Di kantor Donggala atau lebih tepatnya di toilet KCP Donggala, Ibu Nita dan para pegawai menuggu dengan gelisah. Mereka sadar oksigen di ruangan sempit itu sepertinya tidak cukup lagi untuk mereka berempat dalam setengah jam kedepan. Itu berarti mereka tidak perlu melakukan gerakan-gerakan yang bisa menghabiskan oksigen dengan lebih cepat. Sementara satpam yang biasa mereka andalkan di situasi-situasi seperti ini, kondisinya sama seperti mereka—terikat tidak berdaya dengan borgol mencengkram kuat di kedua tangannya. Blazer yang mereka kenakan juga membuat mereka semakin kepanasan. Singkatnya ketakutan dan kepanasan bercampur menjadi satu.
Ibu Nita mencoba merapatkan telinganya ke pintu.
“Tidak terdengar apa-apa,” gumam Ibu Nita. Ia mencoba mengulangi tindakannya lagi namun ia tetap pada kesimpulan yang sama.
Dengan tangan terikat ia mencoba memutar pegangan pintu.
Terkunci. Tentu saja.
Diva pegawai wanita berparis cantik ikut-ikutan menempelkan telinganya di pintu—mencoba memastikan perkataan Ibu Nita. “Benar. Sepertinya mereka sudah pergi.”
Sementara Stevi pegawai berkacamata memilih diam. Ia hanya berharap pegawai yang pergi shalat akan segera pulang. Mereka tidak tahu bahwa pintu depan juga dikunci oleh para perampok.
Sementara itu di bagian depan para pegawai yang pulang shalat terlihat berkumpul di depan pintu. Mereka kebingungan mendapati pintu depan yang terkunci. Mereka mengintip dari pintu kaca dan tidak melihat siapapun di dalam.
Di mana mereka?
Dimas salah satu pegawai mencoba menghubungi ponsel Ibu Nita. Tidak ada jawaban. Ia mencoba menghubungi kedua temannya dan hasilnya sama saja.
Akhirnya mereka berempat mencoba memutuskan masuk lewat pintu belakang. Ketika melewati dinding yang berbatasan dengan toilet mereka mendengar suara yang keluar lewat ventilasi toilet.
“Bu Nita!” panggil salah satu pegawai dari luar.
“Moris!” Terdengar balasan dari dalam toilet.
“Kenapa pintu depan dikunci?” tanya cleaning service bernama Moris.
“Kami dirampok. Kami semua dikurung di toilet.”
Tanpa pikir panjang mereka berlarian menuju pintu belakang. Pintu belakang dilengkapi dengan pintu teralis besi dari bagian luar. Namun untungnya pintu teralis itu tidak dikunci sehingga mereka hanya perlu mendobrak pintu kayu saja. Ternyata butuh beberapa menit untuk mendobrak pintu kayu itu.
Dengan langkah tergesa-gesa mereka bergerak menuju toilet. Untunglah kunci pintu itu masih tergantung di situ. Mereka memutar anak kunci itu dan mendapati kawan-kawannya berkeringat dan terlihat lemah.
Mereka berpelukan lega.
“Syukurlah kalian sudah datang,” tangisnya. “Cepat telepon polisi.” Perintahnya segera. Mereka segera pontang panting berlarian mencari ponsel mereka yang diambil oleh perampok.
“Kabel telepon juga mereka putuskan,” kata Dimas.
“Coba hubungi Pak Binsar. Nanti aku yang bicara.”
Dimas segera menghubungi Pak Binsar tapi tidak terdengar suara apapun.
Stevi kasir berkacamata berjalan menemui Bu Nita dengan wajah ceria. “Bu, ada yang aneh,” katanya bingung.