Delapan Bidak

Jimmy Alexander
Chapter #10

Bab 9

Doni, Tarmin, dan Anto mengamati sebuah rumah bercat putih. Mereka sudah menghabiskan waktu pengintaian hampir sepuluh menit dalam keadaan tanpa suara. Mobil mereka hanya berjarak sekitar 20 meter dari rumah tersebut. Semua warga di lingkungan ini mengenali rumah ini sebagai rumah dinas pimpinan Bank Kartika Palu.

Tarmin memarkir mobilnya dibawah pohon yang rindang. Cuaca panas hari itu membuat mereka enggan keluar dari dalam mobil.

“Coba kalian pikirkan bagaimana kita bisa masuk ke dalam dan menculik wanita itu?” tanya Doni.

“Apakah pamanmu belum memikirkan hal ini?” tanya Tarmin.

“Sudah. Tapi ia menyarankan kita menyamar saja sebagai kurir paket.”

“Ya. Kurasa itu ide bagus. Semua orang akan membuka pintunya untuk sebuah paket. Kita tinggal mencari seragam saja,” komentar Anto.

“Ya. Jika dia lengah salah satu dari kita akan membiusnya,” kata Tarmin.

“Itulah masalahnya. Pengantar paket tidak ada yang masuk ke dalam rumah. Jika kita membiusnya di depan pintu maka satpam akan melihatnya,” komentar Doni bingung.

“Bagaimana kalau kita menyamar sebagai sales?” usul Anto.

“Jika kau menyamar sebagai sales dia akan mengusirmu tanpa membuka pintunya,” sahut Doni.

Setelah hening beberapa menit Tarmin memberikan usul yang brilian.

“Bukankah ini rumah dinas bank?”

“Ya benar,” jawab Doni.

“Itu berarti semua peralatan di dalam adalah aset milik bank.”

“Ya benar.” Doni masih bingung dengan arah pembicaraan Tarmin.

“Kalau begitu paling tepat jika kita menyamar sebagai teknisi AC.”

“Teknisi AC?” tanya Anto.

“Itu usul bagus Tarmin,” seru Doni. “Kalian bisa menyamar sebagai teknisi AC. Bilang saja kalian akan melakukan servis berkala atau akan mengganti AC yang lama,” kata Doni tersenyum.

“Itulah yang kumaksud,” ujar Tarmin riang, “dan semua teknisi AC pasti akan masuk ke dalam rumah.”

“Dan teknisi AC tidak ada yang datang sendirian,” tambah Doni.

“Itu berarti kita berdua bisa masuk ke dalam.” kata Anto dengan wajah senang. Ia mulai memahami ide kawannya. “Tapi bagaimana jika ibu itu keberatan karena anaknya tidak memberitahunya sebelumnya?”

Doni berpaling pada Anto yang duduk di bagian belakang. “Kalian katakan kalau kalian melakukan service berkala dan disuruh oleh kantor. Jadi tidak perlu pemberitahuan dari anaknya. Aku yakin ia bisa memahami itu dan akan mempersilahkan kalian masuk.”

“Harus kuakui itu ide cemerlang Tarmin.” Anto menepuk pundak kawannya dari belakang.

Doni kembali mengalihkan pandangannya ke satpam yang duduk santai di posnya. “Sekarang tugas kita tinggal menyingkirkan satpam itu. Kita tidak bisa keluar rumah sambil menggotong orang dari rumah tanpa terlihat olehnya.”

“Apakah satpam itu tidak memperhatikan mobil ini?” tanya Tarmin.

“Ia melihat mobil ini tetapi ia tidak tahu kita sedang memperhatikan dirinya,” kata Doni.

“Yang kukhawatirkan justru cuaca panas ini. Terasa seperti menembus mobil,” umpat Anto kesal.

“Apakah kita perlu memastikan berapa orang yang tinggal di rumah itu?” tanya Anto.

“Tidak perlu,” sahut Doni, “ia hanya tinggal bersama ibunya.”

“Kulihat kau sudah mengamatinya dengan seksama," kata Anto.

“Iya, tetapi pada saat kalian beraksi nanti kalian harus bisa pastikan ibunya hanya sendirian dirumah.”

“Bagaimana jika nanti ada orang lain berkunjung ke rumahnya?” tanya Anto.

“Terpaksa kita akan menundanya sampai minggu depan. Kita tidak dapat melumpuhkan mereka semua.”

Keduanya mengangguk paham. Sebuah halangan kecil yang tidak dapat diantisipasi memang bisa membuat seluruh rencana berantakan.

“Tapi kemungkinan itu kecil,” kata Doni menambahkan. “Jadi kurasa kita tidak perlu terlalu mengkhawatirkan itu.”

“Tugas terberat kita sekarang tinggal melumpuhkan satpam.” Anto menyimpulkan sambil memandang satpam yang berjaga hilir mudik di sekitar posnya. Sesekali ia terlihat memeriksa ATM.

“Apakah kita harus membiusnya?” tanya Edi.

Doni mempertimbangkan ide itu. “Jika kita membiusnya berarti kita harus cukup dekat dengannya—dan itu cukup sulit,” keluh Tarmin sambil menyandarkan tubuhnya ke jok mobil.

“Sekarang yang harus dipikirkan bagaimana cara kita mendekati satpam itu,” kata Anto.

Tiba-sebuah ide terbersit di pikiran Doni. “Kalian lihat bangunan ATM itu?” tanya Doni pada kedua kawannya.

Keduanya memandang bangunan ATM yang ditunjuk Doni.

“Kalian bisa membiusnya di ATM dan memasukkannya kedalam mobil,” usul Doni.

“Bagaimana kita bisa membiusnya dalam ruang ATM? Aku tidak mengerti.” tanya Anto bingung.

“Kalian bisa memintanya untuk memandu kalian untuk melakukan transaksi yang kalian tidak ketahui. Setelah dia masuk ke dalam, kalian bisa membiusnya disitu.”

 “Apakah dia tidak akan curiga?” tanya Tarmin.

“Aku yakin tidak. Itu bagian dari tugas mereka. Aku pernah melihat satpam bank melakukan hal itu.”

“Tapi pintu ATM itu terbuat dari kaca. Siapa saja bisa melihat kita,” sahut Anto ragu.

“Kalian bisa memarkir mobil dekat pintu itu agar pandangan dari luar bisa terhalangi. Pintu kaca itu juga dipenuhi dengan stiker. Jadi tak ada yang akan memperhatikannya. Setelah dia pingsan kalian harus cepat-cepat memasukkannya ke dalam mobil.”

“Ide yang cukup bagus,” sahutTarmin.

“Bagaimana kalau sekarang kita pergi ke ATM itu untuk melihat keadaan?” ajak Anto.

“Tarmin, parkir saja mobil ini ke samping ATM itu,” perintah Doni.

Satu menit kemudian Tarmin sudah memarkir mobilnya di samping bangunan ATM yang tampak lengang itu. Ia berusaha pandangan dari arah jalan bisa terhalangi.

Anto dan Doni turun menuju bangunan ATM. Dari bangunan itu mereka bisa memandang rumah itu dengan leluasa. Pos satpam hanya berjarak lima meter dari posisi mereka sehingga mudah bagi mereka mengamati segala pergerakannya. Agar tidak menaruh curiga, Doni membuka pintu ATM mereka berdua masuk ke dalamnya. Tubuh mereka terasa segar dengan udara dingin dari ruang ATM. Di dalam mereka melihat apakah dalam ruangan sempit itu mereka bisa membius satpam tanpa perlawanan.

“Obat bius apa yang akan kita gunakan?” tanya Anto.

“Kloroform.”

“Bisa digunakan pada manusia?”

“Lebih sering digunakan pada hewan.”

Anto tersentak kaget. “Apakah tidak berbahaya jika digunakan pada manusia?”

“Semua obat bius berbahaya pada tingkat tertentu. Tapi masalahnya kita butuh yang reaksinya cepat. Jika dia bisa memberikan perlawanan itu bisa berbahaya.”

Anto khawatir dan menggaruk kepalanya. Namun ia paham yang dikatakan Doni.

“Apakah obat itu akan langsung bereaksi?”

“Ya. Tetapi tergatung dosisnya. Obat bius itu butuh beberapa detik untuk bereaksi.”

“Apakah ia bisa melakukan perlawanan?”

“Kukira tidak. Ia sudah terlalu lemah untuk melakukan perlawanan.”

“Ya. Tapi itu bisa memancing keributan di tempat ini.”

“Ya. Memang bisa terjadi seperti itu.”

Pada saat mereka asyik berbincang terdengar pintu kaca diketuk seseorang dari luar. Tersentak karena kaget keduanya menoleh ke belakang. Mereka melihat seorang wanita berhijab menunggu dengan tidak sabar. Ternyata wanita itu sejak tadi mengantri dan merasa heran kedua pria di dalam terlihat cuma mengobrol dan tidak beranjak keluar. Akhirnya Doni dan Anto keluar dari ATM itu dan membiarkan wanita itu masuk. Mereka segera masuk ke dalam mobil. Doni yang duduk di kursi depan masih mengarahkan pandangannya ke wanita tadi. 

“Sudah berapa lama wanita itu menunggu di luar?” tanya Doni pada Tarmin yang duduk di belakang kemudi. 

“Sekitar semenit,” jawab Tarmin. Ia merasa heran kedua kawannya tidak melihatnya.

Lihat selengkapnya