Delapan Bidak

Jimmy Alexander
Chapter #23

Bab 22

Setelah berhasil melewati pemeriksaan polisi, perjalanan mereka dilalui tanpa hambatan. Walaupun terkadang masih melewati jalanan yang berkelok dan tidak rata, kedua mobil itu berjalan dengan santai. Semuanya lega karena hambatan terakhir bisa mereka lalui.

Akhirnya mereka tiba di tempat tujuan mereka. Walaupun rumah itu tampak buruk dan berada ditengah perkebunan, entah kenapa hari ini rumah itu terlihat lebih indah dari sebelumnya.

“Kita tinggal menunggu Edi dan Bakri. Mungkin mereka masih di perjalanan,” kata Doni.

“Tadi siang mereka balik ke kota. Mereka akan berangkat sore ini setelah mereka yakin tidak ada pemeriksaan di luar kota,” ujar Saleh.

“Kurasa tadi bukan pemeriksaan untuk mencari kita. Mungkin itu razia terorisme atau mencegah konflik antar kampung. Mereka tidak secepat itu,” komentar Doni.

“Yah kurasa kau benar. Tapi kita memang sebaiknya waspada,” kata Saleh menyetujui.

Doni memanggil Andre untuk mendekat. “Tolong bersihkan dan rapikan kamarku. Pindahkan saja barang-barang yang tidak perlu. Untuk sementara kita akan menaruhnya di kamarku. ”

Andre mengiyakan kemudian pergi ke rumah dan melakukan apa yang diminta Doni.

“Aku penasaran apa yang terjadi di Bank Kartika Palu sekarang ini. Coba bayangkan kepanikan yang terjadi di sana,” kata Doni.

“Dua puluh miliar hilang di depan mata mereka,” kata Saleh.

Doni tertawa. “Mereka akan memanggil polisi dan menceritakan peristiwa yang baru saja terjadi. Setelah itu mereka akan melakukan penyelidikan dan menetapkan Pak Binsar turut bersalah dalam masalah ini.”

“Dia akan dituduh menjadi dalang perampokan ini—dan kita bebas.” Saleh ikut tertawa memikirkan kemungkinan itu.

“Aku merasa kasihan dengan Pak Binsar,” kata Nina tiba-tiba dengan wajah tertunduk.

Doni dan Saleh memandang Nina dengan tertegun. Mereka tidak yakin dengan yang baru saja didengarnya.

“Mengapa kau bicara seperti itu?” tanya Doni keheranan.

“Entahlah,” kata Nina sambil mengangkat bahu, “aku hanya kasihan orang sebaik dia harus dihukum atas kesalahan kita.”

Doni butuh beberapa detik untuk memahami situasinya. “Aku tahu, aku tahu. Kau menyukai dia.” Doni terdiam kemudian ia tertawa lepas.

“Apa yang lucu?” tanya Nina. Suaranya terdengar protes.

“Dengar Nina.” Suara Doni mulai terdengar serius. “Pengorbanan yang dia lakukan—betapapun kau tidak menyukainya—telah menyelamatkan kita. Polisi tidak akan mengejar kita. Dan uang yang kau dapatkan, itu berkat pengorbanannya.”

“Polisi akan mengejar kita selama mereka tidak mendapatkan uangnya. Ingat wajah kita terekam di kamera.”

“Polisi hanya butuh tersangka. Jika mereka sudah mendapatkan orang yang mereka anggap sebagai dalangnya, mereka tidak akan membuang waktu untuk mencari uangnya lagi. Mereka punya banyak kasus yang harus ditangani.”

“Bagaimana dengan pihak bank? Mereka tidak akan membiarkan 20 miliarnya hilang begitu saja.”

“Polisi sudah mendapatkan dalangnya bukan? Mereka akan menghukumnya. Bisa saja pemecatan atau bahkan penjara. Lalu uangnya? 20 miliar itu uang kecil. Kasus-kasus pelanggaran yang terjadi di dalam bank bisa jauh lebih besar dari yang kita ambil. Percayalah mereka akan melupakannya.”

Andre datang dari dalam rumah dan berjalan menghampiri mereka. “Aku sudah merapikan kamar. Kita bisa mengangkatnya sekarang.”

“Kita berlima saja yang mengangkat biar Nina yang mengawasi,” usul Doni. Hanya dalam waktu singkat menit uang sebesar 20 miliar itu ditumpuk teratur dan tingginya mencapai sepertiga dinding rumah.

Setelah selesai bekerja mereka masih diam memandangnya. Ternyata ada kepuasan tersendiri memandang tumpukan uang itu.

“Jika kita merampok Bank Kartika dengan cara seperti yang kita lihat di film, apakah kita bisa merampok uang sebanyak ini?” tanya Tarmin sambil terus memandang tumpukan uang itu.

“Tentu saja tidak,” jawab Doni yakin. “Jika kita merampok bank dengan cara seperti itu kita hanya mendapatkan kurang dari setengahnya. Kita mendapatkan sebesar ini karena kita meminta bank menyediakannya. Cara seperti itu juga mustahil dilakukan karena pos polisi tepat di depan bank.”

“Oh, iya. Aku lupa,” ujar Tarmin menepuk dahinya.

“Oke sekarang jika kalian sudah puas melihat hasil usaha kita aku akan menutup pintu ini. Kita makan dulu aku sudah lapar.”

Setelah puas memandang hasil perjuangan mereka akhirnya satu persatu keluar dari kamar itu.

 Malam harinya Doni dan kawan-kawannya duduk di depan rumah diterangi samar cahaya bulan. Pemandangan di sekeliling mereka hanyalah hamparan jagung sehingga membuat mereka merasakan seolah-olah berada jauh dari peradaban. Udara dingin di sekitar seolah merambat dengan cepat memaksa Nina harus melapisi kaosnya dengan sweater tebal. Ia bahkan harus memasukkan kedua tangannya ke saku untuk melindungi dari hawa dingin. Mereka sudah menghabiskan sepuluh menit saling berbagi pengalaman yang mereka alami pada siang tadi.

“Kalian harus lihat pengalamanku dengan Tarmin tadi. Itu benar-benar pengalaman paling lucu dan mendebarkan yang aku alami.” Anto memulai ceritanya. “Kami sempat ciut ketika melihat satpam penjaga rumah sudah diganti dengan pria berotot dan bertubuh tinggi besar. Kau bahkan bisa melihat otot dadanya dari jarak 20 meter. Kami sempat tak yakin bisa merobohkannya dengan bius sekalipun. Namun akhirnya kami memberanikan diri untuk coba membiusnya sesuai dengan rencana semula. Ketika kami sedang menunggu perintah, kami melihat satpam tadi berjalan menuju posnya. Ternyata ia hanya mengambil peci dan pergi ke masjid.”

Mereka semua terbahak mendengarnya.

Ketika mereka sedang asyik bercerita dari jauh terdengar sayup suara motor. Semakin lama suara motor itu semakin mendekat. Mereka sontak berdiri ketika motor itu akhirnya tiba dan berhenti tepat di depan mereka. Kedua penungggang motor itu turun dan mereka semua saling berpelukan. Kedatangan mereka disambut bak pahlawan yang baru saja pulang dari medan tempur.

“Luar biasa Edi. Kuakui aksi kalian sunggguh luar biasa.” Doni memuji sahabatnya itu sambil menepuk-nepuk bahunya.

“Kuakui rencana pamanmu ini betul-betul hebat. Sederhana dan brilian. Aku dan Bakri hanya menjalankan saja. Kami hanya menggertak saja, tidak perlu ada kekerasan.”

“Kalian sudah makan?” tanya Doni.

“Sudah. Kami sudah makan sebelum kemari.”

“Kalian pergi kesana?” tanya Nina heran bercampur kagum.

Lihat selengkapnya