Malam harinya pada saat Edi dan kawan-kawannya keluar bermain biliar, Doni dan Nina duduk di teras ruko. Mereka menghabiskan malam itu dengan diskusi-diskusi tentang Jakarta, keluarga, bisnis, dan tentu saja—Pak Binsar.
“Katakan padaku Doni. Mengapa Paman Angga sangat membenci Pak Binsar? Bukankan mereka berdua pernah bersahabat dekat?” tanya Nina penasaran. Sejak dari Jakarta rasa penasarannya tidak pernah hilang. Mungkin ini karena kodratnya sebagai wanita yang memiliki sifat alami ingin mencari tahu rahasia orang lain.
Doni menatap Nina dengan ragu, sepertinya ia sedang menimbang-nimbang apakah memberitahu rahasia ini atau tidak.
“Berjanjilah kau tidak akan menceritakannya pada orang lain,” pinta Doni setengah memohon.
“Apakah sedemikian rahasianya?” tanya Nina semakin ingin tahu.
“Ini masalah terlalu pribadi. Menyangkut harga diri Paman Angga.”
“Yah aku berjanji. Kau tahu kau bisa mempercayai aku dalam hal-hal seperti ini.”
Jawaban klise. Sebegitu banyaknya kaum wanita di dunia ini mengucapkan kata-kata itu. Mereka bahkan selalu punya alasan yang menurut mereka rasional sampai kenapa mereka mengingkarinya.
“Paman Angga dan Pak Binsar adalah teman dekat sejak lama. Mereka pernah bersama ketika bekerja di Bank Kartika Surabaya. Paman Angga merupakan pegawai yang cerdas dan berprestasi. Ia sudah menjadi kepercayaan pimpinan cabangnya padahal baru bekerja selama tiga tahun. Ketika itu Paman Angga baru saja menikah dengan seorang mantan pramugari. Namanya Samira—dan ia sangat cantik. Pak Binsar waktu itu belum menikah dan ia sering diundang untuk datang ke rumah Paman Angga. Mereka bertiga menjadi akrab. Suatu saat istri Paman Angga mengandung dan Paman Angga sangat senang dengan hal itu. Ia sudah lama menanti kehamilan istrinya. Tapi tak lama istri paman mengalami keguguran. Paman Angga kemudian membawa istrinya ke dokter untuk memeriksakan kondisinya. Apa yang dikatakan dokter membuat Paman Angga sangat syok. Menurut dokter, kandungan itu sengaja digugurkan oleh istri paman dengan meminum obat-obatan atau ramuan tertentu. Tentu saja paman marah dan ia menanyakan ke istrinya apa yang baru saja didengarnya dari dokter. Akhirnya istrinya mengaku ia sengaja melakukannya karena ia tidak ingin suaminya tahu kalau anak itu bukanlah anak suaminya.”
Nina syok mendengarnya.
“Kau tahu janin itu anak siapa?” tanya Doni.
“Pak Binsar,” jawab Nina tanpa ragu.
Doni mengangguk.
“Oh Tuhan.” Nina menutupi mulutnya dengan kedua tangannya. Kepalanya terasa berputar. Ia bangkit berdiri karena kagetnya. Ia membuka mulutnya seperti hendak mengatakan sesuatu kemudian duduk kembali karena tidak menemukan kata-kata yang tepat untuk mengekspresikan gejolak hatinya. Ia menggelengkan kepalanya dengan tidak yakin. Ia tidak percaya Pak Binsar yang terlihat baik dan santun bisa melakukan perbuatan itu.
“Bagaimana bisa?” Hanya kata itu yang keluar dari mulutnya.