Sementara itu Doni dan kawan-kawannya bergerak menuju Rumah Hijau. Rumah itu juga digunakan untuk penyekapan orangtua Pak Binsar.
Mendengar suara mobil mendekat Tarmin dan Anto segera berlari keluar menyambut mereka.
“Di mana ibu itu?” tanya Doni ketika turun dari mobil.
“Ada di dalam rumah,” jawab Tarmin.
“Apakah dia baik-baik saja?”
“Tentu saja. Kami menjalankan sesuai perintahmu.”
“Apakah dia sudah makan?”
“Dia cuma makan sedikit.”
“Perlakukan dia dengan baik. Dia cuma wanita tua yang tidak berdaya.”
“Bagaimana dengan uang ini apakah sudah bisa kita pindahkan?” tanya Nina.
“Oke. Kalau begitu kalian bantu aku memindahkan uang ini. Yang lain siapkan kendaraan. Kita langsung berangkat,” perintah Doni.
Dengan sigap mereka berlima memindahkan uang rampokan itu ke mobil ambulance secara bergantian.
“Aku tak pernah melihat uang sebanyak ini,” kata Saleh tersenyum sambil sibuk memindahkan tumpukan uang itu.
“Kau sedang melihatnya kawan. Kau hanya tidak mempercayainya,” ujar Bakri sambil tertawa mendengar celoteh kawannya.
“Kita kaya sekarang. Kita jadi jutawan sekarang.” Saleh terkekeh lalu mengambil tumpukan uang dan menciumnya.
Bakri hanya tertawa saja melihat tingkah lucu kawannya. “Cepat selesaikan pekerjaan ini. Ingat polisi bisa saja menyusul lebih cepat kemari.”
Setelah dua menit mereka berhasil memindahkan uang sebanyak 20 miliar itu kedalam mobil.
“Aku mengira mobil kita tidak akan cukup,” kata Saleh.
“Kalau pecahan lima puluh ribu mungkin tidak akan cukup. Dan harus menggunakan dua mobil.” Doni menyeka peluhnya.
Mereka semua tersenyum puas memandang tumpukan itu dari belakang mobil.
“Kita berhasil. Kerja yang bagus dan sempurna kawan-kawan,” seru Doni sambil menepuk pundak kawan-kawannya dengan bangga. “Tapi tugas kita belum berakhir di sini. Kita harus mengangkut uang ini ke tempat yang aman.”
“Apa kita bisa berangkat sekarang?” tanya Saleh.
“Tunggu dulu. Aku mau melihat tawanan kita. Saleh, Tarmin, parkir kedua mobil tadi ke halaman belakang,” perintah Doni.