Ternyata melarikan diri tidak semudah yang dibayangkan. Walaupun sudah direncanakan dengan matang, ada saja kendala yang terjadi di lapangan.
Edi dan Bakri tiba di desa Boneoge dan mereka menuju ke rumah pak Awat—nelayan setempat yang bersedia mengantar mereka ke Palu.
Bakri memarkir motornya di balik pohon dan mereka mengetuk pintu rumahnya. Namun hasilnya nihil. Tak ada jawaban. Pak Awat menghilang entah ke mana. Tak satupun yang berada di rumahnya. Ponselnya juga tidak diangkat. Selanjutnya mereka mengarahkan motor menuju pantai. Siapa tahu pak Awat di sana. Setelah tiba di pantai mereka mengarahkan pandangan ke sepanjang pantai. Tak satupun perahu nelayan yang mereka dapati. Tampaknya semua nelayan sedang pergi melaut. Bagaimana mereka bisa pergi dari sini jika tidak satupun perahu yang bisa disewa? Di tengah keputusasaan datanglah seorang anak berusia sekitar 12 tahun menghampiri mereka.
Anak itu memiliki ciri seperti anak pantai lainnya. Kulit hitam terbakar matahari dan tubuh kurus berotot. “Anda yang bernama pak Edi?” tanya bocah itu tanpa basa basi.
“Ya betul,” jawab Edi bingung. Bagaimana anak ini mengetahui namaku?
“Aku Sabar, anak pak Awat. Aku yang akan mengantar kalian.” Edi dan Bakri saling berpandangan.
“Mana ayahmu?” tanya Bakri dengan muka marah.
“Pergi melaut.”
“Ayahmu berjanji mengantarkan kami.”
“Ia tidak bisa. Sekarang musim ikan tuna. Semua orang pergi melaut.”
“Dia tidak bisa dihubungi.”
Bocah kurus itu memandang Bakri heran. “Di laut tidak ada sinyal.”
Bakri merasa tolol. Edi hanya menahan tawa.
“Tapi bagaimana kau bisa mengantar kami? Kau punya perahu?” tanya Edi tak yakin.
Bocah itu mengangguk yakin. “Iya. Aku punya. Tapi kau harus membantuku,” jawab anak itu.