Pak Binsar duduk di kursi kerjanya tak bergeming. Ia berusaha tetap tenang walaupun di bawah sorot mata yang mengintimidasi. Ia tahu nasibnya akan ditentukan dari hasil laporan investigasi yang mereka buat. Jika ia salah menjawab bukan tidak mungkin ia akan berakhir di penjara. Tanpa terasa butiran keringat mulai membasahi kemejanya.
Di hadapannya duduk dua orang auditor bernama Pak Iksan dan Pak Dedi. Pak Iksan berasal dari Kantor Pusat Jakarta dan pak Dedi dari Kantor Wilayah. Sejak mendengar info kedatangan tim pemeriksa, nyali Pak Binsar langsung ciut. Ia tahu benar siapa pak Iksan. Ia terkenal paling mahir dalam menemukan kesalahan pegawai. Orangnya sedikit pendiam tetapi terkenal paling kejam. Ia tidak segan-segan menindak pegawai apabila melakukan kesalahan. Sudah banyak pegawai termasuk pejabat bank yang dipecat bahkan dipenjara berdasarkan hasil pemeriksaan yang dibuatnya. Tujuan kedatangan mereka sudah jelas. Melakukan pemeriksaan kasus perampokan yang baru saja terjadi di Bank Kartika Palu.
“Coba ceritakan apa yang terjadi kemarin,” kata pak Iksan. Ia menyeruput kopi panasnya dengan nikmat—berusaha tetap santai.
Binsar menarik nafasnya. Ia sedang mengumpulkan kekuatannya. “Awalnya peristiwa ini dimulai dengan kedatangan dua orang dari Jakarta. Namanya Ibu Gladys dan Pak Rio. Mereka mengaku perwakilan dari sebuah Yayasan Milton.”
“Yayasan apa itu?” sela Pak Dedi.
“Yayasan itu bergerak dalam dalam bidang kemanusiaan. Mereka memberikan bantuan dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan bencana alam.”
“Di mana kantor pusatnya?” tanya Pak Dedi.
“Mereka belum memiliki kantor perwakilan di Indonesia.”
Kedua auditor itu berpandangan heran. “Lanjut,” ucap Pak Dedi.
“Mereka merupakan Yayasan dari Amerika Serikat dan mereka terafiliasi dengan perusahaan-perusahaan di sana sebagai donatur. Kedatangan mereka untuk membuka rekening yang akan mereka gunakan untuk membantu penyaluran bantuan kemanusiaan warga korban gempa di Palu.”
“Kedua orang ini apakah warga negara asing?” tanya Pak Dedi.
“Tidak. Mereka warga negara Indonesia.”
Keduanya terlihat terhenyak keheranan. “Yayasan dari Amerika dan pegawainya orang Indonesia?”
“Ibu Gladys merupakan pegawai Yayasan Milton dari kantor perwakilan di Filipina sedangkan Pak Rio hanya rekan dari Ibu Gladys yang akan membantunya di sini.”
Kedua auditor ini tampak mencoba memahami penjelasan yang diberikan Pak Binsar.
“Oke. Coba berikan berkas mereka,” ucap pak Dedi.
Pak Binsar mengambil setumpuk berkas yang telah disiapkan dan menyerahkannya pada Pak Dedi. Pak Dedi meneliti berkas itu lalu menyerahkannya pada rekan di sampingnya.
“Tidak ada yang salah dengan berkas mereka kecuali tentunya identitas aslinya,” ujar pak Dedi.
Masih dengan sikap diam pak Iksan membaca sekilas berkas di tangannya lalu meletakkan di atas meja.
“Berapa banyak rekening yayasan atau organisasi-organisasi seperti ini yang membuka rekening di sini?” tanya Pak Dedi.
“Cuma ini. Tetapi itu karena mereka tidak memiliki rekening atau perwakilan di Indonesia.”
“Tentu saja. Itu memang tujuannya. Mereka membuka rekening di sini karena mereka akan menarik dananya di sini.” Pak Iksan yang tadi diam kini bersuara.
“Kenapa mereka tidak menyalurkan bantuan lewat pemerintah daerah saja?” tanya pak Dedi.
“Menurut mereka bantuan tersebut harus cepat didistribusikan mengingat kondisi warga yang sangat memprihatinkan,” jawab Pak Binsar.
“Mereka juga tidak percaya dengan pemerintah kita,” sambung pak Iksan. “Mereka takut donasi itu tidak akan sampai atau berkurang.”
“Berapa besar dana yang masuk?” tanya pak Dedi.
“Untuk tahap awal Mereka mengatakan akan ada dana sebesar 20 miliar lebih yang akan masuk dan mereka berniat menariknya semuanya sekaligus. Tunai.”
“Penarikan tunai 20 miliar? Untuk kepentingan apa?” Kedua mata Pak Dedi membelalak lebar.
“Mereka berniat untuk membeli barang kebutuhan seperti bahan pangan, pakaian, obat-obatan, peralatan sekolah, peralatan air bersih. Mereka juga berniat untuk membagikan uangnya langsung ke warga. Bantuan langsung itulah yang porsinya paling besar.”
“Kenapa mereka tidak memberikannya lewat transfer bank. Kukira semua orang sudah punya rekening saat ini.” ujar pak Dedi.
“Mereka beralasan masyarakat banyak yang kehilangan buku tabungan dan kartu identitas mereka pada saat mereka menyelamatkan diri,” kata Pak Binsar dengan meyakinkan. Ia harus pandai membuat argumen-argumen yang tidak akan menyudutkannya.
“Mengapa mereka tidak menarik dananya secara bertahap? Mengapa harus 20 miliar sekaligus?” suara pak Dedi semakin menggelegar. Suaranya bahkan terdengar di ruangan sebelah.
“Mereka akan pergi ke desa-desa dan lokasi penampungan warga dan akan membagikan uangnya di sana. Mereka mengatakan uang 20 miliar itu akan habis dalam dua atau tiga hari.”
“Lantas apakah kau tidak curiga sama sekali?” tanya Pak Dedi. “Penarikan tunai 20 miliar bukan hal yang biasa kau temui setiap hari di bank kecil seperti ini.”
Pak Binsar semakin tersudut. Ia harus terus memberikan jawaban-jawaban yang rasional. “Awalnya aku merasa heran dengan tindakan mereka itu. Tapi mengingat kota ini berada dalam bencana hal itu kurasa cukup wajar. Jika mereka berniat merampok seperti yang mereka lakukan, bagaimana aku bisa mencurigai mereka sejauh itu? Aku tak pernah menemukan atau bahkan mendengar modus perampokan seperti itu.”
Keduanya terdiam. Mereka harus mengakui bahwa cukup sulit untuk memikirkan modus perampokan seperti itu.
“Kudengar mereka melukukan transfer dananya dari KCP Donggala.”
“Ya benar.”