Pak Binsar duduk di depan Ibu Eva sambil termenung. Nasibnya sekarang tidak jelas. Pertama, karena keputusan dari Kantor Pusat menskorsingnya selama menghadapi masalah perampokan yang terjadi. Kedua, panggilan dari kepolisian yang membuatnya tidak bisa konsentrasi bekerja. Jabatan Pimpinan Cabang untuk sementara ini diserahkan kepada Ibu Eva.
Walaupun saat ini ia masih dipanggil sebagai saksi, bukan tidak mungkin kedepannya ia dapat dijadikan tersangka. Sebab bukti yang menguatkannya hanyalah rekaman pembicaraan di dalam ruangan dan pernyataan dari rekan-rekannya di KCP Donggala. Namun rekaman visual di Kartika Donggala sama sekali tidak ada karena diambil oleh kawanan itu. Penculikan ibunya tanpa saksi. Ia hanya berharap Kantor Pusat tidak membuat aduan ke pihak kepolisian.
“Bagainana kabar perampok itu? Ada perkembangan?” tanya Eva prihatin.
“Nihil. Dilihat dari cara kerja mereka terlihat jelas perampokan ini direncanakan dengan sangat matang dan teliti. Tidak ada korban jiwa. Bahkan kita tidak mengetahui mereka baru saja menarik 20 miliar di depan mata kita. Aku sempat berpikir mereka tidak akan membunuh ibuku, mungkin mereka hanya menggertakku. Tapi aku tidak benar-benar yakin. Sialnya mereka mengetahui titik lemahku. Yang mengherankan darimana mereka tahu kalau aku hanya tinggal bersama ibuku? Apakah mereka bekerja sama dengan salah satu pegawai di sini? Tetapi tidak mungkin bukan? Dari dialek terlihat jelas mereka berasal dari Jakarta atau pulau Jawa. Bu Nita juga mengatakan hal yang sama tentang kedua kawanan itu di KCP Donggala.”
Binsar menutup wajahnya dengan kedua tangannya, berusaha membayangkan kembali peristiwa itu. Ketika ia mengangkat mukanya ia berkata dengan suara yang lebih tenang. “Seperti yang dikatakan oleh Rio—atau siapa nama aslinya—bahwa perampokan ini didalangi oleh seseorang karena ingin balas dendam, awalnya aku merasa hal itu hanyalah ucapan kosong saja. Tetapi semakin aku memikirkan hal itu, perkataan itu semakin mungkin terjadi.”
“Ya bisa saja pak,” sahut Eva.
“Pekerjaan mereka sangat teratur dan sistematis. Mereka tidak mungkin melakukan perampokan di sini karena kantor ini terlalu ramai dan pos polisi ada di depan kantor kita. Jika mereka merampok kita tanpa perencanaan—andai mereka behasil—mereka hanya akan mendapatkan 5 atau 6 miliar. Jadi mereka perlu menyuruh kita menyiapkan dana 20 milar untuk mereka bawa pergi.”
Eva mendengarkan penjelasan Binsar tanpa berkedip. Kini ia didera perasaan bersalah. Ia juga yang meyakinkan Pak Binsar untuk mempercayai yayasan fiktif itu.
“Tentu saja mereka tidak bisa menggunakan alasan penarikan biasa karena sangat jarang penarikan tunai diatas 2 miliar—kecuali bank-bank besar—apalagi 20 miliar. Jadi mereka datang dengan cerita fiksi sebagai yayasan sosial yang ingin menyalurkan bantuan-bantuan kemanusiaan kepada korban gempa. Mereka hanya perlu menambahkan kalau mereka ingin membeli barang dalam jumlah besar atau menyalurkannya kepada orang-orang di lokasi yang sulit dijangkau kendaraan. Mereka menggunakan bencana yang terjadi di kota ini sebagai alasan logis mereka.”
“Dan kita mempercayai cerita mereka.” Eva menanggapi.
“Tentu saja. Kita mempercayai mereka karena sekarang ada beberapa badan sosial yang datang dengan cerita yang mirip,” kata Binsar menatap Eva lalu menambahkan, “dan juga karena mereka membuka rekening sebesar 100 juta.”
Eva langsung menundukkan wajahnya. Kali ini ia betul-betul merasa bersalah. “Ya harus kuakui, kita cenderung waspada jika ada penarikan besar tetapi tidak demikian dengan dana yang masuk.” Suaranya terdengar pelan.
“Ya. Dan mereka mengetahui itu. Mereka bisa memahami sampai ke titik itu. Jika mereka membuka rekening sebesar 100 juta kita akan langsung melayani mereka dengan baik—bahkan bisa over service. Di kota seperti ini pembukaan rekening seratus juta mungkin tidak pernah terjadi. Mereka memberikan kesan bahwa mereka memiliki banyak dana—banyak donasi lebih tepatnya. Dan itulah yang biasa dilakukan penipu—menguasai psikologis korban.”
Eva mengangguk pelan. Membenarkan semua yang dikatakan pimpinannya. “Dan sedari awal kita sudah masuk dalam perangkap mereka,” sambungnya.
“Kita membantu mereka mencuri uang kita sendiri,” kata Binsar menyimpulkan. Ia seolah mengucapkannya pada diri sendiri.
“Tapi dari mana mereka tahu semua ini?” tanya Eva bingung. “Pasti dalangnya adalah pegawai bank juga. Gladys dan Rio masih terlalu muda dan kukira bukan mereka. Pasti ada orang lain—seorang pemodal besar yang berada di balik layar—yang bisa mengumpulkan mereka. Semua kawanan bandit ini. Menempatkan mereka di sini untuk suatu tindak kejahatan.”
“Benar sekali. Semua orang menyimpulkan yang sama. Semua bank memiliki prosedur standar yang mirip sehingga pelakunya bisa dari pegawai bank atau mantan pegawai bank manapun. Tapi, darimana mereka tahu aku hanya tinggal bersama ibuku?” Pak Binsar berhenti sejenak membiarkan Eva waktu berpikir.
“Jadi dalangnya haruslah orang yang berada di kota ini atau orang yang berada di kota lain yang mengenal diriku.”
Eva tertegun dengan kesimpulan Pak Binsar. Namun tiba-tiba dahinya berkerut ragu. “Tapi kalau orang di kota ini, mengapa ia bisa merekrut kawanan perampok yang berasal dari Jakarta? Mengapa mereka harus capek-capek merampok di sini? Mengapa bukan di Jakarta atau kota lainnya? Mereka bahkan bisa mendapatkan lebih.” Eva mengutarakan keraguannya.
“Benar sekali. Mengapa harus di sini? Mengapa bukan di kota lain? Jawabannya cuma satu. Karena selain ingin mendapatkan uangnya orang itu ingin membalas dendam padaku. Jadi apa yang diucapkan Rio sebelum pergi itu benar.”
Sekali lagi Eva tertegun. Namun kali ini ia hanya terdiam. Ia butuh waktu untuk mencerna dan memahami alasan terjadinya peristiwa ini. Balas dendam? Atas apa? Mengapa Pak Binsar? Kenapa di sini? Perampokan seperti ini biasanya hanya terjadi di kota-kota besar dan di film.
“Kursa uang bukanlah tujuan utamanya. Orang itu ingin melihatku berada di penjara—dihukum dalam waktu yang lama karena terlibat dalam perampokan bank sendiri dengan tuduhan persetujuan transaksi penarikan 20 miliar!” Binsar tertawa getir. Suaranya menyiratkan kekhawatiran mendalam.
“Tetapi bapak bisa mengatakan kepada polisi jika bapak melakukannya dalam tekanan karena orangtua bapak sedang disandera mereka.”
“Aku sudah mengatakannya. Tapi, apa buktinya jika ia disandera? Mereka bisa beralasan jika orang tua berusia 78 tahun ingin cari udara segar diluar dan tiba-tiba lupa jalan pulang ke rumahnya. Atau aku berkomplot dengan mereka untuk menculik ibuku sendiri! Aku yakin polisi akan berpikiran seperti itu karena perampok itu membuatnya terkesan seperti itu.”
“Tapi Bapak memiliki rekaman pembicaraan itu.”
“Benar Eva. Untunglah aku memiliki rekaman itu. Mereka mengira kalau mereka sudah cukup cerdas merencanakan semua ini. Mereka melakukan tekanan padaku di ruangan yang tidak terdapat kamera CCTV sehingga aku tidak punya cukup bukti. Akan tetapi mereka salah. Tanpa sepengetahuan mereka aku berhasil merekam pembicaraan di ruangan pada waktu itu. Aku berharap bukti pembicaraan itu bisa melepaskanku atau paling tidak bisa meringankankan aku dari tuduhan ini.”
“Apakah saat itu bapak tahu kalau teman-teman di Donggala juga di sandera?”
“Oh tidak. Rio yang memberitahu kalau ia juga telah menyandera seluruh pegawai. Itu yang membuat aku cemas. Pegawai Donggala dan ibuku.”
“Iya, iya. Aku sudah mendengar rekaman itu,” tutur Eva membenarkan. “Tapi tentang ibu Pak Binsar, bagaimana mereka bisa menculiknya?”
“Mereka menculiknya pada saat satpam pergi shalat Jumat. Hebat bukan? Mereka tahu satpam pasti meninggalkan pos jaga pada jam itu. Mereka membius ibuku agar tidak berteriak dan lebih mudah membawanya. Yang diingatnya terakhir kalau ia sedang memasak dan ia tiba-tiba tidak sadarkan diri. Ketika ia sadar ia sudah berada di tempat asing bersama kedua orang yang dikenalnya sebagai teknisi AC.”
“Bagaimana keadaannya sekarang? Apakah ia sudah baikan?”
“Ia sempat di rawat di rumah sakit tetapi dokter sudah mengizinkannya pulang keesokan harinya. Ia hanya disuruh periksa lagi apabila merasakan gejala-gejala tertentu. Tampaknya pengaruh obat bius itu tidak sampai berpengarauh ke organ tubuhnya yang lain.”
“Aku masih penasaran, menurut Bapak siapa yang bisa melakukan hal seperti ini?”
Binsar menggeleng lalu mengangkat bahunya.
Eva tidak mengapa orang sebaik Pak Binsar yang menurutnya seorang pemimpin teladan dan terbaik yang pernah dia temui sampai bisa membuat orang lain tega mencelakainya. “Apakah di masa lalu atau di kantor cabang sebelumnya bapak pernah melakukan sesuatu yang menyebabkan orang lain bisa dipecat?"