Bu Eva memandang Pak Binsar yang berdiri di depannya. Pimpinannya itu tampak bingung seperti baru mendengar berita buruk. Ia mempersilahkan pimpinannya itu duduk.
“Apakah Ibu Gladys sudah menghubungimu?” tanya Pak Binsar.
“Ya, sudah. Mereka berniat menarik uangnya hari Jumat depan. Ibu Gladys mengatakan jika dananya akan masuk pada hari itu juga. Sekarang tugas kita bagaimana mengumpulkan uang sebesar itu.”
Pak Binsar hanya diam tertunduk. “Aku tidak khawatir soal uang itu. Aku hanya heran baru kali ini ada yang ingin menarik uang tunai 20 miliar. Tidakkah kau merasa itu aneh?” Pak Binsar mengarahkan pandangannya keluar jendela. Ia seolah mencari jawaban atas apa yang tidak dipahaminya.
“Apakah bapak tidak pernah melihat orang yang menarik uang sebanyak itu?” tanya Bu Eva. Ia masih merasa bingung arah pembicaraan Pak Binsar.
Pak Binsar menggeleng. “Tidak pernah. Tapi aku juga tidak akan curiga jika penarikan sebesar itu dilakukan di kota-kota besar.”
“Kuakui mungkin itu memang terlihat sedikit aneh, tapi situasinya saat ini berbeda. Kota ini porak poranda. Banyak bantuan-bantuan dari luar yang masuk. Jadi penarikan tunai sebesar itu kupikir cukup wajar. Banyak yang harus dibiayai bukan? Kita tidak pernah tahu sistem kerja mereka.”
“Yah kau benar. Mungkin ini cuma pikiranku saja. Aku hanya takut jika ini sebenarnya adalah—” Pak Binsar kata-katanya menggantung.
“Kejahatan?” tebak Bu Eva. Ia seperti bisa membaca kegalauan yang dirasakan pimpinannya ini.
“Iya. Samar-samar aku merasa seperti itu.” Suaranya pelan dan tidak yakin.
“Kuakui itu memang sedikit janggal. Tapi bagaimana mereka melakukannya? Mereka menarik uang dari rekening mereka sendiri. Kemungkinan apa yang bisa terjadi?” tanya Bu Eva. Ia merasa tidak punya bayangan kejahatan apa yang mungkin terjadi.
“Itu yang aku tidak tahu. Tapi sudahlah, mungkin ini hanya pikiranku saja.” Pak Binsar berusaha tersenyum.
“Yakinlah Pak tidak akan terjadi apapun. Instingku tidak pernah gagal. Seharusnya kita bergembira karena kita akan mendapat dana puluhan miliar di bank kita,” kata Bu Eva dengan penuh keyakinan.
Kali ini Bu Eva akan membuktikan bahwa instingnya tidak berjalan seperti biasanya.
———
Doni menghampiri Edi yang sedang duduk sendirian di lantai dua.
“Ingat anak?” Edi mengambil salah satu kursi plastik dan mengambil tempat di samping Edi.
“Yah begitulah,” sahut Edi ternsenyum.
“Kau beruntung.”