Delapan Bidak

Jimmy Alexander
Chapter #27

Bab 26

“Kalian lihat Nina?” tanya Edi keesokan harinya. 

“Kurasa ia berada di kamarnya,” sahut Andre.

“Doni?” 

“Ia keluar sudah setengah jam yang lalu. Kenapa?”

 “Baguslah. Coba panggil semua teman-teman. Kita kumpul di kali bawah. Ada hal penting yang ingin aku bicarakan. Doni dan Nina tidak boleh mendengarnya,” bisik Edi.

Dengan diam-diam mereka berjalan menuruni bukit menuju ke kali tempat mereka biasa berkumpul. Tak seorangpun yang bisa mendengarkan percakapan mereka tanpa terlihat oleh mereka.

Setelah mereka berkumpul Edi mengutarakan maksudnya. “Sejauh ini kita telah berhasil mengambil 20 miliar dari Bank Kartika dan uang itu ada di sini. Beberapa hari lagi pamannya akan datang dan membagikan uang itu untuk kita semua. Masing-masing satu miliar sesuai dengan perjanjian awal. Aku cuma mau katakan bahwa walaupun ini semua adalah idenya, tapi kita semua yang melakukan perampokan ini. Ini semua berhasil karena kerja keras kita. Kita semua yang menanggung resikonya sedangkan dia tidak menanggung resiko apapun. Jika kita gagal, kita yang akan dipenjarakan sementara dia sama sekali tidak tersentuh. Apakah ini adil?”

Semua kawan-kawannya mengangguk setuju.

“Karena itu kita harus mengajukan permintaan—melalui Doni—agar kita diberikan tambahan sebesar 500 juta perorang. Jadi setiap orang akan menerima sebesar satu setengah miliar.”

“Berarti kita semua akan mendapatkan total 9 miliar?” tanya Bakri.

“Benar,” kata Edi. “Ini wajar karena kita semua sudah mengorbankan pekerjaan kita di Jakarta. Dan sampai saat ini polisi masih memburu kita.”

“Bagaimana dengan Doni?” tanya Bakri.

“Aku akan berusaha membujuknya. Aku tahu ia seperti apa. Baginya di dunia ini uanglah yang terpenting. Ia akan mempertimbangkan hal ini. Aku akan menyuruhnya agar mengatakan ke pamannya kalau kita bersikeras menginginkan tidak kurang dari satu setengah miliar perorang.”

“Kurasa itu sama saja membujuk Doni mengkhianati pamannya,” kata Anto.

Mereka terdiam sejenak.

“Bagaimana kalau pamannya keberatan?” tanya Saleh.

“Uang itu ada bersama kita. Pamannya tidak punya kekuatan apapun saat ini. Kita tidak mengambil semuanya, kita cuma minta tambahan 3 miliar lagi. Kurasa itu cukup wajar,” kata Edi dengan suara datar.

“Tapi bagaimana jika ia melaporkan kita ke polisi?”

“Setelah kupikir-pikir itu tidak mungkin terjadi. Itu hanya gertakan kosong. Ia menyuruh Doni menyampaikannya kepada kita agar kita tidak membawa lari uangnya. Ia tahu posisinya lemah. Apakah kalian tidak melihat itu?”

Alasan yang dikemukakan Edi itu terdengar masuk akal bagi mereka.

“Kesempatan seperti ini tidak akan kita dapatkan lagi seumur hidup,” kata Edi meyakinkan teman-temannya.

Kelima temannya saling berpandangan. “Baiklah kami setuju,” kata Saleh. “kapan kau akan mengatakannya kepada Doni?”

 “Oke,” jawab mereka serempak.

 

———

 

Doni baru lima menit berbaring di tempat tidurnya. Mengendarai mobil di jalan berkelok-kelok membuatnya lelah.

Terdengar ketukan di pintu kamar. 

“Siapa?”

“Ini aku, Edi,” jawab suara dari balik pintu. 

Mau apa ia menggangguku? Ia tahu aku baru pulang dari perjalanan jauh. Dengan perasaan enggan Doni menyeret tubuhnya bangun dari ranjangnya dan membuka pintunya. Ia sangat terkejut ketika melihat Edi dan kelima kawannya sudah berdiri di sana.

“Ada apa?” Melihat Edi dan kawan-kawannya berdiri dengan muka tegang menyebabkan rasa kantuknya hilang.  

“Doni, ada yang harus kami bicarakan,” kata Edi.

“Tunggu aku berpakaian dulu.” Tak lama kemudian Doni mengenakan baju dan keluar dari kamar. Ia hanya mengikuti langkah mereka menuju ke ruang makan sambil bertanya-tanya dalam hati.

Ia mengambil kursi dan menatap mereka. Ia tidak bertanya dan hanya menunggu penjelasan mereka. Edi mengambil kursi dan duduk berhadapan dengan Doni. Sedangkan kelima kawannya berdiri mengitari mereka.

“Maafkan sebelumnya kalau kami menggangu waktu istirahatmu.”

“Ya. Sebaiknya kau punya alasan bagus karena melakukan hal itu,” ujar Doni datar.

Edi mengumpulkan keberaniannya. Ia harus bisa mempengaruhi Doni agar sejalan dengannya. “Aku dan teman-teman sudah berdiskusi kemarin perihal pembagian uang rampokan.”

“Ada masalah apa? Diskusi apa? Kita tinggal menunggu kedatangan pamanku saja yang mungkin akan datang dalam satu-dua hari ini.”

“Bukan itu yang kami maksudkan—tetapi jumlahnya—jumlah pembagian yang kami terima.” 

Doni waspada. Ia merasakan sesuatu yang kurang menyenangkan akan terjadi. Sesuatu yang ditakutinya sebelum menjalankan aksi ini.

“Bukankah kita telah sepakat dengan pembagiannya? Masing-masing akan mendapatkan satu miliar sesuai dengan kesepakatan awal. Aku sudah memberikan 600 juta perorang diawal, berarti sisa 900 juta. Dan pamanku orang yang konsisten dengan kata-katanya.”

Edi menatap Doni. Ia merasa sedikit tidak enak untuk menyampaikannya. Bagaimanapun Doni benar. Ia dan kawan-kawannya berniat melanggar kesepakatan awal.

Lihat selengkapnya