Delapan Bidak

Jimmy Alexander
Chapter #17

Bab 16

Tepat pukul jam 8 pagi Edi dan Bakri meninggalkan kediaman mereka. Mereke sengaja bergerak lebih pagi karena mereka tidak ingin terburu-buru ke Donggala. Mereka bergerak lebih dulu dibandingkan teman-teman mereka karena perjalanan ke Donggala membutuhkan waktu hampir sejam. Mereka masing-masing mengendarai motor dan mereka bergerak ke selatan menuju Rumah Sakit Undata.

Rumah Sakit Undata adalah rumah sakit pemerintah dan merupakan rumah sakit terbesar di kota Palu. Setelah melewati pos penjagaan mereka mereka bergerak menuju lahan parkir. Lahan parkir rumah sakit adalah salah satu lahan parkir yang tak pernah sepi. Banyaknya pasien dan pengunjung yang menginap di sini menjadi alasannya. Bakri memarkirkan motornya di bawah pohon yang rindang dan berdaun lebat. Ia tidak kesulitan menemukan lokasi yang pas karena pengunjung rumah sakit banyak yang belum datang. Kemudian ia bergabung dengan Edi dan keduanya bergerak menuju Donggala.

Mendekati perbatasan kota Palu dan Kabupaten Donggala, mereka sering berpapasan dengan pegawai-pegawai yang mencari tumpangan ke kota Donggala. Pegawai-pegawai ini tinggal di Palu dan bekerja di Donggala. Belakangan mereka baru menyadari bahwa tidak ada kendaraan umum yang menuju ke Donggala. Perjalanan menyusuri pegunungan yang berkelok-kelok merupakan keasyikan tersendiri bagi pengendara motor. Angin segar yang menerpa wajah dan pemandangan alam pedesaan membuat perjalanan satu jam itu tidak terasa lama dan membosankan.

Akhirnya mereka tiba di kota Donggala sebelum pukul sepuluh. Untuk menghindari kejenuhan mereka memutuskan untuk mengelilingi kota itu selama setengah jam sebelum akhirnya mereka berhenti di sebuah warung makan yang berdekatan dengan Bank Kartika KCP Donggala incaran mereka. Mereka ingin mengamati aktivitas bank dari kejauhan ditemani segelas kopi panas. 

 

———

 

Ibu Nita menyeruput tehnya perlahan-lahan. Ia baru saja menghabiskan makan siangnya namun masih terasa lapar. Ia menatap gelas teh yang masih terasa hangat di jemarinya—kemudian tersenyum. Terkadang anak buahnya di kantor mengatakan bahwa ia tergolong orang kuno yang masih makan nasi ditemani dengan teh panas. Dan lucunya ia diam-diam menyetujui candaan itu. Akan tetapi jika melihat penampilannya, pandangan orang kuno yang disematkan padanya seakan berubah seratus delapan puluh derajat. Warna rambutnya yang dicat pirang kecoklatan tampak berusaha menutupi rambut putih dan usianya yang setahun lagi pensiun. 

Hari itu terlihat aktivitas kantor berjalan seperti biasa. Satpam dengan emblem nama bertulis Akmal terlihat santai mengatur nasabah yang mulai berkurang. Di waktu mendekati shalat Jumat kantor Kartika Donggala memang selalu sepi dan akan ramai lagi ketika menjelang jam 2 siang. Jika ada nasabah yang berkunjung di jam-jam itu maka pastilah ia tidak berasal dari kota ini. Penduduk kota ini sudah menjalankan semua rutinitas kesehariannya secara teratur dan terpola. Kota ini merupakan kota yang tergolong tenang dan damai tidak seperti Palu yang bising dan sibuk dengan aktivitas kesehariannya. Kota Donggala merupakan kota yang tepat untuk menghabiskan masa tua. Semua penduduk di sini saling mengenal dan menyapa.

Dilihat dari mimik wajahnya Ibu Nita terlihat gembira sama seperti pegawai yang lain yang selalu terlihat ceria dan bersemangat di hari Jumat. Kegembiraannya disebabkan ia baru saja mendapat pesan dari Haji Akbar—salah satu pengusaha kopra di Donggala—bahwa dalam 3 hari lagi nasabah prioritasnya itu akan menempatkan dana tiga miliar di Kartika dalam dua tahap. Ibu Nita tersenyum puas. Puas akan pencapaiannya selama tiga bulan terakhir. Ia merasa hari ini adalah salah satu hari terbaik dalam karirnya.

Namun ia keliru besar.

 

———

 

Edi mengamati arlojinya dengan perasaan cemas. Pukul 11.32. Sudah hampir satu jam dia dan Bakri berada di warung kopi ini. Mereka sedang mengamati Bank Kartika Donggala dari kejauhan. Ia sadar ini bukan lagi misi pengintaian seperti yang pernah mereka lakukan.

Dan ini adalah gelas kopinya yang kedua. Walaupun perutnya mulai terasa lapar akan tetapi ia menolak makan siang dengan satu alasan. Tugas baru saja dimulai.

“Tunggu di sini. Aku akan pergi melihat situasi di dalam kantor. Tunggu kabar dariku,” katanya pada Bakri.

Bakri hanya mengangguk kecil tanda persetujuan.

Edi menitipkan selembar uang pada Bakri dan memutuskan tidak menghabiskan kopinya. Kemudian ia berjalan pelan meninggalkan warung makan Berkah menuju titik sasaran.

Hampir sepuluh menit kemudian Edi balik menemui Bakri dengan satu fakta penting.

“Satpamnya ada dua.” Bagi orang lain fakta itu tidak penting tetapi bagi mereka itu berarti masalah baru yang tidak terpikirkan.

“Pelankan suaramu,” guman Bakri memperingatkan. Walaupun di sekitar mereka hanya terdapat sepasang muda mudi yang asyik makan namun ia tidak ingin perbincangan mereka terdengar orang lain. “Duduklah. Habiskan dulu kopimu.”

Edi duduk dengan sikap gelisah. Ia enggan menghabiskan kopinya. Seleranya sudah menguap hilang. Ia mengulangi kata-katanya, “satpamnya dua.”

Mendengar itu Bakri ikut-ikutan panik. “Jadi bagaimana? Kita laporkan pada Doni?” 

Awalnya ia setuju dengan usul Bakri, namun dengan cepat ia mengurungkannya. Ia adalah pemimpin di tim kecil ini. Ia tidak harus melaporkan situasi yang belum tentu berdampak buruk.

“Tidak perlu. Kita tunggu saja sampai tiba waktunya.”

 

———

 

Pada saat yang sama Anto dan Tarmin terlihat tegang mengamati rumah dinas pimpinan. Mereka sama tegangnya dengan teman-teman mereka yang lain. Ternyata latihan puluhan kali tidak membuat mereka lebih tenang.

“Ternyata itu bukan satpam kemarin yang kita lihat,” kata Anto terlihat panik. “Orang ini memiliki postur yang jauh lebih besar. Kita berdua akan kesulitan melumpuhkannya.”

“Sialan,” umpat Tarmin dengan nada kesal. Ia tidak menyangka pihak bank mengganti satpamnya secepat ini. “Apakah kita harus memberitahukannya kepada Doni?”

“Tidak. Tidak perlu. Kita berdua akan coba melumpuhkannya.”

“Tapi satpam ini jauh lebih besar daripada yang kemarin. Kita tidak akan sanggup melumpuhkannya.” Tarmin bingung dan mulai ikut panik.

“Jangan panik. Kita tidak akan mundur. Kita akan coba membiusnya seperti yang sudah kita rencanakan.” Anto meyakinkan temannya dan dirinya sendiri. “Jika kau panik kita pasti gagal. Percayalah orang sebesar itu akan pingsan jika kita membiusnya. Biar aku yang lakukan. Kau cukup membujuknya saja untuk mendekat.” Setelah sepakat untuk bertukar tugas kini mereka berdua hanya tinggal menunggu perintah dari Doni untuk bergerak. 

 

———

 

Sementara itu di Bank Kartika Palu Doni dan Nina duduk di bangku antrian dengan gelisah. Mereka menunggu kabar dari Edi tentang perkembangan di KCP Donggala. Ibu Eva sudah berbaik hati menawarkan agar mereka menunggu saja di ruangannya namun mereka menolak dengan alasan tidak ingin mengganggunya.

Di luar, Saleh dan Andre menunggu dengan setia. Andre berperan sebagai polisi pengawal uang lengkap dengan pistol dipinggangnya. Sementara Saleh kebagian peran sebagai sopir yayasan. Tugas mereka tergolong ringan sehingga membuat kawan-kawannya sedikit iri. Tugas tambahan mereka cuma mengangkut uang dari meja kasir ke mobil.

Sesuai perkiraan, nasabah yang datang pada jam-jam menjelang sembahyang Jumat mulai berkurang. Doni lega karena itu berarti penarikan yang akan mereka lakukan tidak berlangsung lama. Ia tidak ingin banyak kendala. Sesuai janjinya Pak Binsar juga bersedia tinggal di tempat untuk melakukan otorisasi penarikan.

Doni menatap jam tangannya dan ponselnya secara bergantian. Kemudian ia menggaruk dahinya yang tidak gatal. Walaupun gelisah ia berusaha tetap tenang. Ia sedang menunggu pesan dari Edi atau Bakri yang akan memberi kabar tentang perkembangan yang terjadi. Akhirnya pesan yang ditunggu muncul juga. Setelah membacanya ia tersenyum dan berbisik pada Nina yang berada disampingnya. “Edi sudah masuk.”

Nina bernafas lega. Aksi segera dimulai.

  

———

 

 Edi mengetuk-ngetukan jarinya dengan gelisah. Ia memandang jam tangannya sekali lagi. Pukul 11.45. Itu berarti tidak lama lagi pegawai-pegawai di sini akan shalat Jumat. Berdasarkan pengamatannya pegawai bank di kantor ini ada 7 orang yang terdiri dari 1 pimpinan, 2 kasir, 1 customer service, 2 satpam, 1 cleaning service, ditambah 1 polisi. Ia merasa tidak perlu merisaukan polisi itu karena ia sudah pergi lebih dulu. Di dalam bank juga masih terdapat 1 orang nasabah yang sedang bertransaksi. Kini ia tinggal menunggu dua hal. Pertama nasabah itu selesai bertransaksi dan kedua pegawai-pegawai yang pergi shalat Jumat. Ia pergi menemui Bakri yang sedang menungu di halaman parkir.

“Tinggal satu nasabah setelah itu kita tinggal menunggu pegawai-pegawai yang pergi sembahyang. Di dalam ada empat pria. Kita hanya perlu memastikan yang mana tinggal dan mana yang pergi.”

Bakri mendengarkan dengan seksama apa yang dibicarakan oleh Edi. Kini pandangannya diarahkan pada kamera CCTV yang berada di parkiran. Kamera itu persis mengarah pada mereka.

“Tidak perlu cemas. Wajah kita tidak akan terlihat,” kata Edi menghibur . “Perangkat DVRnya akan kita ambil juga.”

 Setelah menuggu selama lima menit akhirnya mereka melihat pegawai-pegawai yang berangkat shalat Jumat. Mereka menunggu sampai rombongan itu cukup jauh.

“Lihat. Mereka sudah pergi berarti tingggal satu laki-laki di dalam. Ayo kita masuk.” Tanpa membuang waktunya keduanya masuk ke dalam bank.

Ruangan banking hall yang tadi ramai kini terlihat lengang. Dengan tenang Edi berjalan menuju kasir sedangkan Bakri bergerak mencari satpam.

Satpam yang dilatih untuk bersikap ramah bergerak menghampiri nasabah yang masuk dengan senyum lebar. Ia sama sekali tidak menyadari bahaya besar yang sudah di depan mata. Tuntutan untuk bersikap ramah terhadap setiap nasabah yang datang tampaknya menghilangkan insting kewaspadaan seorang satpam. 

Melihat kedatangan satpam kearahnya, Edi segera dengan cepat melirik Bakri—memberikan kode penyerangan. Bakri yang sejak tadi berada di bangku antrian membalasnya dengan anggukan kecil. 

Inilah saatnya.

Latihan yang telah mereka lakukan berkali-kali kini hanya menunggu beberapa detik saja untuk dipraktekkan dalam situasi sebenarnya.

Edi memasukkan tangan kanannya ke balik jaketnya bersiap untuk menarik benda kecil yang disembunyikannya.

Konsentrasi penuh. Tidak boleh ada kesalahan.

Edi berjalan ke arah kasir yang sedang tersenyum ke arahnya. Cuma satu hal penting di ingatannya. Jauhkan kasir dari alarm panik. Dengan gerakan cepat dan taktis ia memanjat dan melompati meja kasir yang setinggi dada dan dalam dua detik ia sudah berdiri di samping kasir tersebut.   

Kedua kasir itu tersentak kaget melihat pria tak dikenal tiba-tiba sudah berada di samping mereka. Dengan gerakan refleks mereka berdua bergerak menjauh ke belakang. Edi menodongkan pistolnya ke kedua kasir itu dan Pimpinan KCP yang berada di belakangnya.

Tentu saja mereka tidak pernah menyangka menghadapi situasi seperti ini dan butuh beberapa detik untuk menyadari bahwa situasi yang dihadapinya adalah sebuah perampokan.

“Diam disitu!” teriak Edi dengan suara tegas. Moncong senjata itu diarahkan secara bergantian kearah mereka bertiga.

Ibu Nita dan kedua kasir itu seketika pucat pasi dan tidak tahu harus bersikap seperti apa. Mereka tak bisa berteriak karena pistol itu diarahkan tepat ke wajah mereka.

“Diam dan angkat tangan. Jangan sentuh apapun.”

Mendengar suara ribut di ruangan kasir satpam yang berada di belakang sontak berlari ke depan untuk memberikan pertolongan. Ia sama sekali tidak memahami situasi yang terjadi. Ia hanya mengira ada nasabah yang melakukan komplain dan mencoba bertindak anarkis.

Bakri yang sudah menduga gerakan itu segera bertindak. Ketika satpam itu tinggal berjarak dua meter, dengan gerakan cepat dan tanpa ragu ia langsung menarik pistol dan menodongkan ke arahnya. 

“Jangan bergerak! Tiarap cepat!” teriak Bakri sambil menatap lurus kearah sasaran di depannya. Bakri tidak melepaskan sedetikpun pandangannya. Ia berusaha memperkirakan adanya gerakan-gerakan perlawanan yang mungkin akan dilakukan oleh satpam. 

Satpam itu tersentak dan gelagapan. Ia sama sekali tidak memperhitungkan serangan ini. Namun profesinya sebagai satpam bank membuatnya sangat paham akan bahaya yang kini dihadapinya. Menyadari bahwa tak ada sama sekali yang bisa diperbuatnya, ia mengangkat kedua tangannya dan terpaksa menuruti ancaman pria di depannya. Dengan perlahan ia berbaring di lantai tanpa daya. Tak berkutik. Ia takut membuat gerakan-gerakan tidak perlu yang bisa membuatnya kehilangan nyawa.

“Berikan kunci pintu depan!” teriak Bakri dengan suara keras.

Merasa tak berdaya satpam itu meletakkan kunci itu di lantai.

“Lemparkan kemari. Lakukan perlahan.”

Dengan gerakan pelan, satpam itu melemparkan anak kunci itu ke pria bersenjata.

“Borgol tanganmu!” teriak Bakri sambil melemparkan sebuah borgol yang sudah disiapkan. “Ikat tanganmu di belakang.”

Teriakan keras Bakri membuat satpam itu ciut. Tanpa pikir panjang lagi ia segera meraih borgol yang dilemparkan dan mengikat tangannnya sendiri. Ia tahu bahwa ialah sasaran yang harus dilumpuhkan terlebih dulu agar para perampok ini leluasa menjalankan aksinya. Saat ini yang ada di pikirannya hanyalah bagaimana agar semua orang di kantor ini bisa selamat. 

Setelah merasa menguasai keadaan, Bakri berjalan kearah pintu dan menguncinya dari dalam. Ia melepaskan jaketnya dan terlihat ia sudah mengenakan pakaian satpam lengkap dengan semua atributnya. Kemudian dengan langkah cekatan ia mengeluarkan selembar kertas yang sudah disiapkannya. Kertas itu kemudian direkatkan ke pintu kaca dengan dengan maksud agar tulisannnya terbaca jelas dari luar.

MOHON MAAF JARINGAN KAMI SEDANG OFFLINE

BUKA PUKUL 14.00

Bakri berjalan kembali menuju satpam yang sudah terborgol. Ia memeriksa borgol itu sambil tetap berusaha menjaga jarak aman. Ia tidak berani mengambil resiko satpam itu dapat melumpuhkannya walaupun dengan tangan terikat. Setelah mengambil ponselnya Bakri menyuruh satpam itu berjalan ke toilet. Ia berniat menyekapnya di sana.

“Kamu diam di sini jangan banyak buat gerakan yang bisa membahayakan dirimu dan rekan-rekanmu. Ingat, ini bukan uangmu dan kau sudah bekerja dengan baik jika kau menjaga keselamatan rekan-rekanmu.” 

Satpam itu hanya diam mendengarnya. Dilihat dari sikapnya tampaknya ia setuju dengan yang dikatakan oleh pria berpistol.

Bakri mengunci toilet itu dari luar dan membiarkannya kunci itu tergantung di pintu. Lalu dengan tenang ia berjalan kearah depan.

Lihat selengkapnya