orang lain tanpa kalian ketahui. Mereka bisa saja mengirimkan pesan singkat yang bisa membahayakan kita. Itu hanya butuh gerakan beberapa detik. Tolong jangan lupakan hal ini. Setelah itu kalian berhasil melumpuhkan mereka semua, kurung dan kunci mereka semua dalam toilet.”

 “Bagaimana jika nanti ada yang berteriak? Apakah kau menjamin ia tidak akan berteriak?” tanya Bakri sangsi.

Kali ini Doni terdiam. Perkataan Bakri benar. Reaksi spontan adalah hal yang tidak diperhitungkannya. 

“Aku melihat beberapa tayangan video perampokan di bank dan toko-toko. Tidak satupun kasir yang berteriak histeris. Reaksi awal mereka kebanyakan kaget dan bingung. Setelah itu mereka menyerah setelah sadar atas situasi yang sedang terjadi. Jadi aku berkesimpulan kita akan menghadapi situasi yang serupa. Ini berbeda dengan kejahatan seperti perampokan atau penjambretan. Mereka umumnya berteriak karena pelaku kejahatan langsung menyerang secara fisik dan melarikan diri. Mereka berberiak karena ingin meminta tolong kepada orang di sekitar mereka. Dalam kasus perampokan bank kurasa hal itu tidak terjadi. Jika terjadi sekalipun, ruangan itu tertutup sehingga tidak terdengar jelas sampai keluar. Lagipula pada saat seperti itu keadaan kota Donggala sudah sunyi dan hampir tidak satupun orang yang lalu-lalang dekat kantor bank. Jadi kurasa kita cukup aman dalam hal ini.”

Bakri dan Edi tersenyum lega mendengar penjelasan Doni. Ketakutan mereka terhadap perlawanan yang mungkin diberikan bisa sedikit teratasi.

“Jadi intinya kalian harus bisa menggertak dan menguasai keadaan. Jika Bakri bisa melumpuhkan satpam kurasa nyali orang-orang di ruangan itu juga akan ciut.”

Doni meneguk botol air minumnya. Ternyata menjelaskan hal sepenting ini betul-betul membuat tenggorokannya cepat kering. Ia juga harus berhati-hati dalam menjelaskan detail rencana ini pada kedua kawannya ini.

“Setelah kalian menyekap mereka semua dalam toilet, kalian segera kembali ke ruangan kasir. Kalian harus segera menghubungi aku. Dan Edi pergi ke komputer kasir dan lakukan penginputan setoran 20 miliar. Bakri segera ambil CCTV di ruangan pemimpin. Cukup ambil perangkat   DVRnya saja. Jangan sampai ada bukti rekaman di sana. Tapi pesanku yang harus kalian ingat, jangan mengambil uang sedikitpun di sana.”

“Mengapa?” tanya Edi dan Bakri hampir serempak.

“Karena perampokan sebenarnya ada di Palu.”

“Aku bisa mengerti kau mengambil uang lebih besar di Palu. Tetapi apa salahnya jika aku dan Bakri mengambil uang di Donggala? Bukankah kami menempuh resiko yang lebih besar? Kurasa wajar saja jika aku dan Bakri mendapatkan lebih.”

“Jangan!” seru Doni dengan suara nyaring. 

Semua tersentak mendengar seruan Doni. Tidak satupun yang menyangka ia akan bereaksi seperti itu. 

“Karena jika ada perampokan di sana maka polisi akan mengira perampokan ini dilakukan oleh orang luar—bukan oleh Pak Binsar. Jika perampokannya hanya terjadi di Palu, maka Pak Binsar satu-satunya orang yang dijadikan tersangka. Itu bisa membebaskan kita dari tuduhan perampokan. Jika tidak ada uang yang hilang, tidak ada korban kekerasan, tidak ada bukti kehadiran kalian di sana, maka tidak ada perampokan di KCP Donggala.”

“Tapi ada saksi mata di sana.” kata Nina keberatan.

“Yang mana semuanya adalah pegawai KCP Donggala,” sahut Doni.

“Lalu ada setoran dana 20 miliar dari KCP Donggala ke rekening kita.”

“Yang mana usernya juga milik pegawai KCP Donggala,” sahut Doni. “Jadi kesimpulan polisi, ini hanya kejahatan internal berkedok perampokan bank yang dilakukan oleh Pak Binsar dibantu oleh pegawai-pegawainya.”

Semuanya kembali tercengang. Takjub dengan rencana sederhana yang didengarnya.

“Aku bisa mengatakan padamu sekarang aku tak akan mengambil uang itu, tapi nanti aku tak akan menjaminnya,” kata Edi.

Doni menatap wajah sahabatnya itu dengan kesal. Lalu berubah marah. Ia sama sekali tidak suka jika ada yang berani menentangnya.  

“Jangan mengambil uang itu Edi.” Doni menatap Edi dengan marah. Ia tidak suka ada yang menentangnya. Suasana tiba-tiba berubah menjadi tegang.

Edi tersadar. Tidak seharusnya ia melakukan pembangkangan terhadap Doni di depan teman-temannya. “Baiklah. Aku tak akan mengambilnya,” kata Edi menenangkan suasana yang mulai tidak nyaman. 

“Baguslah. Begini kawan-kawan,” kata Doni dengan suara lebih rendah. “Aku ingin mengatakan pada kalian di sini bahwa aku masih pimpinan di sini. Sesungguhnya aku tidak perlu dan tidak suka mengatakan hal ini. Namun penting bagiku memastikan bahwa kita tetap pada jalur rencana yang sudah ditetapkan agar kalian—kita semua—memperoleh apa yang kita inginkan. Karena itu aku harus memastikan kalian patuh pada perintahku. Jika kalian memiliki ide atau pendapat lain silahkan utarakan. Aku bukan orang yang tertutup dan sama sekali tidak keberatan mengikuti ide kalian selama itu lebih baik bagi kita semua. Jika kita berhasil dan sudah mendapatkan kompensasi uang yang sudah kujanjikan, aku bukan lagi pimpinan kalian.”

Semuanya tertenduk diam. Doni mengganggap sikap diam itu tanda mereka memahami dan setuju atas apa yang barusan katakan.

“Baiklah aku lanjutkan. Sampai di mana aku tadi?”

“Larangan mengambil uang,” sahut Bakri.

“Oke. Jadi tujuanku melarang kalian mengambil uang di sana supaya Pak Binsar—pimpinan Bank Kartika itulah yang akan menjadi tersangka dalam kasus ini. Bisa jadi polisi tidak akan mengejar kita karena mereka sudah mendapatkan dalang perampokan itu.”

“Tapi selama polisi tidak mendapatkan uang itu, mereka akan selalu mengejar kita,” protes Edi.

“Memang bisa saja seperti itu. Tapi jika polisi sudah mendapatkan pelakunya—atau merasa bahwa sudah mendapatkan pelakunya—bisa jadi mereka tidak akan melanjutkan pencarian uang itu. Polisi menangani banyak kasus, mereka tidak akan menghabiskan seluruh waktunya untuk mencari uang yang tidak akan mereka temukan.”

Lihat selengkapnya