Seperti yang sudah dijanjikan sebelumnya, kali ini Doni membawa mereka ke sebuah rumah lagi. Berbeda dengan ruko yang mereka tinggali, rumah itu terletak di kawasan penduduk yang cukup sepi. Rumah-rumah di sekitarnya memiliki halaman-halaman yang cukup luas sehingga jarak antar rumah tidak sepadat lokasi tempat tinggal mereka sekarang. Inilah alasan utama Paman Angga memilih tempat ini. Ia tidak ingin banyak orang yang memperhatikan aktivitas Doni dan kawan-kawannya di tempat ini. Alasan lainnya adalah halamannya yang luas. Halamannya masih cukup luas untuk menampung sampai delapan mobil jika diparkir secara teratur.
Dari luar rumah ini terlihat cukup kotor karena sudah bertahun-tahun tidak ditinggali. Halamannya juga dipenuhi aneka tumbuhan liar. Butuh usaha lebih besar untuk membersihkan rumah ini dibandingkan ruko yang mereka tempati.
“Kita sudah sulit menemukan rumah dengan halaman seluas ini di Jakarta.” Kata Nina. Edi dan kawan-kawannya bergerak mengitari sekitar rumah.
Doni mengambil kunci dari sakunya kemudian dia membuka pintu itu.
Rumah itu terlihat kosong. Tidak banyak yang bisa mereka dapatkan di dalamnya. Hanya dua kursi plastik, buku-buku yang bertebaran, dan perabotan tua yang dimakan usia.
Edi memeriksa kondisi listrik dan air di rumah itu. “Setidaknya listrik dan air masih jalan. Tapi yah kita juga tidak akan tinggal di sini.”
“Walaupun begitu, kalian bersihkan saja rumah ini. Ambil sapu di mobil,” perintah Doni.
“Tidak usah terlalu bersih cukup sapu saja lantainya dari debu-debu ini.”
“Apakah kita hanya menggunakan rumah ini untuk menukar mobil kita?”
“Oh tidak,” kata Doni. “Kita juga akan menawan orangtua Pak Binsar di sini.”
“Di sini?” tanya Tarmin terdengar bingung.
“Ya tentu saja di sini. Setelah berhasil menculiknya kalian harus membawanya kemari. Kita tidak mungkin balik ke ruko. Kita akan menguncinya di salah satu kamar. Tentu saja kita akan memberinya makanan yang cukup. Polisi nanti yang akan menemukannya di sini.”
“Bagaimana polisi bisa menemukannya di sini kalau ia terkunci di dalam?”
“Polisi akan menemukan tempat ini. Tetapi mereka akan mengejar kita ke ruko dulu. Mereka masih butuh waktu untuk mencari kemari. Mungkin aku akan memberitahukan mereka. Tidak masalah kita tidak memerlukan tempat ini. Mereka juga bisa membantu kita mengembalikan mobil sewa kita,” kata Doni tertawa.
“Apakah polisi tidak akan bisa melacak kita di sini setelah kita keluar dari bank?” tanya Saleh.
“Itu tergantung seberapa cepat kita memindahkan uang-uang itu ke mobil kita. Tapi kurasa tidak akan lama, mungkin cuma sepuluh sampai dua puluh menit. Setelah itu kita pergi dengan mobil kita. Mereka tidak mengenal mobil kita. Mereka tidak akan bisa mengejar kita.”
———
Perjalanan ke Desa Tongoa merupakan suatu tantangan tersendiri. Perjalanan kesana ternyata harus melalui desa-desa yang hancur akibat gempa bumi empat bulan lalu. Jalanan yang rusak bahkan hilang karena terseret pergerakan tanah kini terlihat membentuk jalanan baru berbentuk garis lengkung tak beraturan. Bangunan-bangunan hancur kini menjadi semacam monumen peristiwa bencana alam mahadahsyat. Empat bulan telah berlalu sejak peristiwa mengerikan itu, akan tetapi kondisi pedesaan yang mereka lewati seakan tanpa perubahan. Sebagian rumah, kantor, sekolah, tempat ibadah, kini tidak ada lagi di tempat seharusnya berdiri. Bantuan-bantuan yang datang sampai sejauh ini masih dalam bentuk pangan dan tempat hunian sementara.
Nina dan keenam kawannya terpaku dengan pemandangan yang mereka saksikan dari balik kaca mobil.
“Inilah yang disebut Desa Jonooge. Kita juga melihatnya dari kaca pesawat dalam perjalanan menuju ke Palu,” kata Doni. Kini ia merangkap tugas sebagai sopir dan pemandu dadakan.
“Kamu sudah sering kemari?” tanya Saleh.
“Ini yang kedua,” jawab Doni. “Perhatikan jalannya. Jangan mencarinya di googlemaps, jalan ini tidak ada.”
“Maksudmu jalan ini sudah bergeser beserta bangunan-bangunan di sampingnya?” tanya Saleh kembali.
“Ya. Lihat saja jalanan yang kita lalui.”
“Apakah jalanan sampai ke tempat tujuan kita semuanya seperti ini?” tanya Nina,
“Oh tidak. Hanya sekitar dua kilometer saja. Aku hanya menunjukkan desa inilah yang paling terdampak.”
“Ke mana penduduk yang lainnnya? Desa ini seperti kota mati,” tanya Edi. Sama seperti yang lainnnya, pikirannya dipenuhi rasa ingin tahu. Ia belum pernah melihat langsung suatu daerah bencana yang ditinggal begitu saja oleh penduduknya.
“Sebagian besar sudah mengungsi. Selain karena rumah mereka kini sudah hilang atau rusak parah, tempat ini belum memiliki akses yang layak untuk lokasi hunian. Jaringan listrik telah dibangun kembali, tetapi air bersih masih sulit di sini. Mereka berada di lokasi-lokasi pengungsian yang dibuat oleh pemerintah daerah. Sebagian lagi tinggal di rumah kerabatnya. Sisanya hilang ditelan bumi.”
“Aku sama sekali tidak menyangka daerah yang terdampak bencana ternyata luas sekali,” kata Bakri dari bangku belakang.
“Ratusan hektar. Mungkin 400 atau 500 hektar, aku tidak tahu. Kawasan ini jauh lebih luas dari Kelurahan Petobo yang kita lihat kemarin.
Kini dalam jarak hampir 20 meter di depan mereka terbentang jembatan yang sudah putus. Doni melambatkan mobilnya lalu membanting setir mengambil jalan memutar di samping kiri jembatan tersebut. Jembatan dengan panjang sekitar 15 meter amblas separuh. Pandangan mereka terpaku pada jembatan putus itu. Nyaris tak percaya bahwa bencana alam bisa sedahsyat itu. Doni terpaksa melambatkan mobilnya dan harus tertatih-tatih melewati dasar sungai yang telah kering.
“Jika orang baru pertama kali melewati jembatan itu mereka bisa celaka karena tidak menyadari jembatan itu sudah ambruk.”
“Apakah penduduk di sini setiap hari harus melewati jalanan ini?” tanya Bakri.