Delapan Bidak

Jimmy Alexander
Chapter #20

Bab 19

Teriakan pimpinan cabang dari dalam ruangan mengagetkan pegawai-pegawai yang diluar ruangan. Iwan, satpam kantor masih membutuhkan waktu hampir 15 menit untuk membuka kunci pintu Pak Binsar. Kunci utama telah dibuang oleh Doni dan kunci cadangannya tersimpan di bagian umum dan masih membutuhkan waktu untuk mencarinya. 

Ketika pintu berhasil terbuka, Pak Binsar segera menghambur dengan panik keluar ruangan. Dengan setengah berlari ia menuruni tangga menuju lantai dasar. Para pegawai yang berada dilantai dua tertegun melihat reaksi pimpinan mereka. Lalu tanpa dikomando mereka serempak berlarian ke lantai bawah dengan penasaran. Satu hal di benak mereka. Peristiwa penting baru saja terjadi. 

Di bawah Pak Binsar berlarian menuju pintu keluar. Ia melewati satpam yang menjaga pintu masuk lalu membuka pintu dengan kasar dan berlarian menuju pelataran parkir. Wajahnya panik. Jantungnya berdetak kencang. 

Mereka sudah pegi. Tentu saja. 

Sikapnya yang panik membuat satpam yang berjaga di pintu mengikutinya sampai diluar. 

“Apakah kamu melihat mobil Luxio yayasan Milton berwana hitam? Pak Binsar bertanya pada polisi yang berjaga diluar.

“Iya pak. Mereka sudah pergi. Mungkin sudah pergi sekitar 20 menit lalu. Ada apa pak?”

“Ke arah mana mereka pergi?”

“Saya tidak memperhatikannya pak,” jawab polisi itu bingung. 

Tanpa banyak bicara ia kembali masuk ke dalam kantor dan menuju ruang kasir. 

Nining sampai kaget dengan kehadiran Pak Binsar di ruangan kasir. Ia datang dengan langkah tergesa. Tidak biasanya seorang pimpinan kantor masuk ke ruangannya tanpa pemberitahuan lebih dulu. Akan tetapi yang paling mengagetkannya adalah apa yang disampaikan Pak Binsar.

Para kasir yang berada di ruangan itu sontak menoleh kearah pimpinannya itu—mencaritahu apa yang sedang terjadi. Namun ibu Nining memberi isyarat agar mereka tetap mekanjutkan pekerjaannya. 

“Kita dirampok, kita dirampok 20 miliar,” serunya ketika ia dekat dengan ibu Nining. Bagaimanapun ia berusaha menjaga nada suaranya agar tidak terdengar oleh nasabah-nasabah bank yang memenuhi ruangan itu.

Ibu Nining yang mendengar itu mulai panik walaupun ia belum mengetahui apa yang sedang terjadi.

“Perampok. Yayasan Milton itu perampok. Uang 20 miliar yang mereka bawa bukan berasal dari rekening mereka di pusat melainkan berasal dari setoran tunai dari Bank Kartika Donggala.”

“Apa? Aku tidak mengerti,” sahut bu Nining bingung. Sepertinya ia butuh waktu untuk mencerna kata-kata pimpinannya. Kata perampokan masih terlalu asing baginya. Tidak pernah perampokan bank terjadi di Palu.

“Ibu Gladys yang berambut pirang tadi baru saja merampok kita sebesar 20 miliar.” Pak Binsar mengulangi lagi kata-katanya dengan penekanan. “Uang yang mereka tarik tadi bukan merupakan donasi dari luar negeri melainkan setoran fiktif dari KCP Donggala.”

Nining menatap wajah Pak Binsar dengan lebih seksama. Ia berusaha mencerna kalimat demi kalimat yang diucapkan. “Kalau begitu kita harus telepon KCP Donggala. Apakah memang ada setoran 20 miliar di sana.”

“Tidak mungkin. Menurutmu siapa yang akan menyetor uang tunai sebesar 20 miliar di sana? Itu pasti setoran fiktif.”

Nining kembali bingung. Perkataan Pak Binsar ada benarnya. “Berarti mereka memaksa kasir kita untuk menyetor dana sebesar itu?”

“Pasti. Itulah yang mereka lakukan,” jawab Pak Binsar.

“Dan mereka menarik dana itu di sini karena kita sudah menyiapkan dana itu untuk mereka.” kata Nining mencoba menarik kesimpulan.

“Benar sekali. Dan aku yang melakukan otorisasi transaksi itu.”

Nining tersentak. Kini ia menyadari bahwa resiko berada di tangan pimpinannya ini. “Apakah Bapak tidak sempat memeriksa asal transaksi itu?”

“Tentu saja aku sempat memeriksa asal transaksi itu. Aku penasaran siapa yang menyumbang dana sebesar itu kepada sebuah yayasan yang tidak pernah aku dengar. Ketika aku melihat setoran itu berasal dari setoran tunai di KCP Donggala aku merasa bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Aku hendak menghubungi Bank di Donggala, tetapi pak Rio yang duduk di depanku langsung mencegahnya. Ia bahkan mengunci kami berdua di dalam agar tidak ada yang bisa masuk. Dan saat itulah aku yakin bahwa ini adalah perampokan.”

Lihat selengkapnya