“Aku menang,” seru Andre kegirangan. Ia membanting kartunya keatas meja yang diiringi teriakan-teriakan canda teman-temannya. Ini sudah kali ketiga ia memenagkan permainan. Sementara itu Saleh terlihat menggerutu dengan muka masam. Sebab ini juga ia kalah dua kali secara beruntun.
“Ayo Bakri main di sini. Gantikan Saleh,” teriak Bakri memanggil.
Bakri datang mendekat namun ia tidak segera mengambil tempat Saleh yang kosong. Ia hanya berdiri saja memandang Edi dengan sikap gelisah.
“Edi, ada yang harus aku beritahukan padamu,” ujarnya.
Edi yang sedang mengumpulkan kartu diatas meja menghentikan tindakannya. Ia memandang Bakri dengan dahi berkerut.
“Katakan saja di sini,” balas Edi.
Bakri bereaksi dengan tidak yakin. “Aku ingin pulang.” Kata-kata itu akhirnya keluar juga.
Kini seluruh kawannya memandangi Bakri dengan kaget bercampur heran.
“Pulang?” tanya Saleh keheranan.
“Tidak mungkin,” seru Edi. “Ada masalah apa?”
“Ibuku sakit keras.”
Mendengar perkataan Bakri, Edi berdiri tanpa menghiraukan teman-temannya. Ia menarik Bakri menjauh.
“Ibuku sakit keras. Pecah pembuluh darah. Sudah dua hari di rumah sakit. Aku harus pulang.”
Edi menghela nafas. Ia tahu tidak mungkin Bakri pulang ke Jakarta, Mereka sudah komitmen tak akan pulang.
“Siapa yang memberitahumu?”
“Adikku Leni.”
Edi megusap rambutnya dengan kedua tangannya. Ia tampak berpikir keras. “Kau tahu Doni tidak akan mengizinkanmu. Aksi kita akan dimulai tidak lama lagi. Semuanya akan tertunda jika kau pergi.”
Bakri panik. “Tapi ibuku sakit keras Edi. Kemungkinan besar ia akan meninggal. Aku tak punya kesempatan lagi untuk melihatnya.”
Edi kembali menghela nafasnya. Ini berat. Jika sudah menyangkut masalah orangtua yang sakit keras seringkali tidak dicapai kesepakatan yang memuaskan kedua pihak.
“Baiklah aku akan bicarakan ini dengan Doni. Kau tenanglah. Kau di sini saja, aku akan membicarakannya sekarang.”
“Baiklah,” ujar Bakri.
Edi mendapati Doni di ruang atas dan terlihat sedang menelepon seseorang. Ia tidak mau menyela pembicaraan dan hanya berdiri di ambang pintu sambil berharap Doni melihat kehadirannya.
Doni melihat Edi dan segera menghentikan percakapannya. “Ada apa Edi? Kenapa mukamu tegang begitu?” tanya Doni sambil meletakkan ponselnya diatas meja.